Nyinyir, Rasis, LGBT, dan Citayam Fashion Week

Menerima keberagaman adalah unsur utama yang ditekankan dengan berdirinya Republik Indonesia. Bukan bentuk negara lain.

Jumat, 5 Agustus 2022 | 06:11 WIB
0
203
Nyinyir, Rasis, LGBT, dan Citayam Fashion Week
Saya dan fashion (Foto: dok. Pribadi)

Hari-hari belakangan saya agak jarang menulis. Entah mengapa, biasanya begitu ganjen berbagi kisah ini itu di medsos, hingga mungkin membuat bosan yang membaca. Saya kini bahkan seperti kesulitan menuliskan apa yang ada di pikiran saya.

Bila sedikit membual, mungkin saya berdalih karena pikiran saya makin kompleks, rumit dan njelimet. Sehingga sulit untuk dituliskan atau digambarkan. Tapi itu tentu saja itu bohong besar. Karena fakta sebenarnya saya mungkin makin meniru tumbuh-tumbuhan.

Hanya hidup, tak berpikir, tak mengamati apalagi merenung. Bedanya, tumbuhan tak pernah terusik oleh apapun. Tak pernah bertindak negatif. Sedang saya hanya mencoba tak terusik. Padahal saya terusik sekali. Terutama oleh rindu yang membara... eh..

Saya terusik oleh banyak hal. Mungkin awalnya dari Citayem Fesyen Week. Saya menyuka aneka warta tentang mode dan fesyen, termasuk street fashion. Bersuka cita melihat Citayem. Karena fashion terlihat makin demokratis. Warta-warta fashion, para pesohor fashion tak lagi mereka yang berkabar sombong tentang harga outfits mereka.

Atau haute couture yang mungkin seharga rumah bersubsidi. Citayem menampilkan pesohor baru dari kalangan kita, kalangan biasa. Pelaku Citayem dengan mantap berkata, "Outfit ini mahaaaal banget. 30 rebu....."

Kini dunia fashion terasa ramah bagi siapa pun. Patokan keren atau tidak keren bukan lagi siapa yang memakainya atau berapa harganya tetapi apa yang membuat kita semua riang gembira dan setara.

Tapi tentu saja berita-berita Citayem itu juga mengusik saya untuk satu fakta lagi: jangan-jangan watak asli bangsa kita adalah nyinyir. Mengapa, karena bersamaan dengan naiknya Citayem, ramai pula posting-posting hinaan pada Citayem seperti murahan, penuh LGBT, ataupun hinaan fisik pada seleb baru dari Citayem. Termasuk kutukan bahwa fenomena Citayem ini hanya akan sesaat. 

Citayem tak bisa dipungkiri tak lepas dari masalah. Mulai dari sampah hingga anak putus sekolah. Saya menghormati kritik-kritik itu. Ulasan-ulasan itu baik dan obyektif. Tapi nyinyir rasis pada LGBT itu tentu tidak benar. Termasuk juga punya salah apa Bonge dan Jeje pada kalian hingga begitu kesumat kalian menghinanya?

Tapi kemudian saya berpikir, dunia nyinyir itu dunia kita sehari-hari. Selalu merasa terusik secara negatif untuk sesuatu yang tidak secara langsung berhubungan dengan mereka. Berlindung pada tesis: kalau dibiarkan akan mengganggu budi pekerti yang lain.

Lalu apa tolok ukur budi pekerti yang menjadi pertimbangan mereka? Mana yang lebih membuat mereka terusik: kelompok yang tampil berbeda tanpa mengintimidasi kita, atau mereka yang serupa kita tetapi kerap mengintimidasi kita?

Saya pun kemudian teringat perundungan pada seorang murid SMA di Banguntapan, Bantul. Ini menyedihkan sekali, bukan hanya karena ada anak yang menjadi depresi, tetapi juga fakta bahwa guru, tenaga pendidik kepada siapa kita titipkan masa depan bangsa, adalah orang yang tak mampu mengajarkan untuk menerima keberagaman.

Padahal menerima keberagaman adalah unsur utama yang ditekankan dengan berdirinya Republik Indonesia. Bukan bentuk negara lain.

Masih banyak alasan lain mengapa kita harus menerima keberagaman. Alasan spiritual tentu banyak. Tak sedikit pandangan-pandangan teologis dari pemuka agama teruji yang menekankan pentingnya menerima keberagaman. Termasuk juga pandangan-pandangan para spiritual non agama.

Keberagaman pula menjadi ciri masyarakat modern. Dan berlimpahnya informasi makin membuat kelompok-kelompok manusia makin beragam. Peradaban manusia dimulai saat manusia membuka diri pada kelompok-kelompok lain. Membangun kerja sama, berkolaborasi.

Temuan arkeologi tentang manusia prasejarah menunjukkan bahwa semakin terpencil dan sedikit suatu kelompok, semakin kecil jejak-jejak konflik di situ. Di masa itu, terbatasnya informasi, membuat kelompok-kelompok di luar keluarga inti gampang saling curiga, salah pengertian. Berujung perkelahian.

Tetapi manusia modern berbeda. Kita tak mungkin lagi asing satu sama lain. Kita kini saling terhubung. Jangankan sekadar informasi tentang siapa nama kita, dari mana asal kita, atau data-data kependudukan lain.. bisa jadi orang lain pun mengetahui pakaian dalam kita karena jemuran kita bisa dilihat dengan mudah dari Google Earth, atau video seronok kita yang tersebar merata di seluruh penjuru dunia.

Dengan berlimpahnya informasi itu, dan terbukti hingga saat ini, meski berbeda, kita tak pernah saling mengganggu apa lagi menyerang atau berperang. Kenapa harus terusik dengan seseorang yang berpenampilan berbeda? Kita tak bisa memaksakan kepercayaan ataupun kesadaran kita pada orang lain, sepanjang keyakinan dan kesadaran yang berbeda itu tidak berkonsekuensi pada hal-hal kriminal.

Sampai di situ saya kemudian berpikir, jangan-jangan pikiran saya yang kemana-mana ini berlebihan. Alasan utama para guru mengintimidasi si murid yang berpakaian sekuler itu bisa jadi semata hanya karena nyinyir. Seperti umumnya kita...

Seperti orang-orang sekitar saya yang saling terusik karena hal-hal sepele: seseorang mengunggah sertipikat deposito hadiah suami. Segera kemudian seorang yang lain mengunggah kendaraan baru mewah di sebelah kendaraan lamanya yang juga mewah. Lalu keesokan harinya seseorang yang lain lagi mengunggah rumah barunya. Saya pun jadi nyinyir pada diri sendiri: mereka anggap apa saya yang tak memiliki apa-apa yang mereka pamerkan?

Saya pun tertawa ngakak, mungkin mereka anggap saya tumbuh-tumbuhan: sekadar hidup, tanpa capaian. Tak apa, saya anggap saja mereka pohon pisang: hanya punya jantung, tapi tak punya hati. Toh saya masih punya rasa rindu. Rindu Indonesia yang lebih baik dan juga rindu.. eh.. 

Entah kenapa saya kemudian mengaitkan nyinyir itu dengan ketidakmampuan masyarakat kita untuk hening dengan kesadaran pribadi. Selalu riuh. Pasar yang ribut karena tawar menawar yang penuh celaan pada barang dagangan. Tetangga yang tak henti-henti mematai dan mengintimidasi. Guru otoriter yang tak lagi belajar, tapi tak bisa diajak berdiskusi.

Ah ya, saya teringat beberapa kasus teman-teman saya yang anaknya homeschooling. Salah seorang teman punya dua anak yang terpaksa homeschooling setiap anaknya memasuki kelas 3 SMA. Dengan masalah yang hampir serupa, karena tampil berbeda, ataupun punya pandangan yang dianggap terlalu progresif bagi sang guru. Tanpa mempedulikan pekerti anak ataupun prestasi akademiknya.

Alih-alih perasaan anak yang terluka. Para guru serupa pohon pisang. Hanya punya jantung, tak punya hati. Apalagi jantung hati....

Kedua anak itu cukup berprestasi pasca lulus SMA. Diterima di Universitas favorit dengan jurusan favorit. Cukup berprestasi secara akademik. Dan mereka terlihat bahagia saat homeschooling dan berkumpul dengan teman-teman homeschooling-nya.

Kasus lain anak-anak teman yang homeschooling saat SD, dan ada yang sampai SMP. Mereka justru berprestasi saat sudah bersekolah umum. Anak seorang teman bahkan berhasil lulus SBMPTN di Universitas Negeri terkemuka tahun lalu. Jurusan yang paling sulit dimasuki. Dan tahun ini dia bahkan diterima di UGM, jurusan bergengsi pula. Anak-anak homeschooling itu pintar dan semua terlihat tenang.

Saya cukup banyak melihat anak-anak homeschooling yang pintar dan tenang itu. Walaupun tak berani menyimpulkan bahwa homeschooling lebih baik dari sekolah biasa atau ada yang salah dengan kurikulum sekolah umum kita. Tapi kemungkinan itu tentu ada.

Seperti juga saya menemukan kemungkinan tentang anak-anak yang lebih tenang itu: mungkin mereka terbiasa hening. Fokus, konsentrasi, tak berurusan dengan lingkungan toxic. Ketika saatnya memasuki sekolah umum dengan segala ekses negatifnya, mereka telah cukup matang untuk paham mana yang baik dan tak baik bagi mereka. Tanpa perlu terusik berlebihan hingga depresi. Ini hanya kemungkinan, dugaan saya saja.

Tapi satu hal saya sadari, sebenarnya kita bukanlah masyarakat yang tak bisa tenang. Dalam kirab satu Suro yang saya ikuti beberapa hari lalu, salah satu ritualnya adalah berjalan keliling Puro Mangkunegaran dalam diam. Tapa bisu. Kami berpakaian tradisonal warna hitam, berbaris dan berjalan perlahan tanpa berkata-kata, termasuk juga dengan mereka yang berada di sebelah kita. Berbisik pun tidak. Hening sekali. 

Saya cukup terpana dengan keadaan itu. Tetapi keterpanaan itu makin menjadi, ketika kami memasuki halaman luar Puro yang penuh dengan masyarakat yang menonton acara tersebut. Dan mereka cukup tenang. Nyaris diam. Tak ada suara mengobrol atau ribut. Apalagi suara-suara celetukan iseng yang sering terdengar dari masyarakat kita saat berkerumun. Di situ saya terharu.

Saya pikir, tanpa harus disuruh diam, masyarakat kita pun bisa tertib dan tenang. Tentu saja setelah tahu bahwa di sekitarnya ada orang yang berlaku hening. Tenang. Kontemplasi.

Mungkin, mungkin lho, segala kenyinyiran di sekitar kita berawal dari kita satu sama lain yang selalu nyinyir. Memancing kenyinyiran yang lain. Berkebalikan bila kita tenang, akan menyebabkan datangnya ketenangan-ketenangan. Mungkin juga rindu, akan membawa rindu yang lain...

Eh..

#vkd