Dua kilometer sebelum masuk Parapat sepanjang jalan terbangun rumah makan bertuliskan RM Muslim, walau seharusnya cukup ditandai dengan tulisan "halal".
Kami memasuki malam kedua di Parapat Danau Toba. Selain sudah beberapa tahun gak pulang dan mampir ke Parapat, pulang kali ini dan menginap di Parapat ada suasanya yang harus saya perhatikan yaitu bagaimana penganut agama ini berdampingan bersama tanpa saling memberi beban satu sama lain.
Saya kelahiran Sumut, sejak kecil tidak pernah merasa bahwa agama menjadi penghalang bagi kehidupan bersama. Makanya saat di Surabaya anak-anak sekolah SD di sekolah Katholik, baru SMP pindah ke alfalah. Semua fine saja.
Tapi sejak terjadi proses perkadrunan di Jawa yang mulai massif di tahun 90an, suasana beragama kok jadi seperti saling menjatuhkan, khususnya kaum mayoritas yang selalu "usil" dan ternyata kondisi itu terbawa ke beberapa wilayah di seantero Indonesia. Tidak terkecuali Sumut yang pernah menggegerkan atas kasus Meliana di Tanjung Balai gegara minta volume azan di kecilkan, malah vihara dibakar, Meliana kena pasal karet penistaan, dan mendekam di penjara 18 bulan.
Tanjung Balai adalah daerah mayoritas, di sana terjadi tragedi itu, di beberapa wilayah di Jawa sudah kerap terjadi gangguan bagi kaum minoritas dari mulai kuburan, IMB, sampai terakhir sesajen yang ditendang. Dan seperti biasanya akhirnya materai yang membungkam urusan hukumnya.
Di Sumut, kabupaten Simalungun dan Tapanuli khususnya yang masyarakatnya memeluk agama Kristen dan Khatolik, justru di situ masyarakat menyatu tanpa pernah menggerutu atas keyakinan orang lain.
Memasuki gerbang kota Parapat anda akan disambut menara masjid yang menjulang, jangan ditanya tingginya, menara itu lebih tinggi dari puncak gereja. Suara azan berkumandang pada setiap waktu shalat, saat subuh gemanya seolah menyelimuti permukaan danau Toba di depannya. Indah dan mententramkan.
Siapa yang membuat suasana itu, tentu masyarakat setempat yang mayoritas Kristen. Karena mereka tidak terusik oleh suara azan yang puluhan tahun berdampingan dengan telinga mereka.
Begitu juga kalau anda lihat di Balige, Porsea, bahkan Tana Toraja. Mesjid raya yang besar itu ada di tengah kota. Terjaga di tengah masyarakat Kristen yang luar biasa itu.
Dua kilometer sebelum masuk Parapat sepanjang jalan terbangun rumah makan bertuliskan RM Muslim, walau seharusnya cukup ditandai dengan tulisan "halal".
Tapi sekali lagi, di tanah di mana masyarakat mayoritas Kristen itu ada telah tercipta toleransi yang luar biasa. Di sana saya merasa orang beragamanya lebih dahulu menjadi manusia sebelum mengaku beragama. Makanya mereka tenteram berdampingan.
Jadi ingat kata Rabindranath Tagore:
"Kalau beragama hanya mengharapkan surga, sebaiknya hapuskan saja surga itu, karena hal itu akan menimbulkan pertikaian".
You can't cross the sea merely by standing and staring at the water
Ah tak terasa azan Isa berkumandang. I love Parapat, l love you my brothers you are the good Kristian. GBU.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews