Di pinggir studio lsbandi membuka tasnya, menghitung uang dan membaginya kepada para pemain: dua puluh enam ribu tiap pemain.
Anita Rachman terseyum manis memasuki studio II TVRI Pusat Jakarta, berkebaya hitam dengan salendang dan kain warna hijau-pupus. Ia berjalan menuju sebuah meja bulukan di pinggir studio, tangan kanan mencekam kertas catatan, sedangkan tangan kiri menenteng kaca-rias.
Hari itu Selasa 1 Agustus 1978 saat rekaman acara Telerama yang hasilnya telah sama-sama dinikmati pemirsa TVRI Jakarta semalam. Acara itu nampak lancar berikut segala kekurangan dan kelebihannya. Tetapi sebelum acara tersaji, sebelumnya telah melewati penggodogan sebulan serta kegiatan sehari penuh di studio II TVRI Jakarta.
Menurut jadwal, acara rekaman itu diadakan mulai pukul 10.00, tetapi baru sekitar jam 14.30 benar-benar dapat dimulai. Ada saja halangannya, teknisi yang belum siap, penyanyi yang belum lengkap, pemain orkes yang terlambat dan sebagainya. Karena kerja semacam itu merupakan kerja-bersama maka mau tidak mau semua bagian harus ditunggu lengkapnya.
Bahkan ketika rekaman hampir dimulai, ternyata ada seorang peniup trompet yang belum juga muncul, sehingga kursi yang telah disediakan untuknya harus diturunkan dari panggung. Tetapi begitu kamera maui “take” pemain itu datang dan kursi pun dinaikkan kembali. Ini berarti posisi kursi harus diubah lagi, dan rekaman tertunda beberapa saat.
Hari itu TVRI hanya melakukan rekaman visual dari acara Telerama. Sebab suaranya telah direkam terlebih dahulu. Dengan demikian para pemain hanya berpura-pura bermain, sehingga kalaupun ketika itu ada instrumen yang fals atau penyanyi yang sumbang, tidak menjadi masalah. Mereka itu bermain musik dan menyanyi bersamaan dengan suara yang keluar dari tape recorder yang memutar rekaman suara mereka. Istilahnya, playback.
Tentu saja walaupun pura-pura, tetapi harus dijalankan dengan tepat dan benar. Kalau tidak, suara penyanyi dan bentuk mulut bisa berlainan atau suara instrumen tidak sesuai dengan vusualnya. Ini bisa mengundang caci-maki penonton televisi.
Satu-satunya rekaman suara plus visual hari itu hanyalah untuk pembawa acara. Sebab suara Anita memang tidak direkam terlebih dahulu; secara teknis lebih sulit. Supaya mikrofron tidak nampak di mata penonton televisi, maka benda itu diselipkan di dada, tertutup oleh kebaya, kabelnya dialirkan di bawah kebaya, terus kebawah selendang menuju punggung. Sisanya melingkar-lingkar di lantai sebelum dihubungkan dengan alat perekam. Dengan keadaan ini, kemana pun Anita pergi bagaikan layang-layang bertali.
Perekaman suara dan gambar Anita dilakukan jam 14.45. Pada saat itu studio II yang berukuran 13 X 20 meter itu diterangi sekitar 30 lampu dan suasana pun menjadi hening. Sekitar seratus manusia yang ada dalam studio itu menahan napas dan gerak. Bahkan 17 mesin AC di ruangan itu seolah ikut menahan suaranya. Begitu rekaman selesai, mereka berteriak melepaskan himpitan di dada.
Celakanya, rekaman ini tidak sekali jadi. Setelah diulang tiga kali, barulah dianggap sempurna. Dan setelah itu barulah dimulai rekaman visuil acara Telerama berupa sepuluh lagu yang dinyanyikan satu persatu dan 12 lagu daerah yang dinyanyikan nonstop, Tetapi begitu rekaman akan dimulai, terdengar panggilan bagi petugas maintenance: ada kerusakan teknis!
Rekaman pun ditunda hampir satu jam,
**
Penanggung jawab acara ini Soewanto Soewandi. Ia sangat sibuk. Apalagi unit rekaman untuk studio ini terletak dalam mobil-unit yang dipakir di luar gedung, sekitar 100 m dari studio. Sebenarya studio ini memang hanya untuk pusat latihan calon pegawai TVRI tetapi karena tak ada tempat lain, maka fungsinya jadi tempat latihan dan juga studio rekaman.
Selaku pangarah acara atau PD (Program Director), Soewanto bertanggung jawab penuh atas acara ini, mengatur apa yang harus dlakukankan para pemain di studio,selanjutnya berlari ke mobil unit untuk mengarahkan rekamannya.
Mobil unit itu dibagi atas tiga bagian, empat dengan ruang pengemudi. Di belakang ruang pengemudi. Soewanto duduk menghadapi "switchingboard" berdampingan dengan seorang petugas (switcher). Switching board merupakan alat untuk memindahkan gambar yang diambil juru kamera ke dalam alat perekam. Di belakang ruang itu terdapat ruang audio (mengatur suara) dan paling belakang, para petugas VTR (Video Tape Recorder) siap menjalankan perekaman.
Di depan Soewanto dan switcher terdapat beberapa layar televisi, empat di antaranya sedang bekerja. Keempatnya merupakan alat monitor, tiga disebut preview monitor dan salah satunya final monitor. Setiap preview monitor dihubungkan dengan kamera yang ada di Studio II. Dengan demikian di Studio II waktu itu terdapat tiga buah kamera yang sedang bekerja.
Para juru kamera ini mengambil posisi berdasarkan perintah dari PD melalui alat pendengar yang selalu dipasang di telinganya. Sementara itu switcher atas perintah dari PD pula, menyalurkan salah satu atau dua gambar (jika gambar ditumpuk/mixing) yang terpampang di layar preview monitor ke dalam final-monitor. Gambar dalam final-monitor inilah yang direkam VTR.
Nampaknya cara kerja ini sederhana, tetapi sebenarnya cukup memusingkan, Selain alat-alat elektronika itu peka, artinya harus digunakan dalam keadaan yang baik dan waktu yang tepat, menentukan gambar yang harus dipilih bagi PD bukanlah pekerjaan mudah. Seorang PD musik harus benar-benar tahu mengenai musik.
Tentunya Anda akan ngomel kalau suara televisi sedang didominasi gitar, tetapi gambar yang terpampang di televisi Anda itu ternyata terompet yang dikepit di ketiak. Atau, Anda tentu akan gusar manakala gambar seorang penyanyi yang sedang mengangakan mulut tiba-tiba diganti dengan gambar biola yang sedang digesek.
Dalam kerja ini PD harus berpikir ganda, melihat apa yang sedang direkam dan memikir gambar mana berikutnya. Untuk mengatasinya, Soewanto hari itu membuat catatan, urutan mana yang harus diambil kamera dalam sebuah lagu. Misalnya pertama bass, penyanyi, biola, gitar, penyanyi dan seterusnya. Tentu saja catatan ini disesuaikan dengan lagunya.
Menurut aturan, seorang PD memang harus membuat catatan semacam ini sebelumnya. Istilahnya shooting script. Catatan ini dibagikan juga kepada juru kamera, sehingga mereka tinggal bekerja menurut catatan tersebut. Sementara itu PD pun dapat bekerja dengan perencanaan yang matang. Tetapi untuk membuat shooting script ini nampaknya di studio TVRI Jakarta sudah kehilangan tradisi.
Merekam acara umumnya tidak bisa sekali jadi apalagi acara seperti Telerama begini. Ada saja halangannya, kamera yang terlambat mengambil gambar sebagaimana yang diinginkan PD, pemain yang bermain terlalu pura-pura, gerak penyanyi yang terlambat atau penyanyi yang lupa teks lagu yang dinyanyikan.
Hal terakhir terjadi dalam Telerama semalam. Ketika Swesti Wirabuana menyanyikan lagu Bimbi, ia lupa teksnya, padahal sudah hampir selesai. Tentu saja rekaman ini harus diulang dan apa yang Anda lihat itu merupakan rekaman ulang yang paling baik.
Kisah lain, dalam lagu penutup, Iskandar selaku dirigen telah menoleh ke belakang sebelurn lagu habis. Untunglah PD cukup jeli, sehingga dapat ditutup dengan telop “Anda telah menyaksikan...."
**
"Untuk mempersiapkan Telerama ini diperlukan waktu sebulan," kata Isbandi yang ikut menggarap acara tersebut bersama Iskandar. Minggu pertama pihaknya menghubungi penyanyi, meminta lagu dan menentukan nadanya. Minggu berikutnnya mengaransir lagu-lagu tersebut; tentu saja ini tidak dilakukan sendirian.
Dalam Telerama Minggu malam, pengaransir lagunya antara lain Mus Mualim, Ireng, Iskandar, Isbandi, dan Udin. Minggu ketiga barulah diadakan rekaman suara di studio Musica, karena TVRI tidak mempunyai fasilitas ini.
Di hari pertama dilakukan perekaman musik-dasar (piano, drum, gitar, bass) dua hari berikutnya saxophon; hari berikutnya biola, disambung penyanyi dan seterusnya. Hari terakhir barulah dilakukan mixing (pengadukan dari rekaman). Untuk semua ini memerlukan waktu lebih dari sepuluh hari. Dan kerja terakhir berupa rekaman visual tanggal 1 Agustus lalu.
Dalam acara inilah para pemain dan penyanyi bertemu. Sebelumnya mereka bergerak sendiri-sendiri.
"Kami tak sempat mengadakan latihan bersama," kata Isbandi. Soalnya, baik para pemain maupun penyanyinya sulit bisa bertemu bersama. Mereka banyak yang bekerja sore atau malam dan banyak juga yang pagi hari. Bahkan seringkali ada yang ke luar kota. Maka hanya pada saat rekaman visual inilah mereka bertemu.
Dan inilah sebabnya sulit bagi Soewanto Soewandi untuk membuat shooting script sebelum rekaman. Akhirnya ia hanya membuat catatan berdasarkan pita rekaman suara mereka saja. Di sini berimajinasilah dia, mana saja yang mungkin baik untuk diabadikan kamera.
"Kalau masih begini, bagaimana bisa baik?" komentarnya.
Bagi TVRI saat ini memang sulit untuk memaksa para pemain atau penyanyi supaya berdisiplin. Soalnya TVRI tidak mengikat mereka dengan kontrak. Mereka mengisi acara dengan imbalan honorarium sekedarnya. Jika dibandingkan dengan honorarium di luar, maka honorarium TVRI mungkin hanya sepesepuluh atau bahkan lebih kecil lagi.
Dalam acara Telerama itu misalnya produser cq Direktorat Televisi hanya memberi imbalan sekitar Rp15.000,kepada tiap penyanyi dan Rp30.000 untuk grup. Walaupun mereka ini nampaknya mendapat bagian begitu kecil, tetapi jika dihitung keseluruhan, biaya produksi jumlahnya tidak dapat disebut kecil.
Untuk membayar honorarium pemain, penyanyi, penyusun aransemen, ongkos merekam suara dan sebagainya, menurut hitungan Kompas keseluruhannya mencapai dua juta rupiah.
Rekaman visual acara Telerama ini berakhir jam 17.40. Gedung TVRI sudah sepi, di luar hujan baru saja berhenti turun. Soewanto Soewandi menghambur ke studio, memberi alamat kepada para pemain dan memaki dalam nada gurau kepada mereka yang salah.
Kegembiraan terpancar di mana-mana. Para pemain melepaskan jasnya, juru kamera membenahi alat-alatnya, dan memasukkannya ke dalam peti, kemudian membawanya ke mobil-unit; para petugas membenahi kursi, membongkar panggung dan penonton pun satu persatu meninggalkan studio. Di pinggir studio lsbandi membuka tasnya, menghitung uang dan membaginya kepada para pemain: dua puluh enam ribu tiap pemain.
“Mereka sudah mengambil persekot sepuluh ribu untuk transport,” katanya menjawab pertanyaan kami.
Udara di luar begitu sejuk, para pemain meninggalkan halaman TVRI dengan wajah gembira. Sebuah bus kota berhenti di depan TVRI, beberapa orang naik dan melambaikan tangan kepada kawan-kawannya. beberapa orang lagi menenteng biola menunggu datangnya taksi.
Hari itu kerja mereka sudah selesai, tetapi ini bukan berarti rekaman sudah siap untuk disajikan kepada Anda. PD masih harus melakukan pemeriksaan atau editing supaya hasil rekaman itu dapat tersaji dengan baik.
**
Dalam editing yang dilakukan tanggal 4 Agustus lalu, masih banyak yang harus dilakukan Soewanto Soewandi selaku PD. Pertama ia memesan huruf-huruf untuk telop ke bagian grafik. Bagian inilah yang menulis tetop-telop mengenai nama penyanyi, pengarah acara, pembawa acara dan nama-acara yang disajikan.
Hasil tulisannya nanti digabungkan dengan gambar-gambar yang sudah direkam. Untuk rnenggabungkannya perlu kecermatan. Misalnya: kecepatan telop harus disesuaikan dengan panjang lagu. Untuk menghasilkan kecepatan yang tepat sebagaimana tersaji dalam televisi Anda Minggu malam itu, PD melakukan perekaman sampai tigakali.
Satelah berhasil dengan baik, barulah hasil rekaman terdahulu diurutkan menurut rencana. Dalam perekaman tanggal 1 Agustus lalu tidak dilakukan secara unit sebagaimana yang telah Anda lihat. Penampilan lagu-lagu secara nonstop direkam terlebih dahulu, sedangkan penyanyi yang tampil satu-persatu itu tidak direkam berurutan.
Sebagai misal, ketika grup Black Brothers menyanyikan lagu Saman Doya dan Tirai direkam sekaligus atau berurutan. Dalam editing ini dilakukan pemindahan,sehingga remaja-remaja Irian itu tidak tampil dua kali, berurutan, tapi diseling penyanyi lain. Karena perekaman ini dengan pita VTR, editingnya lebih mudah. Pita- pita itu bukannya dipotong-potong kemudian disambung seperti halnya film, tetapi hasil rekaman diputar dan kemudian direkam secara berurutan.
Pekerjaan ini lebih mudah jika dibandingkan dengan editing acara Kamera Ria yang akan tampil di layar televisi Anda Rabu malam. Acara ini direkam dengan film dan pita VTR, sedangkan seluruh pengambilannya dilakukan di luar studio. Pekerjaan ini lebih pelik jika dibandingkan dengan rekaman Telerama.
(Bersambung)
***
Keterangan: Laporan ditulis oleh penulis dan Jimmy S.Harianto, dimuat di Harian Kompas, 7 Agustus 1978.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews