Yap Tjwan Bing: Apoteker Tionghoa yang Merangkap Pejuang Nasional

Yap meninggalkan dua anak dari hasil perkawinannya dengan Tjien Giok Yap pada 1932. Kedua anaknya bernama Yap Gwat Lee dan Yap Siong Hoei yang menderita polio.

Senin, 6 Januari 2020 | 11:07 WIB
0
330
Yap Tjwan Bing: Apoteker Tionghoa yang Merangkap Pejuang Nasional
Yap Tjwan Bing: Apoteker Tionghoa yang Merangkap Pejuang Nasional

Yap Tjwan Bing: Apoteker Tionghoa yang Merangkap Pejuang Nasional

Nama tokoh nasional asal Solo yang berdarah Tionghoa, Yap Tjwan Bing seakan tenggelam beberapa waktu silam. Hingga pada Februari 2008 di bawah kepemimpinan Walikota Solo, Joko Widodo, nama Jalan Jagalan resmi diubah menjadi Jalan Yap Tjwan Bing pada peringaran Imlek di tahun sama.

Begitu berjasanya Yap Tjwan Bing bagi Indonesia, lalu seperti apa sosoknya?

Yap Tjwan Bing adalah anak dari pasangan Yap Yo Dhiam dan Tan Tien Nio. Ia lahir di Slompretan, Solo, Jawa Tengah pada 31 Oktober 1910.

Slompretan kini berganti menjadi Pasar Klewer, pusat tekstil terbesar di Solo dan letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta. Sayang jejaknya sudah tak tersisa lagi.

Yap muda adalah sosok yang tekun menuntut ilmu. Di usia yang ketujuh, ia sudah tinggal bersama keluarga Belanda demi mempelajari bahasanya dan sekolah HollandscChinesse School (HCS) Kristen di Glembegan, Solo.

Tahun berikutnya, Yap sekeluarga pindah ke Madiun. Lalu, ia menimba ilmu di Institute KOOT, sekolah dasar partikelir di Madiun.

Kualitas sekolah yang kurang baik, membuat Yap pindah ke Tweede Europeesche School. Yakni sekolah kelas dua untuk orang Eropa dan orang terpandang di Hindia Belanda.

Ia menjadi siswa Tionghoa tunggal yang belajar disitu. Bukannya minder, Yap malah senang dan bergaul dengan teman-teman Belanda-nya.

Naik ke tingkat menengah pertama, Yap melanjutkan pendidikannya di Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Madiun. Lepas dari situ, Yap ingin meneruskan sekolah menengah atasnya ke Hogere Burgerschool (HBS).

Kendati demikian, status sosialnya membuat harapan Yap pupus. Alasannta karena sekolah tersebut hanya diperuntukkan anak-anak Eropa, Belanda, dan warga lokal elit di masa penjajahan.

Akhirnya Yap memilih bersekolah di Algemene Middlebare School (AMS) di Malang, Jawa Timur. Dan memang sekolah tersebut diperuntukkan bagi warga lokal.

Dengan beasiswa, Yap masuk ke AMS-B atau AMS afdeeling B yang dikhususan untuk pengambilan jurusan ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam. Di AMS-B, ia bergabung sebagai anggota perhimpunan sepak bola Hak Sing Wee dan menjadi pemain gelandang kanan.

Yap selanjutnya pindah dari AMS-B Malang ke AMS-B Batavia atau kini disebut Jakarta. Alasannya karena keluarganya pindah ke Garut, Jawa Barat.

Selama di Jakarta, ia tinggal menumpang dengan kerabatnya. Dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang menurun drastis sejak ia bersekolah di AMS-B Malang, selama di Jakarta Yap berjualan parfum Eau de Cologne tiap minggu.

Dan ketika perekonomian membaik, ia pindah ke asrama Kristen di Kramat Raya. Lulus dari AMS-B Batavia pada 1932, Yap berkesempatan sekolahnya ke Fakultas Farmasi Universiteit van Amsterdam dengan mengambil jurusan matematika dan fisika.

Ada misi menarik dari upayanya menempuh pendidikan di Belanda. Sebab Yap muda sebetulnya punya minat di dunia politik dan bersimpati terhadap perjuangan Soekarno dan Hatta.

Namun akses untuk mendapat buku politik ataupun buku perjuangan sangat sulit dan dilarang oleh pemerintah kolonial. Sehingga Yap minim ilmu politik.

Terlebih ia pun tak pernah bergabung ke partai politik di Hindia Belanda. Maka Yap berharap dengan ke Belanda, dirinya dapat membaca banyak buku politik.

Selain melahap bacaan politik dari berbagai bahasa, ia tetap aktif berkecimpung di perhimpunan mahasiswa farmasi Luctor et Emergo di Amsterdam. Ia juga berkenalan sekaligus berdiskusi untuk memperdalam ilmu politiknya dengan mahasiswa Indonesia di Belanda yang aktif memperjuangkan kemerdekaan.

Beberapa mahasiswa tersebut adalah kawan sesama Tionghoa, yakni Tjoa Sek Ien, Ie King Hing, dan Kwe Tien Lan hingga Mohammad Hatta yang kala itu tengah berkuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam. Selama disana, Yap pun berkesempatan hadir dalam berbagai sidang partai politik di Belanda yang memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda.

Pada 1939, ia resmi menamatkan pendidikan dan menyandang gelar doktorandus. Yap selesai kuliah dalam jangka waktu 6,5 tahun, padahal waktu normalnya antara 7-9 tahun.

Lantas ia kembali dan bekerja sebagai apoteker di Apotek Suniaraja, Jalan Pasar Baru, Bandung. Profesi itu tetap ditekuninya hingga ia menjabat sebagai direktur.

Kendati demikian, Yap tetap menaruh hati pada politik. Karir politiknya dimulai saat ia diminta menghadiri rapat perdana Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Gedung Pejambon atau kini Gedung Pancasila pukul 11.00 pada 18 Agustus 1945.

Bahasan rapatnya terkait pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 serta pemilihan presiden dan wakilnya. Dengan usia 34 tahun, Yap menjadi anggota termuda dalam rapat tersebut dan perwakilan tunggal dari peranakan Tionghoa.

Usai tugas kelar, Yap bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR-RIS). Tak hanya itu, Yap juga bergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ia bergabung karena tertarik akan asas PNI. Yakni berorientasi nasionalisme dan kerakyatan ala Soekarno.

Tahun 1946, Yap hijrah ke Yogyakarta. Alasannya karena pemerintahan dipindah ke kota Gudeg tersebut.

Di era itu pula, Yap diminta Dr Sardjito untuk turut berperan dalam membentuk Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada (UGM). Dia pun menjadi dosen disana.

Kerusuhan rasial di Bandung pada 1963, membuat mobil dan bungalow Yap habis dibakar massa. Istrinya yang ketakutan membuat Yap sekeluarga hijrah ke Los Angeles, Amerika Serikat.

Perpindahan itu sekaligus untuk mengobati penyakit polio yang diderita putra semata wayangnya. Bertahun-tahun lamanya, Yap tak pernah lagi kembali ke Indonesia.

Sampai pada 1970, ia terkena stroke. Tahun demi tahun kesehatan Yap terus merosot dan ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 1988.

Yap meninggalkan dua anak dari hasil perkawinannya dengan Tjien Giok Yap pada 1932. Kedua anaknya bernama Yap Gwat Lee dan Yap Siong Hoei yang menderita polio.

Sony Kusumo

***