Ketika kita berpikiran banjir ialah nasib, bukan takdir, mungkin kita tidak bahagia karena kita "berpikir terlalu berlebihan", tidak serupa orang Thailand yang "tidak berpikir terlalu berlebihan."
Dalam setiap bencana, kata jurnalis Eric Wiener, “Kita membutuhkan orang yang disalahkan selain Tuhan….” Eric Wiener mengatakan ini dalam buku “The Geography of Bliss" atau "Atlas Kebahagiaan."
Orang Amerika, tulis Eric, menyalahkan pemerintah atas kurangnya peringatan dini dan respons pascabencana setelah bencana badai Katrina meluluhlantakkan New Orleans.
Di Indonesia, ketika Jakarta dan sekitarnya mengalami bencana banjir persis di pergantian tahun dari 2019 ke 2020, orang beramai-ramai menyalahkan Gubernur DKI Anies Baswedan yang dianggap tidak kompeten mengendalikan banjir .
Dalam konteks kebahagian, orang menyalahkan Anies barangkali karena kebahagian mereka merayakan pergantian tahun berubah menjadi penderitaaan gara-gara banjir. Pergantian tahun semestinya menjadi saat bagi mereka untuk meninggalkan kenangan mendalam, tetapi malah menghadapi genangan terdalam.
Berapa banyak orang Jakarta yang kebahagiannya menikmati liburan akhir tahun tidak sempurna lantaran was-was rumah yang mereka tinggalkan terendam banjir. Yang tidak merayakan pergantian tahun dan rumahnya terendam banjir tentu lebih tidak bahagia lagi. Orang kemudian mengompensasi ketidakbahagian akibat banjir itu dengan mempersalahkan Anies.
Eric menjelajahi berbagai negara, yakni Belanda, Swiss, Islandia, Bhutan, Qatar, Moldova, Thailand, Britania Raya, India, dan Amerika, untuk meneliti kebahagian.
Eric menuliskan sejumlah perbandingan tentang kebahagian. Mereka yang bersifat ekstrover lebih bahagia daripada yang bersifat introver; mereka yang optimistis lebih bahagia daripada yang pesimistis; mereka yang menikah lebih bahagia daripada yang lajang, kendati mereka yang mempunyai anak tidak lebih bahagia daripada yang tidak mempunyai anak; orang Partai Republik lebih bahagia daripada orang Partai Demokrat; mereka yang menghadiri layanan keagamaan lebih bahagia daripada mereka yang tidak; orang yang mendapat gelar dari perguruan tinggi lebih bahagia daripada mereka yang tidak mempunyai gelar, sekalipun orang yang mempunyai gelar sangat tinggi kurang bahagia daripada mereka yang hanya bergelar sarjana; mereka yang punya kehidupan seks aktif lebih bahagia daripada mereka yang tidak punya kehidupan semacam itu; perempuan dan laki-laki sama-sama bahagia, meski wanita punya rentang emosi lebih luas; berselingkuh akan membuat Anda bahagia tetapi tidak akan mengompensasi hilangnya kebahagiaan sangat besar yang timbul jika pasangan Anda mengetahuinya dan meninggalkan Anda; orang paling tidak bahagia ketika mereka berangkat/pulang kerja; orang sibuk lebih bahagia daripada mereka yang tidak punya hal untuk dikerjakan; orang kaya lebih bahagia daripada orang miskin, tapi hanya sedikit lebih bahagia.
Perlu ditambahkan lagi di sini bahwa orang yang mengalami bencana pasti tidak bahagia.
Menurut Eric, orang Thailand punya ungkapan "jangan berpikir terlalu berlebihan". Dengan perkataan lain, orang Thailand menganggap bencana ialah takdir. Itu artinya, dalam konteks kebahagian, orang yang percaya bahwa bencana ialah takdir lebih bahagia daripada mereka yang menganggap bencana bukan takdir.
Akan tetapi, menurut saya, hujan ialah takdir, tetapi banjir ialah nasib. Kita bisa mengubah, mengendalikan, nasib. Kita bisa mengendalikan banjir. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib satu masyarakat bila masyarakat tersebut tak berusaha mengubahnya?
Ketika kita berpikiran banjir ialah nasib, bukan takdir, mungkin kita tidak bahagia karena kita "berpikir terlalu berlebihan", tidak serupa orang Thailand yang "tidak berpikir terlalu berlebihan." Tetapi bila kita sukses mengendalikan banjir, mengubah nasib, kita akan bahagia. Dengan begitu, kita tak memerlukan orang untuk disalahkan.
Wallahualam...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews