Standing atau personae standi in judicion adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan.
Adalah fakta, bahwa kegagalan pengajuan judicial review di sidang Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) bukan semata-mata karena persoalan aspek materiil/substai permohonan. Tetapi juga karena persoalan “kedudukan hukum Pemohon” atau legal standing Pemohon. Data menunjukkan bahwa dari seluruh permohonan yang tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh Mahkamah, hampir 50% disebabkan oleh masalah legal standing. Sehingga permohonan tidak diterima, dan pokok perkara tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah. Karena itu penting bagi siapapun yang akan beracara di Mahkamah memahami pelik-pelik terkait legal standing.
Judicial review, constitutional review atau Pengujian Undang-Undang (PUU) lahir dan dipraktikkan pertama kali di Eropa. Dasar pemikirannya adalah bagaimana pembentuk undang-undang “dipaksa” untuk taat atau patuh kepada konstitusi. Dalam negara demokrasi konstitusional, hal ini sangat mendasar agar UU yang dibuat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selain karena secara historis dilatarbelakangi oleh munculnya krisis konstitusional dari negara-negara di Eropa yang baru mengalami transisi dari rezim pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokrasi. Sekaligus merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 (Asshiddiqie, 2009).
Prinsip ini dinamakan prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) yang merupakan syarat atau unsur utama paham negara hukum maupun demokrasi konstitusional. Dengan kata lain, judicial review merupakan mekanisme hukum yang menjamin bahwa setiap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya tidak bertentangan dengan konstitusi.
Salah satu syarat krusial, penting, dan menentukan dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (Mahkamah) adalah “kedudukan hukum Pemohon” atau legal standing. Syarat ini merupakan aspek aspek formil/prosedural yang akan diuji pertama kali oleh hakim Mahkamah untuk memutuskan apakah permohonan uji konstitusionalitas (judicial review) akan dilanjutkan, ditolak, dan/atau diterima. Setelah itu baru aspek materiil/substantial dari UU yang diuji. Tetapi, dalam beberapa kasus, keduanya diuji berbarengan.
Sejak dibentuk hingga sekarang, Mahkamah telah memutuskan 1.514 (45%) judicial review UU (PUU) atas UUD 1945. Dari jumlah tersebut, 1,130 (81.24%) permohonan ditolak, tidak dapat diterima, gugur, tidak berwenang, dan/atau ditarik kembali; dan 284(18.76%) PUU dikabulkan/diterima oleh Mahkamah.
Persentase jumlah permohonan judicial review yang dinyatakan dikabulkan/diterima oleh Mahkamah memang hanya 18.76%. Namun, data ini menunjukkan ada persoalan yang perlu disikapi lebih serius oleh lembaga pembentuk UU, yaitu DPR (bersama Presiden) terkait aspek formil/prosedural maupun materiil/substantial dari UU. Data berikut memperlihatkan bahwa kasus-kasus permohonan judicial review sejak tahun 2003 hingga 2022 masih cukup tinggi dari tahun ke tahun. Jika hal ini terus terjadi, dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi legislatif.
Yang menarik untuk ditelisik, dari 81.24% judicial review yang ditolak/tidak diterima, dsb. sebanyak 503(44.5%) merupakan permohonan yang tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard) oleh Mahkamah. Salah satunya disebabkan oleh persoalan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon. Walaupun secara materiil permohonan tersebut mungkin saja bisa diadili lebih lanjut oleh Mahkamah.
Dalam keseluruhan kasus judicial review yang diajukan ke Mahkamah, kemampuan pemohon untuk menjelaskan dan menyakinkan para hakim konstitusi merupakan “conditio sine qua non”. Prasyarat mutlak apakah permohonan akan diteruskan atau tidak, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut materi permohonan atau pokok perkara. Dari 100 sampel permohonan yang tidak diterima yang disebabkan oleh persoalan legal standing sebanyak 46(46%) permohonan. dan Karenanya, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok perkara yang dimohonkan oleh Pemohon. Selebihnya (54%) disebabkan persoalan substansi atau pokok perkara yang dianggap kabur, tidak jelas, tidak didukung bukti, sehingga Mahkamah menyatakan “tidak beralasan menurut hukum”.
Fakta ini menjelaskan kepada kita, bahwa legal standing bukan persoalan mudah. Karenanya, bisa dipahami jika masih banyak pemohon yang belum sepenuhnya mengerti makna dari “kedudukan hukum” (legal standing) dalam paradigma hukum Mahkamah. Padahal, mereka adalah warga negara yang melek hukum seperti dosen, ahli/konsultan hukum, advokat, pengurus parpol, warga negara Indonesia berpendidikan tinggi, politisi, anggota parlemen, dll.
Sepanjang Mahkamah menangani permohonan uji konstitusionalitas UU/Perpu (PUU atau judicial review), legal standing merupakan syarat formil-prosedural yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon yang beracara di Mahkamah. Khususnya dalam perkara pengujian UU/judicial review. Syarat formal ini terdapat di dalam UU 24/2003 pasal 51 (jo. UU 8/2011 dan UU 7/2020) tentang Mahkamah Konstitusi.
“Legal standing” dalam konteks perkara Pengujian Undang-undang (PUU) atau judicial review adalah status dan kedudukan hukum pemohon (pihak) yang dinyatakan sah dan memenuhi syarat formil oleh hakim konstitusi menurut UU tentang Mahkamah Konstitusi. Menurut paradigma Mahkamah, legal standing tidak hanya terkait dengan “kualifikasi konstitusional” pemohon, sebagaimana tercantum di dalam UU tentang Mahkamah. Legal standing dalam paradigma Mahkamah juga harus mencakup “kerugian konstitusional” pemohon.
Kedua pengertian legal standing tersebut, pertama kali diterapkan dan kemudian menjadi yurisprudensi bagi Mahkamah dalam setiap judicial review, sejak tahun 2005, melalui Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005, dan 11/PUU-V/2007. Kedua putusan Mahkamah tersebut kemudian menjadi salah satu klausul dalam Peraturan Mahkamah 2/2021 psl. 4 ayat (2), dan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap pemohon yang akan mengajukan judicial review.
Pertama, kualifikasi konstitusional pemohon. Syarat ini merupakan syarat formil yang meniscayakan setiap pemohon memenuhi syarat, pertama, pemohon harus memiliki identitas diri yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51 UU 24/2003. Kedua, pemohon harus membuktikan bahwa dirinya memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-kewenangan tertentu yang ditentukan dalam UUD 1945 (Asshiddiqie, 2006).
Pemohon yang dinyatakan sah memiliki dua syarat kualifikasi konstitusional adalah perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara; serta apakah kualifikasi pemohon memiliki/tidak keterkaitan dengan dengan undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan judicial review.
Bagi Mahkamah, kualifikasi konstitusional ini memberikan jaminan konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Ia juga menjadi salah satu parameter terselenggaranya cita negara hukum, sekaligus menjadi cerminan atas pengakuan prinsip kedaulatan rakyat, dimana undang-undang sebagai produk legislasi antara DPR dan Presiden dapat diuji konstitusionalitasnya melalui lembaga yudisial. Syarat kualifikasi konstitusional ini juga memberikan hak dan kewenangan bagi warga negara untuk terlibat dan memberikan kontrol terhadap pelaksanaan sistem cheks and balances agar berjalan dengan baik dan efektif
Kedua, kerugian konstitusional pemohon. Syarat ini merupakan syarat materiil yang meniscayakan ada tidaknya kerugian konstitusional atas hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai akibat pemberlakuan undang-undang tersebut. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus diuraikan secara jelas oleh pemohon dalam permohonan judicial review yang diajukan.
Kerugian (kepentingan) konstitusional, mencakup hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang (1) diberikan oleh UUD 1945; (2) dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya; (3) bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (4) memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; dan (5) jika permohonan dikabulkan, kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi (Putusan Mahkamah 006/PUUIII/2005, 11/PUU-V/2007, dan Peraturan Mahkamah 2/2021 psl. 4 ayat (2)).
Secara terminologis, legal standing yang juga dikenal sebagai Ius Standi atau Standing to Sue atau Locus Standi dapat dilakukan, karena prinsip hukum di Indonesia menganut konsep hak gugat konvensional yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat atau public interest law. Namun demikian, prinsip legal standing ini tidak memungkinkan setiap orang berhak dan berwenang secara hukum mengajukan permohonan ke MK dan menjadi pemohon.
Hanya mereka yang memiliki kualifikasi, dan kerugian kepentingan hukum secara nyata dan langsung dan diatur di dalam konstitusi yang boleh dan sah. Mereka dapat bertindak atas dasar atau atas nama kepentingan masyarakat luas karena adanya pelanggaran hak-hak konstitusional yang dirugikan (hak-hak sipil, hak lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak politik, dll.) dengan berlakukan sebuah UU/Perpu.
Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet point d’action, yaitu apabila ada kepentingan hukum boleh mengajukan gugatan. Standing atau personae standi in judicion adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan. Dalam black’s Law Dictionary, standing disebut pula sebagai standing to sue yang diartikan sebagai: “A party’s right to make a legal claim or seek judicial enforcement of a duty or right.” (NYCourts.gov, Supreme Court)
Doktrin ini dikenal di Amerika, dan memiliki arti bahwa hanya pihak yang mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan dapat diajukan ke depan pengadilan (Ramdan, 2014).
____________
Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews