Saya beruntung juga tidak memasukkan kitab suci sebagai salah satu buku yang mempengaruhi Indonesia, meski kitab suci pasti mempengaruhi negara yang berketuhanan mahaesa ini.
Seorang teman menulis status di Facebook-nya kira-kira, "Membandingkan Nabi-manusia hanya dilakukan orang yang tak paham agama. Orang yang tak paham agama pula yang ngotot memperkarakan kasus tersebut."
Pangkal status itu rupanya Sukmawati yang membandingkan Nabi Muhammad dengan Presiden Soekarno. Kita tahu Sukmawati salah satu putri presiden pertama RI itu.
Saya jadi teringat buku Michael H. Hart berjudul "100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah". Banyak teman kuliah membaca buku itu pada tahun 1990-an.
Saya sendiri "malas" membacanya, entah mengapa. Tetapi dari mereka yang membacanya, saya tahu bahwa Hart memposisikan Nabi Muhammad di rangking satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah. Hart menempatkan Isaac Newton di nomor 2 dan Yesus Kristus di nomor 3. Hart juga memasukkan orang-orang seperti Karl Marx, Kong Hu Cu, John F. Kennedy, Umar bin Khatab, Alexander Agung, Albert Einstein, Mao Zedong, di antara 100 tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah.
Bukankah Hart membanding-bandingkan Muhammad dengan manusia? Mengapa kita tidak heboh, menuntut buku ditarik dari peredaran atau melaporkan Hart ke interpol, misalnya? Buku tersebut malah mengalami cetak ulang berkali-kali.
Hart memperlakukan Muhammad sebagai manusia biasa serupa manusia-manusia lain yang ada dalam bukunya. Bahwa Muhammad ialah manusia, itu karena dia hidup dalam sejarah, dalam dunia profan.
Toh, meski sering disebut manusia luar biasa atau manusia paripurna, Muhammad tetaplah manusia. Dengan segala keluarbiasaan atau kesempurnaannya itu, Hart menempatkan Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah jika dibandingkan dengan manusia-manusia lain.
Lalu, apakah kita tidak heboh, tetapi malah senang, lantaran Hart menempatkan Muhammad di posisi nomor wahid? Pertanyaan jahil itu muncul demi saya mengingat Arswendo Atmowiloto yang dibui gara-gara bikin survei yang juga jahil yang menempatkan Muhammad bukan di urutan pertama, melainkan di urutan ke-11, sebagai tokoh paling dikagumi pembaca Tabloid Monitor yang dikelolanya.
Kita semestinya memandang pernyataan Sukmawati sebagai pendapat atau pikiran. Bila kita punya pendapat atau pikiran berbeda, mari kita debat Sukma, bukan melarangnya berpendapat apalagi melaporkannya ke polisi. Mari kita perkarakan Sukma di hadapan majelis ilmu, bukan di hadapan majelis hakim.
Seorang ustad, misalnya, mendebat Sukma dengan menampilkan sampul buku '100 Tokoh' ini di media sosial seraya menuliskan kalimat "...Pak Soekarno ada di urutan berapa?", bukan melaporkannya ke polisi.
Saya memiliki buku "Books that Changed the World: the Most Influential Books in Human History". Saya juga memiliki edisi bahasa Indonesianya. Buku itu memasukkan Alquran bersama-sama buku lain, antaran lain Kama Sutra, The Republic, The Communist Manifesto, The Wealth of Nations, Lady Chatterley's Lover. Bukankah penulis buku ini, Andrew Taylor, menyejajarkan Alquran, buku yang "ditulis" Tuhan, dengan buku-buku yang ditulis manusia?Bila jalan pikiran "jangan bandingkan nabi dengan manusia" kita ikuti, kita mungkin akan memperkarakan penulis buku "Books that Changed the World" itu karena ia telah membandingkan bahkan menyejajarkan buku karya Tuhan dengan buku-buku karya manusia.
Terinspirasi buku "Books that Changed the World", saya mengomandani penerbitan buku "45 Buku yang Mempengaruhi Indonesia". Di tengah kultur "sedikit-sedikit lapor polisi, lapor polisi sedikit-sedikit", saya kadang berpikir beruntung juga tidak memasukkan kitab suci sebagai salah satu buku yang mempengaruhi Indonesia, meski kitab suci pasti mempengaruhi negara yang berketuhanan mahaesa ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews