Guru Honorer Jadi PRT

Maka dengan cara terhormat, terus kita tagih janji Jokowi dengan revolusi mental, dan janji Wakil Rakyat untuk alokasi anggaran pendidikan yang proporsional. Selamat Hari Guru, untuk guru sejati.

Senin, 25 November 2019 | 17:46 WIB
0
331
Guru Honorer Jadi PRT
Presiden Soekarno kampanye memberantas buta huruf (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Saya tak tega menuliskan ini. Tapi, ini menarik. Konon menjadi Guru Honorer hanya bergaji Rp.400 ribuperbulan. Jangan dibandingkan dengan 7 Stafsus Presiden, yang bergaji masing-masing Rp51 juta perbulan, tak ada kewajiban tiap hari masuk kerja.

Gaji Guru Honorer yang 'cuma' Rp400 ribu, dengan gaji PRT pun kalah gede. Karena ada PRT yang mendapat gaji perbulan Rp1,5 juta hingga Rp3 juta. Padahal, bukankah guru profesi mulia? Menyangkut kualitas sebuah bangsa dan negara dengan masa depannya?

Ya, tentu saja demikian. Meski juga harus dikatakan, guru jelek, honorer atau profesional dan amatiran, tak layak digaji berapapun. Apalagi guru sesat, yang memang cuma ngarep sebagai orang gajian. Passion menjadi guru pun sama sekali tak ada. Lebih-lebih mereka yang terpaksa kuliah di bidang paedagogi (pendidikan) karena tak diterima di fakultas favorit.

Mengapa para Guru Honorer tak menjadi PRT saja? Bukankah para Ibu dan Bapak Rumahtangga akan senang mempunyai PRT berkelas guru honorer? Yang pasti dari sisi pendidikan lebih baik, dari PRT pada umumnya? Apalagi, rumah tangga yang punya anak kecil atau remaja, pasti akan suka dengan PRT kelas Guru Honorer ini. Bukankah bisa mengajar anaknya sekalian?

Artinya, ada persoalan supply and demand yang terpenuhi di situ. Ini daripada mengeluh dengan gaji cuma Rp400 ribu. Tanpa harus demo atau teriak-teriak. Dengan menjadi PRT bisa dipastikan pendapatan akan lebih baik. Tidak mau? Karena PRT rendah? Terus, maunya apa? Kerja enak tapi dapat gaji besar? Seperti para CEO start up itu? Lha kenapa dulu tak bikin aplikasi 'Ruang Guru'? Ogah? Males?

Mungkin lebih baik mengeluh, dengan berbagai keterbatasan, daripada melakukan terobosan. Apalagi mencipta lapangan kerja sendiri, berinovasi atas kendala yang ada. Beberapa stafsus Presiden tak semua datang dari keluarga kaya.

Adamas yang membuat 'Ruang Guru' lahir dan besar dari keluarga sederhana. Gracia Mambrasar, meski lulusan S2 luar negeri, semula adalah penjual kue asongan.

Bagaimana mereka bisa direkrut menjadi Stafsus Presiden, dan bergaji tinggi (meski tetap kalah gede dibanding penghasilan pribadi mereka)?

Karena itulah nilai kepantasannya. Jangan lihat hasilnya doang, lihat juga bagaimana proses atau perjuangannya. Tak bisa dibandingkan, kecuali kita hanya berbekal iri, juga dengki. Tapi pura-pura tak tahu, bahwa tekanan dan tanggungjawab mereka sangatlah besar, daripada "hanya" mengajar di depan kelas.

Tidak adil juga menuntut kesetaraan yang tidak sebanding. Terimalah takdir, jika tak ingin melawannya, dan mendapatkan yang lebih baik. Karena nasib dan takdir orang, siapa yang tahu?

Maka dengan cara terhormat, terus kita tagih janji Jokowi dengan revolusi mental, dan janji Wakil Rakyat untuk alokasi anggaran pendidikan yang proporsional. Selamat Hari Guru, untuk guru sejati. 

***