Jawa, Antara Wadas dan Jati

Antara wadas dan jati itu memiliki satu persamaan pokok. Ia adalah "barang keras", bedanya hanya pada konteks yang satu batu yang selanjutnya adalah kayu.

Kamis, 17 Februari 2022 | 21:06 WIB
0
200
Jawa, Antara Wadas dan Jati
Ilustrasi (Foto: Facebook/Andi Setiono)

Bagi kalangan Kejawen, beberapa waktu terakhir menghadirkan banyak fenomena yang unik dan membuat haru sekalingus mongkog. Upaya peminggiran, penisbian, penyangkalan atau bahkan yang paling sadis dianggap pemusnahan terhadap budaya ini nyata terjadi.

Nyata dalam arti hal tersebut "diucapkan", yah sekedar sebagai bagian dari agitasi. Selalu tampak gagah, sebagai bagian dari pencerahan yang mereka anggap sebagai "hidayah". Woh!

Orang boleh saja bilang bahwa itu hanya "perilaku oknum", hanya minoritas dari mayoritas. Bagi saya sih sama saja. Upaya seperti ini bukan hal baru, yang dilakukan secara nyaris bergiliran dari kelompok-kelompok yang berbeda. Hanya beda cerita, lokasi, dan barangkali waktu. Apa yang saya sering sebut perilaku umum di tanah Jawa sebagai "ngapik-ngapik awake dewe, ngelek-ngelek tumraping liyan". Begitulah selalu cara agama disebarkan, begitu juga program perubahan sosial terjadi, begitu juga program pembangunan dijalankan. 

Semua atas nama hal dan berhala yang sama: kemajuan! 

Ketika "Jawa" dalam semua aspeknya demikian dihinakan, terdapat dua realitas yang harus saya ceritakan. Sebuah cerita yang semua orang barangkali sudah (pernah) dengar, walau mungkin tanpa memaknainya secara lebih "dalam". 

Pertama, bagian cerita menggembirakannya. Nyaris setiap tahun munculnya fenomena temuan artefak atau situs baru masa lalu yang suka atau tidak dapat dianggap sebagai bukti "kebesaran Jawa". Tidak hanya hal-hal kecil seperti prasasti yang dapat dianggap hal "kecil tapi besar", tetapi bahkan sesuatu yang gigantis. Sebut saja yang terakhir Prasasti Mpu Sindok di kawasan Trowulan, dan yang paling raksasa tentu saja Situs Liyangan yang dapat dianggap sebagai temuan terbesar arkeologis di abad modern. 

Liyangan kadang secara berlebihan dianggap sebagai Situs Pompei-nya Jawa. Sebuah situs yang memotret secara lengkap, sebuah komunal masyarakat Jawa lama selengkap-lengkapnya. Di sini ditemukan, nyaris semua wujud perlengkapan kehidupan keseharian di masa lalu. Baik itu artefak rumah tangga, pertanian, ritual bahkan barang-barang yang dianggap "import" seperti keramik China.

Yang mencengangkan tentu saja temuan contoh jenis kuliner pada masa tersebut. Apa yang dimakan masyarakat, jenis padi yang ditanam pada masa itu. Bahkan jenis minuman yang semestinya sudah musnah tertelan alam. 

Pekerjaan rumahnya, bahwa ternyata eksisting situs Liyangan yang ditemukan dianggap baru sebagian sangat kecil dari sebuah kawasan yang jauh lebih luas yang masih terkubur. Syukurlah, atau malah "ndilalah"-nya situs ini terletak di kawasan terbuka. Di mana cukup jauh dari pemukiman, sehingga harapan untuk rekonstruksi lebih luas barangkali dapat terealisasi di masa depan. Semoga, situs ini dijauhkan dari tangan jahat dari spekulan tanah...  

Di Jogja, situasinya jauh lebih kompleks dan mengharukan. Di saat ratusan candi perwara di Kompleks Candi Prambanan belum lagi tersentuh, pun di Candi Sewu yang jauh lebih banyak belum lagi tertangani. Bahkan candi Budha tertua yang disebut Candi Tara atau yang populer sebagai Candi Kalasan. Candi terindah yang tak kunjung selesai direnovasi sejak masa Kolonial, justru saking penuh teka-tekinya. Sesekali kunjungilah situs ini, dan perhatikan setiap detail cerita yang terpahat dalam batunya. Dijamin puyeng tujuh keliling...

Tak jauh dari daerah tersebut terus menerus ditemukan ditemukan situs candi baru. Setelah Candi Genag, lalu Candi sari, dan terakhir Candi Kedulan yang tak kalah eksotis, karena juga terkubur belasan meter di bawah tanah. Dan uniknya tak ada satu pun, di antara satu kompleks dengan kompleks yang lainnya yang sama. Semua nyaris menawarkan gaya berikut cerita yang berbeda. 

Kedua, ini bagian cerita yang menyedihkannya. Hal serupa juga terjadi di banyak daerah lain. Di daerah Kebumen, ditemukan situs punden berundak di sebuah bukit. Sebagaimana kita tahu punden berundak adalah tinggalan yang lebih "asli Jawa", dimana pengaruh Hindu-Budha dianggap "masih belum". Sayangnya, kemudian belum lagi situs ini tertangani dengan baik. Muncul sebuah mitos yang "diedarkan" di kalangan masyarakat, bahwa di puncak punden tersebut sebelumnya dibangun sebuah "masjid kagol" oleh seorang wali. 

Cerita masjid kagol intinya adalah masjid yang tak pernah jadi atau tak selesai dibangun. Ironisnya ceritanya meniru plek-ketiplek Legenda Loro Jonggrang. Ketika "si masjid" hanya dibangun dalam waktu semalam. Sayang ketika mendekati jadi, kemudian masjid ini "dikerjain" dengan upaya penggagalannya. Melalui bunyi yang berasal dari tabuhan gejok lesung yang membangunkan ayam jago berkokok. Penanda fajar telah tiba dan gagal lah upaya pembangunan tersebut. Tentu saja, terlihat jelas dalam playing victims ini siapa yang harus disalahkan....

Di Jawa Timur, di kawasan Kediri ada cerita lain yang aneh tapi nyata dan lebih menjengkelkan. Ditemukan sebuah situs candi yang lain. Namun kemudian dari susunan batu yang berserak itu. kemudian dibentuk nisan-nisan raksasa, yang "diakukan" sebagai makam para wali. Mereka yang dianggap sebagai penyebar agama di daerah setempat. Padahal, secara nyata itu adalah bagian-bagian dari struktur pecandian. Bahkan yang lucu. terdapat struktur lingga dan yoni yang kemudian dianggap sebagai tempat orang bersuci. 

How come, bagaimana mungkin? Tapi apa yang tidak mungkin di tanah Jawa ini...

Bagian yang orang selalu gagal paham tentang tanah Jawa itu, ia menawarkan keseimbangan. Ketika ia dinisbikan dianggap musnah dan tak penting. Tiba-tiba saja dimunculkan saja sebuah bukti baru. Sesuatu yang bikin frustasi sekelompok komunal tertentu. Tak serta merta membuat orang yakin.

Menjelaskan, kenapa muncul sebuah kelompok "halu akut" di Jogja yang menulis sebuah buku yang ingin membuktikan bahwa Majapahit adalah sebuah Kesultanan. Bahwa Gajah Mada adalah seorang muslim, yang aslinya bernama Gaj Ahmada.  

Bahwa raja terakhir Majapahit yang dianggap sebagai ayahnya Raden Patah adalah Prabu Brawijaya V. Suatu kronik ala malin kundang, di mana si anak memerangi ayahnya sendiri. Padahal dalam tradisi Majapahit tak pernah dikenal penyebutan "angka" sebagai bagian dari nama raja. Penyebutan angka adalah tradisi kekhalifahan yang berasal dari Timur Tengah. Orang Jawa Kuno itu selalu "independen", terlalu kreatif untuk menjadi peniru atau sekedar penerus atau epigon. Ia selalu pede memiliki nama sendiri. 

Demikianlah tanah Jawa, ia sebenarnya sudah secara kuat memberi isyarat bahwa peralihan dari era Agama Lokal ke tradisi India Hindu Budha menjadi tradisi Timur Tengah (maaf bila saya enggan menyebut Arab). Sudah digariskan oleh tradisi, akar dan jejak kemajuan yang berbeda. 

Jawa di masa lalu, di masa walnya adalah masa batu kapur. Batu paras yang mudah rusak, tapi mudah ditata tanpa sentuhan teknologi. Ketika beralih menjadi Hindu-Budha ia dicirikan oleh tradisi batu andesit atau apa yang populer di hari ini disebut wadas. Dan ketika, Islam tiba ia datang dengan tradisi kayu jati. Saat jati menjadi soko guru nyaris semua aspek kehidupan masyarakatnya.  

Antara wadas dan jati itu memiliki satu persamaan pokok. Ia adalah "barang keras", bedanya hanya pada konteks yang satu batu yang selanjutnya adalah kayu. Dengan satu ciri yang sama, walau keras ia mudah dibentuk. Ia bisa dibentuk sebagai dan menjadi apa saja. Ia bisa jadi rumah ibadah yang tahan ratusan tahun, ia bisa menjadi istana yang masyur.

Pun ia bisa menjadi alat pertanian dan kehidupan sehari-hari. Batu bisa menjadi sekedar cowek, muntu, lumpang, pipisan, alu. Kayu pun demikian ia bisa menjadi sekedar kursi, lemari, bahkan enthong, lesung atau kenthongan. 

Keduanya bisa hadir dalam harmoni selama ratusan tahun. Hingga era "marketing agama" hadir. Saat agama sekedar alternatif jalan mencari makan. Bukan laku mencari kesejatian...

NB: Tulisan ini dideikasikan untuk para pejuang Wadas. Baik mereka yang penduduk asli maupun mereka yang berusaha tetap menolak penambangan batu dari daerah itu. Di luar alternatif tempat penambangan lain masih banyak. Juga penolakan tersebut harus dipahami bagian dari kearifan lokal yang luar biasa yang juga patut dihormati. Mereka yang tanpa sadar, dihadirkan sebagai duta dari masa lalu untuk persoalan hari ini. 

Mereka-mereka yang tanpa sadar sedang memuliakan sejarah masa silamnya. Mereka yang tahu bahwa batu bukan sekedar batu, wadas ora mung sakderma wadas. Wadas yang yang tidak sekedar batu yang akan dicor dan ditimbun sebagai bagian dari struktur suatu konstruksi. Konstruksi apa pun itu. Wadas adalah juga pembangun suatu peradaban, dimana dari padanya juga bisa dipahatkan sebuah cerita pengingat. Ia yang bukan sekedar batu.

Bilang sama Gubernurmu yang ganteng itu: carilah batu di tempat lain. Di mana batu tertinggal sebagai batu...

***