Legenda Para Bandit

Bisa jadi perseteruan antargank ini karena John Kei sedang mempertahankannya, sementara Nus Kei berusaha keras merebutnya.

Kamis, 25 Juni 2020 | 20:09 WIB
0
945
Legenda Para Bandit
Nus Kei dan John Kei (Foto: Tribunnews.com)

Sejujurnya saya ikut bergairah mengikuti kasus perseteruan John vs Nus (keduanya pakai nama besar Kei). Sebuah pengalihan isu yang luar biasa manis. Untuk sedikit melupakan derita gak puguh, setelah lebih dari 3 bulan harus menghadapi pagebluk, yang entah kapan berakhirnya ini. Ini sejenis hiburan murah meriah, yang entah disengaja atau tidak.

By design atau tidak, nyatanya mampu membuat media melupakan misalnya ada demo gak mutu oleh Kelompok 212, yang memprotes RUU absurd, yang bahkan masih wacana. Yang tak satu pun berani mengaku, siapa otak di belakangnya. Membuktikan bahwa demo sebagai sebuah proyek, sebagai sebuah cara mencari uang dan perhatian tak pernah lekang, bahkan ketika pandemik makin menjadi. Justru ketika jumlah banyak tak lagi barang aneh....

Tentu sebagai penggemar cerita detektif. Saya senang ketika mulai melihat duduk perkara "dua bersaudara" itu bermula. Nus Kei sebagai target dan korban, dalam banyak wawancara mendudukkan diri sebagai "si tua", karena merasa diri sebagai paman. Di sisi lain, John Key merasa diri sebagai "si senior", karena selain lebih dulu datang ke Jakarta. Juga merasa diri pernah menjadi bos dan penolong, di mana ia dulu pernah menampung Nus Kei.

Perkara yang disengketakan sebenarnya tidak penting. Apalagi obyek perkaranya adalah tanah yang tidak seberapa, yang itu pun terletak di Ambon sana. Jauh dari Kei sebagai tanah air mereka, maupun Jakarta di mana mereka saat ini: "nunut, numpang hidup" cari makan, membesarkan nama, dan arena pertarungan sesungguhnya.

Bahwa John Kei, yang sedang dalam masa pembebasan bersyarat sampai terpancing keluar menyerang justru menjadi menarik. Apalagi, media termasuk Andy F. Noya dengan acara Kick Andy-nya sudah memframing JK sebagai bandit yang berhijrah. Mulai mendekat sebagai hamba Tuhan, yang kembali ke jalan yang benar. Sejak awal, menonton tayangan itu: saya mbatin, berani bertaruh: jika bebas dia justru akan makin brutal.

Belakangan, saya juga mendengar selama di LP Nusa Kambangan, tidak sekali dua kali, ia dan gank-nya bertarung secara terbuka dengan kelompok napi terosis yang kebetulan ditempatkan pada penajara yang sama. Herannya, kasus seperti ini tetap dianggap biasa saja bahkan tak ada. Tidak membuat "hukum" melihatnya secara serius. Ia tetap bisa bebas bersyarat, hanya dengan pedoman hitung-hitungan administratif belaka.

Barangkali (dan saya yakin) ketika ia kembali. Ia menemui banyak perubahan yang terjadi. Ia tak lagi menjadi pemain tunggal di arena yang sama. Bahkan, mereka yang dulu dianggap sebagai "anak buah", atau "orang yang ditolong" tidak lagi menaruh rasa hormat.

Sebagai gambaran kasus: dalam kasus sengketa pembagian hasil penjualan tanah dengan Nus Kei. Terbukti NK tidak mau menemui JK di rumahnya. Ia hanya mau bertemu di tampat netral. Ketersinggungan seperti inilah yang terjadi. Barangkali hal seperti ini dianggap biasa, dalam pergaulan umum dan lumrah. Tapi dalam dunia hitam, hal seperti ini menyangkut harga diri. Dan harga diri adalah segala-galanya!

Bahkan dalam kultur Jawa yang dikenal lebih halus ada istilah dengan kode keras: "sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati". Entah dalam masyarakat Suku Kei, apa istilahnya saya tidak tahu. Tapi saya yakin mereka juga pasti punya...

Pun, saya tidak pernah melihat ada kasus lain, yang diproses sedemikian cepat. Minggu terjadi, Senin ditangkap, Selasa sudah gelar perkara, Rabu sudah dilakukan pra-rekonstruksi. Tumben Pak Polisi rajin betul!

Pada bagian lain, Nus Kei sebagai korban seolah sudah siap dengan jawaban-jawaban yang terstruktur rapi. Setiap kali, ia diwawancarai oleh media. Alih-alih menyembunyikan diri, ia seolah selalu siap tampil dimana pun media berada. Ia bahkan secara prematur sudah menyatakan memberi maaf kepada para pelaku, dengan menawarkan rekonsiliasi. Namun tetap menekankan bahwa JK, si keponakan harus mau mengaku salah dan kembali masuk penjara.

Tetap saja, bagi yang jeli dapat menilai bahwa ini tak lebih sandiwara biasa. Sejenis coup de etat, sebuah kudeta yang sesungguhnya telah disusun dengan rapi. Mengingatkan saya pada kasus bagaimana Suharto dulu melakukan "kudeta merangkak" kepada Sukarno.

Dan seperti biasa dalam kasus perseteruan para bandit, tiba-tiba muncul jargon klise "negara tak boleh kalah dengan preman". Loh, hawong premannya sedang ribut sendiri. Hayoh mesti wae negaranya tampak menang. Tapi setelah itu, mereka jualah yang sebanarnya sedang memitologikan para penjahat itu...

Realitasnya sejarah mencatat "bandit itu selalu menang dari negara". Karena bandit selalu dicatat sebagai bagian dari sejarah. Bandit juga dipahami sebagai bentuk protes sosial. Keberadaannya selalu hadir sebagai penanda masyarakat yang kacau, tidak stabil, penuh kontradisksi dan ketidak normalan. Hukum sebagai barang dagangan, dan birokrasi menungganginya.

Karena itu eksistensinya justru selalu dicatat dengan tinta lebih tebal. Bandingkan sebaliknya, apakah pernah jaga baya, satpam, atau polisinya juga dicatat dengan tinta sama tebalnya? Sejak zaman Ken Arok, hingga Sunan Kalijaga, Kusni Kadut hingga Johni Indo. Dari zaman Si Pitung di masa lalu hingga eranya Hercules di masa kini. Bermula dari bandit kemudian jadi orang baik. Bermula dari pencuri, menjadi filantropis.

Merekalah yang akan selalu dikenang sebagai legenda....

Dari sudut inilah saya melihat John Kei sedang mempertahankannya, dan Nus Kei berusaha keras merebutnya.

***