Mencegah Perundungan di Sekolah

Apapun alasannya, perundungan merupakan bentuk kekerasan dan merupakan perilaku yang sangat buruk.

Sabtu, 15 Februari 2020 | 07:06 WIB
0
388
Mencegah Perundungan di Sekolah
Ilustrasi kekerasan di sekolah (Foto: beritagar.id)

Hasil survei Program for International Student Assesment (PISA) menyebut, 41% siswa di Indonesia menjadi korban bully atau perundungan. Persentase perundungan yang dialami siswa-siswi di Indonesia ini lebih besar dibandingkan dengan rata-rata Negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operating and Development), yakni 23%. Informasi ini tentu sangat mengagetkan banyak kalangan jika dilihat dari angkanya.

Ada tiga penyebab hingga perundungan itu bisa terjadi di sekolah. Pertama, longgarnya pengawasan guru. Perundungan sering terjadi saat waktu istirahat, jam kosong, dan jam olahraga atau kegiatan di luar kelas. Pada waktu istirahat, guru tentu memanfaatkan waktu untuk sekadar minum dan bertemu teman sejawatnya di ruang guru.

Pada jam kosong atau guru berhalangan hadir, biasanya diisi oleh guru piket. Sering guru piket itu hanya menyerahkan tugas kepada para siswa untuk dikerjakan tanpa menungguinya. Ia langsung kembali ke meja piket karena sangat mungkin ada tamu dan tugas lainnya.

Pada jam pelajaran luar kelas juga sering terjadi perundungan. Kegiatan luar kelas atau outing class dilakukan agar para siswa tidak mudah jenuh. Selain itu, materi pelajaran memang memerlukan informasi yang terdapat di tempat tujuan. Pada kegiatan ini, jumlah guru sangat sedikit meskipun melibatkan ratusan anak-anak.

Kedua, beratnya tugas administrasi guru. Banyak orang beranggapan jika tugas guru itu ringan. Katanya, guru tinggal menjelaskan materi di depan kelas, lalu menyuruh para siswa melakukan ini dan itu. Jelas pendapat itu salah besar.

Tugas pokok guru itu ada lima, yakni menyiapkan pelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran, melakukan remedial atau perbaikan, dan melakukan pengayaan atau pendalaman materi. Tugas satu dan dua tidak masalah, tetapi tugas tiga, empat, dan lima sering membuat guru kerepotan.

Coba dibayangkan kondisinya jika seorang guru mengajar 10 kelas yang masing-masing kelas memiliki 30 siswa. Artinya, guru harus mengoreksi pekerjaan 300 anak hanya untuk satu kompetensi dasar.

Jika guru harus menyampaikan empat kompetensi dasar, itu berarti guru mesti mengevaluasi 1200 pekerjaan siswa. Itu baru evaluasi atau ulangan, belum termasuk meremidi dan memperkaya para siswa yang nilainya di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Itu baru tugas pokoknya.

Di sekolah, guru juga mendapatkan tugas tambahan, seperti menjadi walikelas, pembina ekstrakurikuler, dan menjadi wakil kepala sekolah. Masing-masing tugas tambahan ini juga memiliki pekerjaan yang harus dituntaskan. Ini pun belum termasuk tugas pribadi guru yang mengurus administrasi kepegawaian, rapot elektronik, dapodik dan lain-lain.

Ketiga, regulasi yang membatasi kewenangan guru. Di sekolah, sekarang guru tak berani lagi memberikan hukuman yang keras kepada para siswa yang melanggar tata tertib. Satu sebab, yakni guru takut berurusan dengan hukum akibat tindakannya itu. Maka, guru pun membiarkan saja para siswa yang jelas-jelas berbuat menyimpang karena dirundung ketakutan.

Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) sering disalahgunakan untuk menyerang posisi guru. Banyak guru menjadi korban kebrutalan siswa yang ditindaknya. Ada guru yang meninggal akibat ditusuk pisau oleh siswanya karena guru menegur si siswa yang ketahuan membawa hape ke sekolah. Ada guru yang berkelahi dengan siswa akibat tidak terima dengan tindakan guru. Videonya viral saat ini.

Kuncinya Perlindungan Guru

Menyikapi kondisi ini, kuncinya ada pada guru. Guru adalah pemegang kewenangan utama di sekolah. Oleh karena itu, mengatasi perundungan di sekolah pun harus melibatkan guru. Maka, ada tiga strategi yang dapat dijadikan pilihan. Pertama, jadikan tata tertib sekolah sebagai regulasi atau aturan tertinggi di sekolah.

Tata tertib sekolah itu dibuat pihak sekolah dengan persetujuan komite sekolah. Artinya, tata tertib sekolah sudah dicermati perwakilan orang tua siswa. Begitu isinya disepakati, tata tertib itu diberikan kepada orang tua untuk ditandatangani. Artinya, orang tua telah menyetujui isi tata tertib tersebut.

Sayangnya, ada oknum orang tua yang arogan. Begitu mendapat laporan dari anaknya yang merasa disakiti guru, oknum orang tua itu langsung melabrak guru ke sekolah tanpa konfirmasi. Bahkan berbuat tercela di sekolah dengan mengumpat, memaki, hingga memukul guru. Peristiwa itu terjadi di sekolah sehingga mestinya hukum tertinggi yang berlaku adalah tata tertib sekolah.

Kedua, kontrol yang ketat penggunaan gadget. Hasil penelitian penulis menyebutkan, 90% siswa sudah memiliki gadget atau telepon pintar di rumah. Ada yang membeli sendiri dengan menabung, dibelikan orang tua, dan dibelikan saudara sebagai hadiah.

Ini jelas sangat berbahaya. Saat anak-anak memegang hape, orang tua sulit memantau penggunaannya. Apa yang dilihat, apa yang dimainkan, dan dengan siapa anak berteman tak diketahui orang tuanya. Akibatnya fatal, yakni anak-anak mendapatkan akses bebas. Mereka bisa menikmati kekerasan, pornografi, dan berinteraksi dengan orang-orang jahat lewat dunia maya. Dari situlah, anak-anak belajar melawan gurunya di sekolah karena karakter anak memang suka meniru. Tak berpikir akibatnya baik atau buruk.

Ketiga, kuatkan komunikasi sekolah dengan orang tua. Sebagai guru, penulis sering pusing menghadapi orang tua siswa yang tak pernah memenuhi undangan ke sekolah. Begitu ada indikasi seorang anak sering melanggar tata tertib, guru tentu akan meminta bantuan orang tuanya. Sayangnya, banyak orang tua malas hadir ke sekolah guna membicarakan perilaku anaknya di sekolah. Alasannya klasik, yakni sibuk bekerja. Lebih sadis lagi, orang tua sudah merasa menyerahkan anaknya ke sekolah sehingga merasa tak perlu lagi mengurus anaknya.

Pada era digital sekarang, komunikasi guru dan orang tua dapat dijalin dengan membentuk grup di sosial media. Maka, sebaiknya guru dan orang tua aktif mengikuti perkembangan informasi yang berkaitan dengan anaknya di sekolah. Jika memang perlu penjelasan pribadi, guru dan orang tua dapat berkomunikasi lewat private messenger.

Perundungan memang sangat sulit dihilangkan dari sekolah.

Namun, kita harus mencegah kekerasan itu terjadi. Apapun alasannya, perundungan merupakan bentuk kekerasan dan merupakan perilaku yang sangat buruk. Memperhatikan ini pula, maka hendaknya guru diberikan kepercayaan agar dapat menjalankan tugasnya sebagai pendidik dengan aman dan nyaman. Tidak ada satu pun guru yang berniat melukai siswanya karena mustahil ada orang tua yang melukai anaknya. Bukankah guru adalah orang tua siswa di sekolah?

Johan Wahyudi, Guru SMPN 2 Kalijambe, Sragen

***

Keterangan: Artikel ini telah dimuat di Majalah Derap Guru PGRI Jateng edisi Februari 2020.