Pak Max

Dari perbuatan, tindakan, perkataan, dan pergaulannya, saya rasakan bahwa sepanjang hidupnya, Pak Max telah mempersiapkan diri untuk menghadap Sang Hakim Agung agar dapat melihat Yesus, junjungannya.

Kamis, 19 Mei 2022 | 06:52 WIB
0
283
Pak Max
Max Margono (Foto: istimewa)

Palembang menjelang akhir 1988.

Saat itulah pertama kali saya bertemu Pak Max Margono. Kami–Dhiah Perkasa Yudha dan saya–ditugaskan Pak Jakob Oetama pemimpin Kompas untuk ikut babad alas mengawali penerbitan koran Sriwijaya Post. Selain kami berdua, dari Kompas antara lain ada Pak Matias Pandu, Zaili Azril, Fahmi Miala, dan Herman Darmo; di bawah komando Valens Doy.

Kesan pertama–ketika pertama kali berjumpa Pak Max–yang  menyusup ke hati dan saya rasakan hingga kini, adalah keramahan dan sikap persaudaraannya. Ramah. Bersaudara. Kebapakan.

Sejak awal langsung menganggap dan memperlakukan kami–saya dan Yudha yang baru beberapa bulan menjadi anggota keluarga besar Kompas–sebagai anak; bukan sebagai yuniornya, apalagi anak buahnya. Meski baru berjumpa dan berkenalan. Kami langsung akrab dan bisa enak guyon. Kadang Pak Max berlagak seperti waria baik omongan maupun lagunya, sehingga membuat kami tertawa terbahak-bahak.

Kata orang bijak bestari, orang yang memiliki kualitas keramahan (affabilitas) adalah mereka yang ditandai dengan memberikan kesepakatan dan menawarkan percakapan yang tulus, menyenangkan, lembut dalam sikap dan tindakan, rendah hati, dan karismatik. Itulah Pak Max, yang saya tangkap dan rasakan.

Pak Max  memiliki empati, kerendahan hati, menahan diri dari kesombongan, kesabaran, kemurahan hati, rasa hormat dan, yang sangat penting, pengendalian diri emosional. Maka itu, Pak Max tak pernah marah. Tidak ada kata marah dalam kamus Pak Max.

Belum pernah sekalipun saya melihat Pak Max marah, selama di Palembang. Padahal, ada banyak kesempatan dan penyebab untuk marah.

Ketika dimarahi habis-habisan oleh Pak Valens, misalnya, Pak Max senyum-senyum saja sambil sekali-kali “menyapu” mulutnya dengan tangan kanannya. Semua dihadapi dengan senyuman. Pak Max paling pinter membuat orang lain nyaman.

Senyum itu mudah dan gratis. Kita tidak perlu mengularkan uang sepeserpun untuk tersenyum. Yang diperlukan adalah niat yang tulus. Senyuman memiliki makna dan manfaat yang mendalam. Meskipun hanya sekejap, senyuman dapat meninggalkan kesan yang mendalam dan lama. Senyuman dapat menciptakan kebahagiaan, ketentraman di sekitar kita, memberikan kegembiraan pada yang bersedih, memberikan ketentraman yang gelisah, memberikan kelegaan pada yang berharap dan terombang-ambing. Barangkali begitu kredo Pak Max.

Ketika tahun 1989, kami  bertemu lagi di Surabaya, untuk bersama-sama  (selain kami dari Kompas antara lain ada Pak Katua Manuel Kaisiepo, Om Yesayas, Anwar Hudiono, Basuki Subianto, Herman Darmo, Pak Suyatno, Pak Satiman, dan Budi Darma) juga dipimpin Valens Doy menerbitkan harian Surya (terbit 10 November 1989), Pak Max masih sama seperti yang saya kenal di Palembang: ramah dan bersaudara, semanak, grapyak.

**

Persaudaraan. Bersikap sebagai saudara. Persaudaraan itu adalah pengalaman yang diperlukan dan luas, sehingga sebagai manusia, kita mengembangkan dimensi keterbukaan. Persaudaraan yang benar-benar itu menghilangkan perbedaan hierarkis dan membuat kita mendukung orang lain, belajar untuk melihat ke luar diri kita sendiri. …

Persaudaraan semacam itulah, menurut saya yang dilakoni Pak Max. Itu yang saya tangkap dijalani dan dihidup-hidupi oleh Pak Max sepanjang hidupnya. Persaudaraan sejati ditentukan oleh kesediaan untuk berbagai dan ketulusan hati.

“Membangun Persaudaraan Sejati” merupakan sebuah obsesi yang bernuansa idealistis, yang terus dihayati dan dihidup-hidupi Pak Max. Dikatakan obsesi, karena sebagai manusia biasa yang terdiri dari daging dan roh seringkali manusia mendambakan, bahkan mengusahakan terwujudnya “Persaudaraan Sejati.”

Itulah kharisma persaudaraan Pak Max yang sedari awal saya pahami, dan   tetap memikat sampai sekarang. Persaudaraan, fraternitas, itu adalah kasih sayang dan ikatan antara saudara kandung atau antara mereka yang memperlakukan satu sama lain seperti saudara sekandung.

Konsep tersebut identik dengan persaudaraan dan persahabatan. Persaudaraan itu menghilangkan perbedaan hierarkis dan membuat kita mendukung orang lain, belajar untuk melihat ke luar diri kita sendiri…Seperti Pak Max  yang menghilangkan perbedaan hierarkis dengan anak buahnya, para yuniornya.

Persaudaraan sejati dikatakan sebagai obsesi – idealistis karena apa yang disaksikan, apa yang dialami, dan apa yang dilakukan tidak jarang bertentangan dengan kalimat-kalimat indah tadi. Kharisma persaudaraan awal ini pun tetap memikat sampai sekarang.

Mengingat-ingat Pak Max saat ini, saya ingat kata Aphraates (270-345) seorang uskup dari biara Mar Mattai, di pinggiran Sungai Tigris di Mosul, Mesopotamia (sekarang wilayah Irak), ketika manusia meninggal dunia…. Hakim itu [bagi Pak Max adalah Kristus ] akan duduk, dan buku-buku kehidupan akan dibuka; dan perbuatan-perbuatan baik dan buruk akan dibacakan, maka mereka yang berbuat baik akan menerima penghargaan, dan mereka yang melakukan perbuatan- perbuatan jahat akan menerima hukuman dari Hakim yang adil.

Dan, Pak Max Margono sudah lama menyiapkan buku kehidupan seperti itu yang sekarang sudah diserahkan kepada Sang Hakim Kehidupan…

Dari perbuatan, tindakan, perkataan, dan pergaulannya, saya rasakan bahwa  sepanjang hidupnya, Pak Max  telah mempersiapkan diri untuk menghadap Sang Hakim Agung agar dapat melihat Yesus, junjungannya. “Mungkin ini saatnya bagiku, dan aku sudah siap….”barangkali begitu yang dikatakan Pak Max menjelang kepergiannya.

Ketika Rabu pagi, pukul 07.30, anaknya yang paling bungsu dan satu-satunya perempuan, Ita, menelepon, “Mas nyuwun doa, Papa kritis…” dan tak lama kemudian, mengirim kabar lagi, “Mas, Papa sudah pulang….” saya lalu berdoa, Requiem aeternam dona ei, Domine, et lux perpetua luceat ei. Requiescat  in pace. Amen. Berikan perhentian abadi  kepadanya, ya Tuhan, dan semoga cahaya abadi menyinari dia. Semoga ia beristirahat dalam damai. Amin.

Sugeng tindak, sowan Gusti ing gesang kalanggengan, Pak Max…ke kehidupan abadi… requiescat in aeternam pacem… beristirahatlah dalam damai di surga….*