Sebelum Jadi Ini-Itu, mBok Jadi Manusia Dulu....

Dapatkah di tengah situasi polarisasi politik yang semakin dikotomis dan sengit, Indonesia perlu belajar "menjadi manusia" sebelum menyatakan diri siap untuk Indonesia Emas 2045?

Rabu, 10 Februari 2021 | 06:48 WIB
0
569
Sebelum Jadi Ini-Itu, mBok Jadi Manusia Dulu....
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (jogjaforex.com)

Orang tentu boleh menggelarinya dengan berderet-deret profesi: rohaniwan, aktivis, cendekiawan, esais, novelis, editor, pendidik, arsitek, hingga budayawan. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang kurang. Hanya saja, gelar tak selalu menjadi penting, apalagi bagi sosok multidimensional sepertinya.

Mirip seperti sahabat karibnya, Kiai Ciganjur Abdurrahman Wahid, sosok multidimensi Yusuf Bilyarta Mangunwijaya memang sulit dinisbatkan dengan satu titel. Gus Dur, misalnya, didaku sebagai kiai, kolumnis, cendekiawan, pendidik, politisi, pengamat sepak bola, hingga presiden. 

Benang merah keduanya memang tidak terletak pada serenteng gelar. Pada Gus Dur, orang akan menemukan Indonesia dalam imaji dan kodrat tertingginya sebagai satu bangsa yang majemuk sekaligus tunggal atau imaji bangsa yang reformis namun juga konservatif. Akan halnya pada Romo Mangun, imaji keindonesiaan yang dapat kita lihat menjadi lebih sederhana dan mendasar: sebuah bangsa manusia yang gagal memanusiakan sesamanya. 

Hari ini, 22 tahun yang lalu, dalam sebuah seminar di Hotel Le Meridien, Jakarta, Romo Mangun berpulang. Kenangan budayawan Mohamad Sobary yang termaktub dalam bunga rampai Kata-Kata Terakhir Romo Mangun tentang berpulangnya sosok ini terasa begitu personal: wafat dalam serangan jantung yang cepat di bahu Sobary ketika hendak merangkulnya. Ketika kami beberapa kesempatan lalu menghadiri sebuah simposium di mana Sobary menjadi salah seorang pembicaranya, masih terlihat kesan emosional akan peristiwa itu. 

Catatan kecil ini tidak berusaha merekonstruksi, apalagi menyederhanakan, seluruh pemikiran Y.B. Mangunwijaya yang nggiwar dan meluas itu. Karena tanpa harus menelaah semua buku, esai, dan cerita-cerita pendeknya, siapa saja dapat mengenal dan membaca sosok Y.B. Mangunwijaya dalam kompleks kemanusiaan yang paling intim; kompleks kemanusiaan yang mengarahkan manusia kepada abstraksi Yang Tunggal, namun tanpa pretensi hendak memisahkannya dari hiruk-pikuk dunia yang konkret. 

Mangun, Chairil, dan Diponegoro

Berangkat dari kegelisahannya sebagai veteran Tentara Pelajar di era Revolusi Fisik yang menyaksikan begitu banyak penyelewengan yang dilakukan teman-teman seangkatannya, Romo Mangun berusaha meneropong wilayah kesejarahan revolusi yang gegap gempita itu dalam kesunyian dan ketersisihan.

Tak mau dijebak jargon-jargon patriotisme dan nasionalisme picik, ia sengaja menaruh protagonis pemuda Indo pro-Belanda yang frustrasi di zaman Jepang dan memutuskan melampiaskan kesumat dengan menggabungkan diri pada KNIL ketika administrasi Belanda berusaha merangsek masuk ke Indonesia pada akhir 1945. 

Naas, pemuda Indo yang kemudian mendapat pangkat lieutenant ini kedapatan terus dan tetap menaruh hati pada seorang gadis ningrat Sala yang teguh-tegar berdiri mengikut Republik dengan jabatan sekretaris Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Cintanya kandas, namun bertemu kembali berpuluh tahun kemudian dalam suasana keterjebakan paradoksal antara masa lalu dan masa mendatang. Sang pemuda Indo, Setadewa, diajak meminggirkan semua riak dan luka-luka masa lalunya untuk menemukan sebentuk hakikat kemanusiaan yang senantiasa mencari jati diri. 

Rangkuman kisah Burung-Burung Manyar, roman revolusi yang terbit pertama pada 1981 oleh Pustaka Djambatan tersebut memang benar terasa kompleks dan ruwet, penuh gejolak dan lenturan di sana-sini. Akan halnya, ketika dibaca berulang kali, kita akan diajak menyelami bahwa sesungguhnya kemanusiaan yang hendak dijabarkan Romo Mangun adalah kemanusiaan yang dualis: sederhana tetapi kompleks; jujur sekaligus dusta; lurus sekaligus hipokrit. 

Kerja-kerjanya memaknai kemanusiaan yang mengejawantah dalam buku kemudian berlanjut dalam tindakan. Advokasi pertamanya dilakukan dengan membela warga penghuni bantaran Kali Code, Yogyakarta, yang dari tahun ke tahun senantiasa muram di bawah ancaman penggusuran dan penertiban atas nama normalisasi sungai oleh pemerintah daerah setempat.

Klaim Romo Mangun terutama tidak terletak pada masalah kemiskinan warga, melainkan pada proses pemiskinan nilai yang berujung pada krisis moral dan kesemrawutan ekosistem masyarakat yang melulu diametral dengan kekuasaan. 

Turun tangan mendesain kembali pemukiman di lahan miring pinggir Kali Code, Romo Mangun bersikeras dan kerap kali kucing-kucingan dengan aparat militer dan polisi yang berusaha menghalanginya. Kendati demikian, tugas besar yang direncanakannya bersama Willy Sumantri selaku Lurah Terban dapat terselesaikan, di samping didikan dan ayoman yang tidak putus bagi warga yang berjuang bertahan di atas hunian yang telah ditempati bertahun lamanya. 

Advokasi kedua dan mungkin yang membawa kegemparan adalah pembelaan Romo Mangun terhadap warga korban penggusuran pembangunan Waduk Kedung Ombo. Warga yang memilih bertahan, antara lain dengan alasan ganti rugi yang tak sepadan dan intimidasi yang berkali-kali diterima dari pihak militer dan intelijen. Bukan semata penggusuran yang menyengsarakan, namun Romo Mangun juga memandang aspek fundamental kasus Kedung Ombo, yaitu terampasnya hak anak-anak miskin meneruskan pendidikan atas nama pembangunan. 

Baca Juga: Ketika Romo Mangun Mengajari Habibie "Ber-Islam"

Berlainan dengan advokasi pertamanya yang menghebohkan jagad kecil Yogyakarta, pembelaan Romo Mangun terhadap warga Kedung Ombo bahkan sampai memerahkan telinga penguasa tunggal rezim Orde Baru, Soeharto. Dalam salah satu acara yang dihadirinya, jenderal asal Kemusuk itu bahkan menyitir bahwa apa-apa yang dilakukan Romo Mangun adalah kesia-siaan belaka. Jer basuki mawa beya, bahwa kebaikan membutuhkan biaya.  

Meminjam tamsil Chairil Anwar dalam puisinya yang bertajuk "Diponegoro", Romo Mangun telah "di depan sekali menanti", berhadapan dengan "lawan banyaknya seratus kali", namun tanpa gentar sebab "berselempang semangat yang tak bisa mati". Dalam kontradiksi dengan pemerintah terhadap nasib masyarakat Kedung Ombo inilah, misi kemanusiaan yang luhur berhadap-hadapan muka dengan rezim militer profan yang tak segan menginjak hak asasi manusia atas nama stabilitas, kemakmuran, kesejahteraan rakyat, dan lain-lain. 

Meski serangkaian giatnya tetap menemukan kuldesak akibat perlakuan culas aparat militer yang merusak sarana pendidikan yang dipasok Romo Mangun beserta rekan-rekan aktivis untuk anak-anak Kedung Ombo, tetapi satu hal yang kiranya menjolok prioritas Romo Mangun dari kasus Kedung Ombo adalah keadaan pendidikan yang secara mengenaskan telah memproduksi manusia menjadi mesin hidup bertenaga ambisi dan nafsu berkuasa. 

Menjadi Manusia Dulu....

Sebagai yang diakuinya dalam dokumenter produksi Studio Audiovisual Puskat tahun 1995, kesadaran akan nasib malang anak-anak Kedung Ombo, nyata menjadikan Romo Mangun mulai menyusun konsep pendidikan yang bertolak dari nilai-nilai kesetaraan, kemanusiaan yang luhur dan transenden, serta latihan berpikir kritis dan lateral bagi anak-anak usia sekolah dasar. Dengan bantuan sejumlah rekan dan pendidik, Romo Mangun mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sebagai laboratorium bagi Sekolah Dasar Eksperimen Kanisius Mangunan yang beroperasi pada 1994. 

Pokok yang tak pernah lupa diajarkan Romo Mangun kepada murid-murid sekolahnya adalah permasalahan yang konkret bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk memuliakan hidupnya sendiri dan hidup sesamanya, mengusahakan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, sambil terus berupaya berkontribusi bagi kemajuan dan kemaslahatan kolektif (bukan nusa, bangsa, negara, dan agama seperti yang digaungkan Orde Baru).

Kiat ringkas yang digunakan Romo Mangun membahasakan idealisme ini adalah ajakan yang sederhana namun menohok, "Sebelum kamu belajar jadi dokter, jadi insinyur, jadi profesor, jadi ini-itu, mbok belajar jadi manusia dulu...." 

Mungkinkah maksud Romo Mangun saat itu benar-benar menyimbolkan kegagalan bangsa ini "menjadi manusia" dengan dijejali mantra-mantra pembangunan dan segudang cita-cita materialistis? Dapatkah di tengah situasi polarisasi politik yang semakin dikotomis dan sengit, Indonesia perlu belajar "menjadi manusia" sebelum menyatakan diri siap untuk Indonesia Emas 2045? 

***