Jeritan Manusia Perak

Jangan sampai jerit para manusia perak melahirkan revolusi baru yang mengancam tatanan politik yang sudah begitu sulit dibangun sejak reformasi 1998 lalu.

Selasa, 9 Februari 2021 | 09:24 WIB
0
226
Jeritan Manusia Perak
Manusia Perak (Foto: liputan6.com)

Manusia perak adalah orang-orang yang mengecat seluruh tubuhnya dengan cat perak. Tujuan mereka adalah untuk menarik perhatian orang, supaya mendapatkan pemberian uang. Mereka adalah pengemis generasi pandemi. Mereka sering ditemukan di lampu merah ibu kota, sambil telanjang kaki dan memohon sumbangan.

Mereka banyak tampil di jalan-jalan Jakarta, setelah kebijakan pemerintah tentang Pandemi tiba. Segala kegiatan sosial, mulai dari bekerja sampai rekreasi, dibatasi. Alasannya demi mengurangi penyebaran infeksi virus COVID 19. Bersama dengan itu, jutaan usaha mengalami kesulitan, bangkrut dan banyak orang jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

Sang Manusia Perak

Salah satunya adalah Alfan. (Cahya, 2021) Ia adalah salah satu manusia perak di Jakarta Barat. Ketika lampu merah lalu lintas menyala, ia maju ke depan barisan motor dan mobil yang berhenti. Sejenak, ia memberikan sikap hormat, tanpa berkedip.

Lalu, ia membungkuk untuk memberi hormat. Setelah itu, ia berkeliling di antara barisan motor dan mobil yang berhenti untuk meminta sumbangan. Seharian, ia telah melakukan itu. Biasanya, ia bisa mendapat Rp 80.000 setiap harinya, sebelum jam 10 malam.

Di rumah, Alfan memiliki dua anak kecil. Ia adalah salah satu korban kebijakan pemerintah terkait COVID 19 pada 2020 lalu. Untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, Alfan memutuskan untuk menjadi manusia perak. Sebelumnya, ia adalah supir kendaraan umum.

Ia menggunakan satu botol cat perak untuk melumuri tubuhnya. Botol tersebut berisi minyak goreng dan tinta gemerlap yang biasanya digunakan untuk mencetak spanduk. Tentu saja, cat tersebut sama sekali tidak baik untuk kesehatan. Kulit bisa menjadi sangat gatal, dan mata akan menjadi sangat merah.

Sebelum pandemi, Alfan bekerja sebagai supir angkot. Setiap harinya, ia bisa mendapat Rp. 100.000 sampai Rp. 150.000. Namun, sekarang, hal tersebut tak mungkin terjadi. Bisa mendapat Rp 30.000 sehari saja, ia sudah merasa beruntung.

Tentu saja, itu tidak cukup. Maka di pagi hari, ia tetap bekerja sebagai supir angkot. Namun, di malam hari, ia akan bekerja sebagai manusia perak. Awalnya, ia merasa malu untuk melakukan itu. Namun, tentu saja, ia tak punya pilihan.

Bagaimana dengan bantuan dari pemerintah? Ia tak pernah menerimanya. Ia mengemis, bukan karena malas, tetapi karena terpaksa. Ia juga menolak untuk melakukan tindak kejahatan, supaya memperoleh uang cepat.

Alfan tentu tak sendirian. Kebijakan pemerintah yang salah kaprah terkait pandemi jelas memiskinkan banyak orang. Akhir 2020, sebagaimana dinyatakan oleh Biro Pusat Statistik, angka kemiskinan di Indonesia menyentuh lebih dari 20 % jumlah penduduk. Ini tentu tak dapat diterima di negara dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu besar seperti Indonesia.

Kesalahan Kebijakan

Ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kehadiran manusia perak di ibu kota, dan kemiskinan di berbagai penjuru Indonesia, adalah akibat langsung dari kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan COVID 19. Saya sudah menguraikan ini di tulisan saya di Kompas 17 Januari 2021 lalu. Jangan sampai masalah kesehatan ditangani dengan kebijakan yang mempermiskin rakyat.

Dua, saya menduga, pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang mempermiskin rakyat ini, karena mengikuti secara buta kecenderungan global. Berbagai negara memang sedang menerapkan lock down untuk mengurangi penyebaran COVID 19. Namun, sebagian besar negara tersebut telah mempunyai sistem jaminan sosial yang kuat, sehingga kemiskinan bisa segera ditanggulangi, ketika ia terjadi. Ini tentu tak terjadi di Indonesia.

Kita mengikuti negara lain, tanpa sikap kritis. Kita mengikuti negara lain, tanpa adanya kesadaran tentang keadaan kita sendiri. Inilah kebodohan yang berdampak kemiskinan besar. Sudah waktunya pola pembuatan kebijakan semacam ini ditinggalkan.

Tiga, hal ini sebenarnya berakar pada sebab yang lebih dalam, yakni ketertinggalan cara berpikir (epistemic lag). Ketika dunia sibuk menciptakan vaksin, kita berbicara soal cara berpakaian perempuan. Ketika dunia sibuk mengembangkan teknologi antariksa, kita sibuk mengejar surga yang belum tentu ada. Sambil mengejar surga, kita menindas perbedaan, menciptakan ketidakadilan untuk berbagai kelompok dan mempermiskin bangsa sendiri.

Empat, ketertinggalan cara berpikir ini berbuah panjang, yakni lemahnya pendataan dan koordinasi penerapan kebijakan. Tanpa data yang jelas, kebijakan sebaik apapun tak akan bisa berdampak. Tanpa koordinasi penerapan kebijakan nyata di lapangan, rakyat akan tetap miskin dan bodoh, walaupun milyaran dana dikucurkan, dan puluhan kebijakan dirumuskan. Korupsi yang membandel berperan besar di dalam kebusukan ini.

Laporan terbaru dari Transparency International juga mengagetkan. Laporan tersebut dirilis pada Kamis 28 Januari 2021 lalu. Indek korupsi Indonesia turun drastis ke posisi 102 dari 180 negara. Padahal, pada 2019 lalu, Indonesia berada di urutan 85. (Deutsche Welle, 2021)

Paket bantuan COVID 19 pun menjadi sasaran korupsi besar di Indonesia. Dana yang dibutuhkan untuk perawatan kesehatan dan penanggulangan kemiskinan dicuri oleh para pejabat negara. Akibatnya, tanggapan terhadap pandemi gagal, dibarengi dengan kemiskinan yang terus meningkat. Di Indonesia, pandemi bukan hanya krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi dan krisis korupsi.

Baca Juga: Manusia Cat, Manusia Badut

Jerit para manusia perak di ibu kota merupakan jerit kemiskinan bangsa. Ia merupakan jerit dari kegagalan pemerintah di dalam memberikan keadilan dan kemakmuran terhadap rakyatnya. Dibutuhkan cara berpikir yang lebih rasional, berpijak pada nurani dan kritis di dalam memahami keadaan, serta mengeluarkan kebijakan. Kelekatan buta pada tradisi lama, baik dalam budaya maupun agama, harus dilepaskan.

Jangan sampai jerit para manusia perak melahirkan revolusi baru yang mengancam tatanan politik yang sudah begitu sulit dibangun sejak reformasi 1998 lalu.

***