Idiotisme Media Sosial

Bagaimana cara mempertahankan kecerdasan kita di dunia nyata, tetap kita bawa ke media sosial? Yep, menguasai materi topik yang akan kita komentari!

Jumat, 6 September 2019 | 08:50 WIB
0
556
Idiotisme Media Sosial
Ilustrasi idiot (Foto: Riaurealita.com)

Kita bisa jadi seseorang yang cerdas, bahkan sangat cerdas, di dunia nyata, tapi ketika di medsos sangat mungkin tidak mampu mempertahankan kecerdasan tersebut, bahkan hingga bisa mencapai level idiot.

Ada? Banyaak! 

Kenapa bisa demikian?

Bukankah kecerdasan bisa dikatakan sebuah skill, bakat, kompetensi, gift, yang sewajarnya akan terus menempel pada individu yang bersangkutan di lingkungan mana pun ia berada?

Karena di media sosial terlalu banyak distorsi.

Ada jutaan informasi, atau hitunglah ratusan yang sempat kita baca/saksikan secara langsung, dengan berbagai bidang temanya. Itu belum termasuk infornasi hoax atau mis-informasi.

Sementara dalam dunia nyata kita hanya menggeluti satu bidang yang kita hadapi sehari-hari.

Seorang dokter spesial penyakit dalam misalnya, ia mungkin sangat cerdas mengatasi berbagai masalah penyakit yang berhubungan dengan organ dalam manusia. Mungkin ia punya seabrek prestasi dalam hal inovasi pengobatan.

Namun mungkin ia tidak memiliki waktu atau meluangkan waktu, termasuk tidak dituntut untuk harus mampu memecahkan persoalan bagaimana cara pengawasan Dana Desa agar terimplementasi secara efektif dan efisien, tidak ada kebocoran apalagi dikorupsi.

Atau tidak usah jauh beda bidang, seorang dokter internist yang sangat cerdas di bidangnya ini, ketika disuruh membuat sistem manajemen keuangan agar dana klaim BPJS tidak dapat dikorupsi (kasus riil nya sering terjadi), maka belum tentu sang internist mampu mempertahankan kecemerlangan kecerdasannya dengan mampu membuat sistem tersebut.

Dan hal tersebut tidak mengapa sama sekali. Sang dokter tidak akan disebut menjadi idiot karena tidak menguasai bidang yang tidak ia geluti. Dan tuntutan agar ia juga harus cerdas dalam bidang manajemen pun tidak ada (karena ia tidak merangkap sebagai pejabat RS).

Di media sosial distorsi itu terjadi saling silang sengkirut (no protes, ini bukan pelajaran grammar). Dalam satu hari kita bisa disuguhi berbagai macam viral berita.

Misalnya belum selesai misteri KKN di Desa Penari terpecahkan, muncul lagi berita pindah ibukota, menyusul rasialisme dan kerusuhan Papua, berita-berita tersebut masih hangat sudah muncul lagi berita kenaikan premi BPJS, dst. Ini belum termasuk gempuran info hoax yang mendampinginya (berita aja bisa berdampingan, kamu Jomblo kapan ? *jangan cari gara-gara*).

Dan demi Badarawuhi yang selalu ingin eksis di dunia manusia meskipun tidak diminta, apapun profesi kita di dunia nyata, entah dokter, arsitek, sarjana hukum, sarjana ekonomi, sarjana sastra, pedagang sembako hingga pedagang bakso, tentu ingin mengomentari berita-berita tersebut, dan tentunya sebatas perspektif dan pengetahuan yang dimilikinya.

Lalu masalah pun mulai timbul.

Seorang master hukum pidana yang sangat ngelotok khatam semua pasal KUHP, tetiba terlihat menjadi bodoh ketika ikut mengomentari biaya pemindahan ibukota. Seorang sarjana sastra yang lulus cum laude kehilangan kebernasannya berolah kata ketika mengomentasi kompleksitas pengelolaan BPJS. Seorang financial planner menjadi terlihat kehilangan nalarnya ketika berbicara tentang pertanahan di ibukota baru, dan lain sebagainya

Banyak orang cerdas di dunia nyata tidak mampu mempertahankan kecerdasannya karena ketidakmampuan menahan godaan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yaitu "need of existence", di tempat itu (sosial media) dan saat itu juga (here and now ).

Ini yang membedakan antarsatu individu dengan individu yang lain, yaitu level bagaimana seseorang harus memenuhi kebutuhan tersebut. Ada yang merasa tidak penting, kurang penting, penting, sangat penting hingga urgently wajib harus kudu dipuaskan, dengan alasannya masing-masing.

Seseorang yang merasa tidak penting untuk eksis di sosial media, mungkin ia tidak merasa perlu harus mengomentari semua informasi yang bersliweran di sosial media. Seorang pedagang online mungkin merasa perlu untuk eksis hanya pada bidang yang digelutinya.

Seorang profesional mungkin merasa perlu tidak perlu, sehingga ia hanya berkomentar pada bidang yang berhubungan dengan profesinya saja. Dan seorang netijen julid maha benar merasa wajib kudu harus mengomentari semua hal yang sedang viral meskipun asal komentar, yang penting posting, jika salah menjulid toh netijen maha benar.

Dari rangkaian paragraf di atas, sebetulnya kita sudah paham kesimpulannya. Bagaimana cara mempertahankan kecerdasan kita di dunia nyata, tetap kita bawa ke media  sosial. Yep. Menguasai materi topik yang akan kita komentari.

Ketika akan mengomentari kebijakan seorang pejabat publik atau pejabat yang duduk di pemerintahan, minimal, tidak harus menguasainya secara mendalam, dalam kerangka berpikir kita membangun opini, sudah mempertimbangkan unsur-unsur yang menyangkut birokrasi pemerintahan, birokrasi politik, birokrasi anggaran, peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan topik yang dikomentari, dan seterusnya. Karena kebijakan pejabat pemerintah tidak akan jauh-jauh dari unsur-unsur tersebut.

Kalau kita ingin mengomentari tentang lahan yang akan digunakan untuk ibukota baru, tapi tidak merasa perlu mencari tahu tentang bunyi UU Pertanahan, Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan reforma agraria, kewenangan Presiden dalam perspektif tata negara, dan seterusnya.. bisa jadi akan terjatuh seperti 'Ayah Naen' yang menggunakan cocokologi dengan menggambar garis lurus di peta antara ibukota baru dengan Beijing lalu menghubungkannya dengan keamanan negara. Terlihat bodoh ?! You tell me

Jika kita tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi, namun ingin mengomentari topik keuangan negara, minimal pengetahuan dasarnya tentang ekonomi dan keuangan, baik mikro maupun makro, sudah kita dikuasai... bisa dari membaca berbagai literatur yang disediakan oleh mbah Google, dan lain sebagainya.

Dst..dst.. Kesimpulannya, untuk mempertahankan kecerdasan kita di media sosial, sangat memerlukan KESABARAN untuk terlebih dahulu berliterasi. Kemampuan mengolah nalar & rasa agar kita tidak selalu harus memenuhi kebutuhan untuk eksis (here and now).

Kecuali jika kita memang tidak pernah peduli, akan terlihat "cerdas" atau "bodoh" di media sosial, karena kita sudah merasa percaya diri dengan kecerdasan kita di dunia nyata, maka atas nama "menurut opini gue", silakan mengomentari hal apa saja di sosial media meskipun bukan bidang yang kita kuasai.

Karena toh meskipun ngawur, netijen tetap maha benar.

***