Tentang (Patung) Buddha yang Tak Sempurna

Ini zaman, ketika semua orang sesungguhnya agamanya adalah sama: kemajuan. Kitab sucinya mirip, suatu teks matematika yang isinya perhitungan laba rugi. Dan benderanya adalah materi....

Senin, 6 Desember 2021 | 22:05 WIB
0
307
Tentang (Patung) Buddha yang Tak Sempurna
Pedagang di pelataran Borobudur (Foto: Dok. pribadi)

Suatu ketika, saat Borobudur dalam puncak masa restorasinya. Suatu masa, di saat politik etis ditandai dengan "ngruwat" warisan pribumi di tanah jajahan. Saat dimana pariwisata bukan suatu mantra yang maknanya melulu komersial. Saat, para arkeolog memiliki peran paling suci, menemu, memikir, mencatat dan merekonstruksi ulang.

Ada satu peristiwa sederhana, yang pada masanya dianggap tak penting. Sang arkeolog senior yang bernama Theodoor van Erp, menemukan sebuah patung Buddha yang tak sempurna di puncak stupa candi terbesar di dunia itu. Di puncak yang konon adalah "mahkota" candi itu ternyata berisi ruang kosong. Dan di dalamnya tergeletak patung Buddha yang "dianggap tak selesai".

Sebagian malah menganggapnya sebagai patung yang rusak, yang sengaja ditinggalkan sekedar sebagai pengisi ruang kosong. Lalu, karena dianggap tidak penting, van Erp kemudian menurunkan patung tersebut lalu mengonggokkannya di bawah pohon2 kenari yang terletak disi Barat Daya candi itu. Soekmono, figur yang kemudian dicatat sebagai Bapak Arkeologi Indonesia, mencatat patung itu sebagai:

“Mukanya jelek dan tubuhnya cacat. Keriting rambutnya belum dipahat, lengan atasnya yang kanan tidak sama panjangnya dengan lengan atas sebelah kiri, dan alas tempat duduknya tidak sama ukuran tebalnya di bagian kanan dan bagian kiri. ‘Luka’ pada dahi dan hidungnya menambah jelek penampilannya, sedangkan salah satu ibu-jarinya hilang, dan lipatan kainnya yang mestinya ada di antara kaki, belum digambarkan.”

Demikian ia pertama kali didokumentasikan dan dimaknai, sebagai sebuah artefak. Diabaikan, bahkan secara slapstick di rumahnya itu. Di atas puncak stupa itu, pernah didirikan gubug kecil. Difungsikan sebagai gardu pandang. Dan sesekali, digunakan sebagai tempat kongkow dan minum teh. Foto-foto tentang gubug di atas puncak stupa itu sedemikian legendaris, sehingga sering justru jadi ikon karya fotografis yang ironik sekaligus absurd dan intimidatif.

"Merestorasi, merawat, tapi sekaligus menganeksasi, merusak, merendahkan". Padahal intinya adalah ketidaktahuan, kesembronoan, dan belum waktunya. Bahkan seorang arkelog sekalipun, mereka memiliki cara-caranya sendiri untuk menjadi hedonis dan eksibisionis. Dalam bahasa hari ini kita sebut sebagai "khilaf dan gak nyampe....".

Puluhan tahun kemudian, ketika literatur bacaan makin banyak, baik dari dalam maupun luar negeri ditemukan. Realitas itu merubah semua pemahaman.

Dari luar negeri, seorang arkeolog Belanda lain bernama Bernard Kempers mengkritik Th. Van Erp bahwa patung tersebut seharusnya dikembalikan ke tempatnya semula. Karena, patung sejenis arca tersebut memang disengaja untuk tidak diselesaikan pembuatannya. Berdasarkan catatan China tahun 604 M, di India pernah terdapat patung Buddha cacat seperti itu.

Di dalam negeri, Prof. Soekmono yang kemudian mempelajari Serat Centhini, yang dianggap sebagai Ensiklopedi Tanah Jawa juga menemukan catatan sejenis. Apa yang Mas Cebolang, sebagai tokoh utama penutur dalam teks tersebut. Menyebutnya sebagai bahwa "paran darunane iki rêca agung tur nèng pucak, têka tan langkêp ing warni". Ia memang arca sengaja tak diselesaikan, para pembuatnya punya seribu satu alasan membuatnya tidak sempurna....

Setelah nyaris seratus tahun lebih setelah itu. Pemahaman yang lebih sempurna ditemukan bahwa arca itu adalah bentuk Buddha yang moksa: dari ada bentuk ke tiada bentuk, dari rupa ke arupa. Satu hal yang menjadi dasar dugaan bahwa patung ini merupakan perlambang dari "Adi Buddha" adalah tafsiran mengenai sempurna dan utama, justru dalam bentuknya yang tidak sempurna.

Dalam Kejawen ini adalah titik sempurna, titik yang nyaris diimpikan semua orang yang memimpikan kesucian dan kesempurnaann hidupnya dalam tahap yang disebut "rupa sing arupa". Proses transedensi, jalan menuju nirwana.
Fakta dan fenomena ini, kemudian dianggap bahwa Borobudur memiliki kekhasan dan kelokal-jeniusan yang unik. Ia berhasil membebaskan diri dari Buddhisme bermahzab Tibetan atau Jepang atau China, atau apa pun untuk menjadi sangat khas Nusantara. Sengaja saya tak menyebut Indonesia, karena Indonesia "apa dan siapalah" pada masanya. Tak dikenal, dan barangkali tak kan berusia lama.

Sayang, bahwa hingga tulisan ini dibuat. Buddha yang kemudian disebut "Sanghyang Adi Buddha" tak pernah dikembalikan pada rumah semulanya, di puncak stupa utama itu. Ia terongggok begitu saja, dalam area Museum Karmabiwangga. Hingga yang tersisa, bagaimana kita memaknai dan mencurigainya?

Borobudur yang sekedar tersisa menjadi area komersial, yang bahkan ketika ia berada puncak ritual kelahiran Sang Buddha tetap saja maknanya adalah komersial. Hanya menjadi latar orang2 berlari kesana kemari. Mengejar medali dan kesemuan. Mungkin orang khawatir Buddha bangkit lagi di Jawa, dan kembali menemukan kebesarannya.

Mungkin orang takut, bahwa situs ini tak lagi memberi manfaat justru karena kesuciannya, kesakralan, dan keutamaannya. Padahal jutaan orang terlanjur bergantung hidupnya pada dirinya...

Ini zaman, ketika semua orang sesungguhnya agamanya adalah sama: kemajuan. Kitab sucinya mirip, suatu teks matematika yang isinya perhitungan laba rugi. Dan benderanya adalah materi....

Sampai kapan? Mungkin sampai Adi Buddha itu kembali ke rumah aslinya! Tapi apa ya mungkin?

Mungkin! Tapi jelas tidak hari-hari ini.

NB: Pagi ini, saya menemukan sebuah postcards yang sangat langka dan bikin haru. Saat awal Borobudur mulai dikenal dan diperkenalkan sebagai "obyek wisata". Dokumentasi foto yang sangat ikonik. Seorang simbah sepuh, yang berjualan di bawah pohon kenari tua itu. Peletakkan dimana dulu patung Adi Buddha itu pertama kali diturunkan dan digeletakkan.

Seorang perempuan Jawa, yang saya yakin bukan seorang Buddhist. Satu2nya jejak yang sangat Buddhist yang tersisa padanya adalah jenis2 barang jualannya: tri-pala.

Apa yang dalam kultur Jawa hari ini adalah pala kesampar, tanaman yang buahnya terletak di atas tanah. Sejenis labu, mentimun atau semangka. Pala Kependem yang tertanam di dalam tanah, yang maknanya adalah umbi-2an seperti ubi kayu, ubi jalar, bengkoang, dll. Dan terakhir adalah pala gumantung, buah yang bergantung pada pokok pohonnya. Semisal pisang, mangga, jagung, dll.

***