Persoalan Lingkungan (1): Cueknya Jokowi Terkait Pengaduan Limbah Beracun

Selasa, 22 Januari 2019 | 21:15 WIB
0
793
Persoalan Lingkungan (1): Cueknya Jokowi Terkait Pengaduan Limbah Beracun
Warga Lakardowo, Mojokerto, Jawa Timur, saat adukan pencemaran lingkungan di depan Istana Negara, Kamis (1/2/2018). (Foto: Liputan6.com).

Salah satu tema yang diusung dalam Debat Pilpres 2019 sesi kedua yang digelar Minggu, 17 Februari 2019, di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta, adalah isu Lingkungan Hidup. Beberapa masalah LH sudah pula dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo.

Namun, rupanya Presiden Jokowi tidak respon sama sekali, bahkan, terkesan dicuekin, masa bodoh. Jika persoalan LH yang dicuekin ini dibahas dalam perdebatan nanti, dipastikan akan seru jadinya. Karena ada banyak bukti ketidak-pedulian Presiden.

“Pak Jokowi, Bebaskan Lakardowo dari Limbah B3”. Demikian isi poster yang dibawa oleh Green Woman, aktivis dan warga Desa Lakardowo, Kacamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, saat demo di depan Istana Negara, Kamis (1/2/2018).

Warga Desa Lakardowo hingga kini masih tetap berharap agar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) yang sudah lebih 8 tahun ini mencemari lingkungannya, segera ditangani serius. Tapi, ternyata dicuekin!

Direktur eksekutif Ecological Obsevation and Wetlands Conservation (ECOTON – Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah) Prigi Arisandi mengungkapkan hasil kajian Geologi dan Geolistrik tanah di sekitar aktivitas PT PRIA tersebut.

Hasil kajiannya menunjukkan adanya kontaminasi logam berat timbal dan beberapa logam berbahaya. “Padahal 95% kehidupan masyarakat Lakardowo adalah petani jagung, lombok, terong dan padi,” ujar Prigi Arisandi kepada Pepnews.com.

Kontaminasi lahan ini tak urung menimbulkan penurunan kualitas dan jumlah panen. Bahkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jatim telah merekomendasikan untuk dilakukan uji kualitas hasil pertanian.

Green Woman atau gerakan perempuan Lakardowo mandiri telah melakukan uji kualitas padi yang menunjukkan adanya kontaminasi logam berat. “Memburuknya kondisi lahan pertanian ini diduga kuat karena aktivitas PT PRIA,” ungkap Prigi Arisandi.

PT PRIA merupakan perusahaan pengelola dan pemanfaat limbah B3 yang beraktivitas sejak 2010. KLHK lambat dalam penyelesaian kasus PT PRIA tanpa mempertimbangkan semakin meluasnya dampak lingkungan dan kesehatan yang dirasakan warga Lakardowo.

Untuk itu, Green Woman Lakardowo meminta pada Pemerintah Pusat untuk menuntaskan kasus pencemaran PT PRIA dengan melakukan pembuktian melalui pengeboran sedalam 10 m di dalam area PT PRIA.

Selain itu, harus melakukan pemulihan kerusakan lingkungan di sekitar areal PT PRIA yang telah terkontaminasi limbah B3. Tuntutan Green Woman ini telah disampaikan saat mereka menggelar aksi di depan Istana Negara, Kamis (1/2/2018).

Mereka berharap diterima Presiden Jokowi sehingga bisa bicara langsung. “Kami berharap tidak ada lagi perluasan PT PRIA, karena ini sudah meresahkan dan tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan limbah B3,” ujar Prigi.

“Kami juga mendorong pembangunan sarana pengolah limbah B3 di kawasan Lakardowo,” lanjut Prigi. Namun, sayangnya, hingga lebih dari setahun sejak demo di depan Istana Negara itu, Presiden Jokowi tidak menggubris keluhan warga Lakardowo.

Di Jatim setiap tahun ada 170 juta ton limbah B3 yang sebagian besar belum diolah karena tak punya sarana pengolah limbah yang baik. Mahalnya biaya pengelolaan limbah membuat sektor swasta atau pihak ketiga membuang limbah B3 di sembarang tempat.

“Di Jatim ada lima zona pembuangan limbah B3, yaitu di kawasan militer, di bekas galian C, di permukiman yang akan dibangun dan digunakan sebagai material infrastruktur,” ungkap Prigi.

Rencana perluasan kawasan industri di Jatim yang dicanangkan Gubernur Soekarwo itu sama halnya dengan membangun hotel berbintang tapi tak disertai membangun toilet. Dampaknya tamu hotel buang air besar sembarangan.

Pemerintah tidak memperhatikan prinsip kehati hatian dan melupakan konsep pembangunan yang berkeadilan antar generasi karena mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan tetap mengorbankan keselamatan/kesehatan manusia dan merusak lingkungan hidup.

Ecoton meminta Pemerintahan Jokowi untuk melakukan pemulihan (clean up) lingkungan yang terkontaminasi limbah B3 di Jatim, terutama pada lima zona yang terpantau Ecoton. Pemerintah juga harus mempercepat pembangunan instalasi pengolahan limbah B3 di Jatim.

Menurut Prigi, LSM Telapak Jabagtim mengawal petani cabe Lakardowo menuntut hak atas tanah yang bebas dari kontaminasi B3 dari PT PRIA yang mengelolah limbah B3 dari 1.000 industri di Jatim.

Lima tahun beroperasi bencana yang diterima lebih besar dari berkah. Pada 20 Februari 2016, 15 warga digebuki oleh polisi dari Polres Mojokerto karena menghadang truk pengangkut B3 masuki desa Lakardowo.

“Telapak Jatim merasa perlu melibatkan diri dalam upaya menuntut keadilan atas lingkungan hidup dan sehat dan hak petani untuk bisa bercocok tanam dan menghidupi keluarganya,” ungkap Prigi.

Perlu dicatat, PT PRIA adalah anak perusahaan PT Tenang Jaya Sejahtera yang menyediakan jasa pengangkutan, pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan limbah padat, limbah cair B3 yang sangat toksik.

Limbah itu antara lain: Fly Ash dan Bottom Ash, Steel Slag, Iron Slag, Paint Sludge, Sludge IPAL, Tinta dan Toner Bekas, Sand Faundry Dust, Grinding Dust Casting Furnace, Slag Scrap terkontaminasi limbah B3, Oli Bekas dan Spent Oil Coolant, Minyak Kotor;

Solvent, Larutan bekas, Kain majun bekas, Faundry/Blasting Dust Casting, Dust, Grinding/ Collector Furnace, Slag/Dross Sludge, Paper Sludge, Paint Sludge, Platting Sludge, Sludge yang mengandung logam berat/IPAL.

Prigi Arisandi membenarkan, terkait pengaduan pencemaran lingkungan apapun, Presiden Jokowi cuek tidak ada respon sama sekali. “Betul!” tegas Prigi. Sejak 2016 Ecoton sudah mengadukan adanya timbunan limbah B3 di wilayah Jatim.

Yakni, Lamongan, Gresik, Mojokerto,  Jombang,  Surabaya, dan Pasuruan, tapi pemerintah mengabaikan hasilnya. “Kegiatan ilegal dumping limbah B3 makin marak terjadi di Jatim,” ujarnya. Jatim kini bisa disebut sebagai provinsi bebas timbun limbah B3.

Sampah Popok

Dan, “Pengelolaan Brantas pun tidak mendapatkan perhatian Presiden, padahal sungai ini merupakan sungai strategis nasional di mana 20% stok pangan berasal dari DAS Brantas,” ungkap Prigi.

Catatan Ecoton menunjukkan, sepanjang 2015-2018 telah 14 kali kejadian ikan mati massal di Brantas, namun tidak ada upaya pengendalian berupa penegakkan hukum bagi pelaku atau upaya pemulihan.

Bahkan, hingga saat ini marak pembangunan bangunan di tepian Sungai Brantas yang akan memperburuk kualitas air. Meski demikian tidak ada respon serius PUPR dan KLHK sebagai pembantu presiden yang bertugas kelola Brantas.

“Pemerintah juga tidak becus kelola sampah, salah satunya adalah jutaan sampah popok yang mengendap di Kali Brantas, dampak seriusnya adalah kontaminasi mikroplastik dari bahan popok yang terurai dan tersuspensi (tercampur dan bersenyawa) dalam air,” lanjutnya.

“Padahal, ada 4 PDAM yang memanfaatkan air Sungai Brantas, namun PUPR dan KLHK kembali absen tidak hadir dalam pengendalian sampah popok,” tegas Prigi.

Kondisi ini diperparah dengan membanjirnya sampah plastik dan sampah kertas dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Australia, dan New Zealand. Negara-negara tersebut membuang ratusan ribu atau bahkan jutaan ton per tahun ke Indonesia,.

Apalagi sejak 2018 China tidak lagi menerima sampah asing, maka negara tak mampu seperti Indonesia dan negara lain di kawasan Asia Tenggara membuka pintu menampung sampah dari luar negeri. Di Jatim, sampah itu dibakar dan dibuang ke sungai.

(Bersambung)

***