PSBB Total Bukan Solusi

Disiplin dan tegas pada protokol kesehatan. Ga bisa PSBB total lalu andalkan bansos lagi. Eksekusi kemarin aja ga bisa beres, berantakan.

Minggu, 13 September 2020 | 08:40 WIB
0
212
PSBB Total Bukan Solusi
Wisma atlet sebagai RS darurat penuh oleh pasien covid-19 (Foto: CNN Indonesia))

Jakarta sudah punya kapasitas tes yang baik, fasilitas kesehatan juga relatif memadai. Beberapa puskesmas mungkin sudah mirip RS kalau di daerah lain. Tenaga kesehatan pun jauh lebih baik dibandingkan daerah lain.

Tinggal 1 langkah lagi yang sebenarnya kurang. Atau pantas disebut anjlok, yaitu pengawasan dan penegakan disiplin.

Pernah liat pihak pemprov rutin sweeping di pusat keramaian lingkungan sekitar kita? Saya sih belum lihat. Padahal ga susah untuk kerahkan dinas terkait, Satpol PP, Polri dan TNI. Ajak pemuka agama/tokoh masyarakat, mereka bisa lebih didengar. Lakukan pendekatan humanis, bicara tatap muka, ga perlu lama, 1-2 menit, lalu pindah ke kelompok lain. Yang penting rutin, ini kuncinya.

"Bisa dosa jariyah loh pak, bu, kalau sampai kita ga pake masker sementara mungkin kita udah OTG. Kita kan belom tahu positif atau ngga, kecuali dites. Mau dites? Hayooo. Makanya ayo dong dipakai maskernya ya."

Itu cuma contoh, pendekatan dosa-pahala ini bisa sangat efektif selain denda atau sanksi sosial karena urusannya sama neraka. Kalau dulu waktu Pilkada, isu agama gencar dimainkan, saat kritis begini justru jangan malah ragu lagi dipakai. Sudah terbukti efektif kok. Manfaatkan.

Tapi apa yang terjadi di lapangan? Sosialisasinya dari atas kendaraan sambil sekedar lewat pakai pengeras suara. Itu juga sekali-kali, belum tentu sebulan sekali. Atau saya lihat berita ada arak-arakan bawa peti mati, lagi-lagi sambil lewat pakai pengeras suara. Apa yang mau diharapkan dari aksi begini? Berharap warga mau disiplin kebiasaan baru cuma modal kerja kaya begitu? Mimpi!

Selain pusat keramaian dan pemukiman, perkantoran juga wajib rutin disidak. Klaster perkantoran berandil besar menambah kasus. Ini memang pernah dilakukan tapi apakah intens? Jangan cuma sekali-kali. Iya memang harus kerja keras. Saat begini memang ga bisa santai. Harus ada usaha lebih karena ini kasus luar biasa. Ga bisa pola kerja biasa dipakai sewaktu krisis.

Jadi sebetulnya Jakarta tinggal selangkah lagi menuju keseimbangan dan keberhasilan. Tapi jika memilih balik ke PSBB Total, malah terancam jadi mundur lagi.

Kelompok pekerja informal di Jakarta itu 30% lebih, ini belum termasuk "tetangga" yang menyebrang. Itupun data BPS pertengahan 2019. Setelah 2020 dan banyak PHK pekerja formal, entah seperti apa statistiknya. Itu kenapa hampir mustahil berharap Indonesia bisa seperti Malaysia, apalagi Singapura. Karena nafkah pekerja informal memang ada "di luar", mereka harus "bergerak".

Di Malaysia, jumlah pekerja informal itu cuma 10%. Itu total 1 negara, masih jauh di bawah Jakarta. Jadi memang relatif lebih mudah "mengisolasi" Kuala Lumpur dibandingkan Jakarta karena di KL mayoritasnya pekerja formal, mungkin bisa 95%. Selain itu, Malaysia juga cukup keras kasih sanksi bagi pelanggar protokol. Ada banyak yang sampai dipenjara. Yang begini apa bisa dipakai di Jakarta?

Jadi kalau mau bandingkan dengan Malaysia apalagi Singapura, itu sudah jelas salah alamat. Pendekatannya sangat sempit dan tidak holistik/menyeluruh. Ga tepat.

Pada Juni lalu, sebuah survey mengatakan 60% responden di Indonesia lebih kuatir soal ekonomi. Ini seharusnya jadi alarm. Kalau sudah begini, pembuat kebijakan harus pintar-pintar cari jalan tengah. Karena dalam benak sebagian orang, letak nyawa mereka ada di ekonomi. Sementara pergerakan ekonomi memiliki risiko kesehatan. Di sini peran pendekatan multi disiplin dan mitigasi risiko bermain.

Kebijakan yang diambil harus berimbang. Ga berat sebelah. Sejauh ini, pilihan yg tepat adalah mengawasi pergerakan dengan ketat ketimbang memutus total. Sekali lagi, lihatlah struktur ekonomi pekerja kita. Tanpa menggunakan pendekatan multi disiplin, kebijakan ga akan tepat sasaran.

Ekonomi, sama pentingnya dengan kesehatan. Yang satu ga lebih penting dibanding yang lain. Sejajar. Mereka bukan 2 hal terpisah tapi harus dilihat sebagai satu kesatuan, jadi jangan "diadu". Pemprov harus bisa membangun jembatan antara tiang kesehatan dan ekonomi. Bukan mengorbankan salah satu karena yang akan "jatuh" dan jadi korban adalah warganya juga.

Kalau cuma menimbang suara medsos yang mayoritas dari kelompok menegah atas, nanti yang menengah bawah terabaikan karena mereka ga aktif atau ga main medsos. Sekali-kali lihatlah kenyataan di bawah. Jangan cuma di belakang meja.

Memang bakal repot, perlu waktu, usaha lebih bahkan main keras. Tapi saat ini memang cuma itu satu-satunya jalan dan itu bisa dilakukan. Disiplin dan tegas pada protokol kesehatan. Ga bisa PSBB total lalu andalkan bansos lagi. Eksekusi kemarin aja ga bisa beres, berantakan.

Ayo kerja lebih keras, lebih cerdas lagi. Jangan cuma ikut suara populer, sekedar beda atau cuma mau gampangnya aja. Apa perlu saya yang gantiin?

***