Saat catatan ini ditulis semalam, saya di-tag lebih dari sekali link terindikasi konten porno.
Ketika memutuskan bersosial media saya menyadari begitu banyak konsekuensi yang mungkin saya hadapi. Saya kira juga berlaku pada kawan-kawan. Dari kemungkinan akun diretas hingga dilaporkan telibat delik penghinaan atau penistaan yang berujung tuntutan hukum setiap saat menganga. Karena itu kita selalu waspada pada kemungkinan terjebak pasal bermasalah ini.
Sungguh tidak mudah menghindari jebakan ini di tengah keragaman berpikir serta sengkarut kepentingan.
Tapi toh hingga hari ini kita baik-baik saja. Tak perlu cemas dengan semua itu.
Di ntara orang-orang yang super sensitif dan mudah tersinggung jauh lebih banyak kawan yang tidak gampang merasa tercemar hanya karena silang pendapat atau panutannya dikritik.
Ada banyak guru besar dan profesional yang tidak ambil pusing didebat mahasiswa semester awal atau mereka yang sok tahu dengan bermodal percaya diri.
Di masa keemasan media sosial setiap pendapat berhak eksis, didengar serta berpotensi lebih baik dibanding pendapat para expert sekalipun. Terlepas dengan segala problem yang ditimbulkannya media sosial berhasil memaksa demokrasi meradikalisasi diri dan mendengar mereka yang dulu terpinggirkan oleh suara arus utama. Mereka yang selama ini terdengar sumbang dan diabaikan kembali menemukan panggung.
Tesis 'The death of expertise' dari Tom Nichols sebaiknya diletakkan sebagai lonceng peringatan betapa berbahayanya kalau kepakaran dimusnahkan. Tapi tidak berarti apa yang selama ini disebut kepakaran harus kembali didudukkan sebagai satu-satunya otoritas.
Tesis 'The death of expertise' yang diajukan Tom Nichols sebagai respon atas prilaku publik Amerika yang mengabaikan kepakaran dan berpaling pada mereka yang sok tahu bukan khas Amerika, seluruh dunia sedang dilanda demam jenis ini. Kepakaran sedang menghadapi sakratul maut.
Ketidakpercayaan publik pada kepakaran bukan semata-mata karena kehadIran internet atau ledakan media sosial yang melahirkan prilaku narsis dimana setiap orang merasa berhak mengekspresikan diri dan merasa pantas menerima segala puja-puji.
Hilangnya kepercayaan publik pada kepakaran kata Tom Nichols juga disebabkan komersialisasi pendidikan dan jurnalisme yang buruk. Akibatnya publik beralih ke media sosial yang menawarkan kecepatan, viralitas serta kemampuan berinteraksi dengan pembacanya.
Sialnya media sosial yang memungkinkan setiap orang mengirim informasi membuat platform ini setiap saat memproduksi berton-ton sampah informasi yang dalam 'The Third Way' karya Anthony Giddens diibaratkan sebagai juggernaut. Truk besar atau juggernaut ini mengangkut berton-ton sampah informasi sehingga tidak bisa dibendung membuat publik sulit membedakan mana hoaks dan mana informasi yang benar.
Hal yang sama telah diingatkan para pakar sebagai era Post- Truth, era di mana pendapat masyarakat tidak lagi dibentuk oleh fakta dan rasio, melainkan oleh sentimen dan kepercayaan.
Adakah kecemasan para nabi abad 21 ini membuat umat medsos stres, tidak saya kira. Kita masih baik-baik saja bukan. Saya tidak ambil pusing dengan lagak para pesohor yang wara-wiri di beranda saya. Dengan style ngangkang hingga bertingkah aneh sengaja menyerupai pengemis sambil bagi-bagi duit karena berharap subscribe sudah dianggap jamak.
Menghadapi hoaks dengan segala turunannya tidak sulit, hanya butuh menahan keingintahuan kita lebih jauh. Apa pentingnya misalnya membuka link berita dengan judul, "Malam Pertama Atta-Aurel Sewa Kamar 150 Juta Per Hari". Dengan membaca judul beritanya kita tidak akan pernah lupa kalau ada manusia yang narsisnya sudah sampai diubun-ubun. Jika kelak kita membutuhkan beritanya tinggal menjentikkan jari google sanggup memunculkannya sebelum mata kita berkedip.
Jika butuh formula yang lebih rumit menghadapi era yang oleh para nabi kontemporer disebut dengan beragam istilah, 'The Death of Expertise' oleh Tom Nichols atau juggernaut dalam metafor Anthony Giddens di buku 'The Third Way' serta apa yang disebut Post-Truth maka tidak pilihan kecuali melipatgandakan kemampuan literasi yang kita miliki.
Apa yang disebut sebagai tradisi literasi menurut para pakar bukan sekedar kemampuan membaca, menulis dan bercakap tapi juga kemampuan memilah dan memilih informasi yang kita butuhkan dan mengubahnya menjadi tindakan sosial yang bermanfaat bagi khalayak.
Belakangan sebagian facebooker terlihat panik akibat kena tag konten terindikasi pornografi. Para korban merasa perlu membuat semacam public notice kalau semua itu terjadi di luar kendalinya.
Mengapa mesti risau pada hal-hal yang semua orang tahu adalah aib bahkan tergolong kejahatan yang tidak mungkin kita diunggah. Kalau anda merasa terganggu dengan semua itu cukup mencari informasi di google cara mengatasinya, selesai.
Saya kira sesederhana itu bermedsos.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews