Pencerahan dalam Dua Cerita

Sejatinya, hidup ini seperti panggung sandiwara. Setiap orang punya jatah perannya masing-masing. Jalani peran itu sebaik mungkin. Derita dan tawa adalah bumbu-bumbu sandiwara.

Rabu, 17 Februari 2021 | 07:44 WIB
0
193
Pencerahan dalam Dua Cerita
Imajinasi (Foto: Poskata.com)

Cerita memang menyenangkan. Ia merangsang imajinasi. Ia mengajarkan nilai kehidupan dengan ringan. Ia adalah alat untuk mewariskan kebijaksanaan lintas jaman.

Asia penuh dengan cerita. Inilah benua dengan sejuta cerita. Ia dituturkan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini bukan tanpa alasan.

Tulisan itu berbahaya. Ia membunuh makna. Ia mengundang salah paham. Tafsir salah atas tulisan, perang pun tak terhindarkan.

Inilah masalah dengan agama-agama kitab. Kebenaran dipenjara oleh kata. Pikiran yang sempit dan rakus membaca dan menafsirnya. Salah paham yang berujung pada kekerasan pun tercipta.

Atas nama kitab, perempuan di penjara. Sekujur tubuh dan hak-hak hidupnya dirampas. Atas nama kitab, perbedaan terancam. Perang dan derita pun tak terhindarkan.

Namun, tulisan memang tak bisa dihindari. Kata harus hidup, tetapi harus menempati ruang kertas untuk menjadi abadi. Hanya pikiran kritis dan terbuka yang diperlukan untuk mengurai makna sejatinya. Inilah cara yang digunakan para manusia agung dalam sejarah.

Pencerahan

Krishna, Gautama dan Yesus mengajar dengan cerita. Mereka bertutur untuk menyampaikan ajaran-ajaran bijaksana. Mereka mengajarkan jalan untuk sampai pada pencerahan. Pengaruhnya pun terasa sepanjang jaman.

Pencerahan berarti kita bangun dari kebodohan kita sendiri. Kita mengenali, siapa sesungguhnya diri kita sendiri. Kita melampaui identitas sosial. Kita juga melampaui segala bentuk emosi dan pikiran yang bertamu sementara.

Gautama punya konsep bagus untuk ini, yakni nirvana. Artinya, lilin yang sudah padam apinya. Ini melambangkan ego yang sudah padam. Ego yang memang sesungguhnya tak pernah ada. Ia hanya ilusi.

Hal ini juga sudah dibuktikan oleh neurosains. Semua penelitian terbaru menunjukkan, bahwa ego, atau diri, atau ciptaan pikiran semata. Ia adalah hasil dari pengondisian sosial. Ia dibentuk dan dibiasakan oleh keseharian dalam kehidupan sosial.

Bagaimana pencerahan dicapai? Dua cerita ini kiranya penting. Yang pertama berjudul Musafir dan Keledai. Yang kedua berjudul Raja dan Lukisan.

Musafir dan Keledai

Alkisah, seorang musafir menunggangi keledainya untuk membelah gurun. Cuaca begitu panas. Badan pun sudah lelah. Ia memutuskan untuk beristirahat di mata air terdekat .

Ah, tapi ia lupa membawa tali. Bagaimana ia bisa mengikat keledainya, supaya tidak pergi meninggalkannya? Ia berkeliling, dan bertanya pada orang-orang sekitar. Ia pun berjumpa dengan seorang bapak tua yang sedang mengambil air.

Sang bapak menganjurkan, supaya ia berpura-pura membawa tali, dan mengikatkannya di keledai miliknya. Syaratnya, si keledai harus melihatnya. Ia akan mengira, tindakan pura-pura ini sebagai sesuatu yang nyata. Ia pun tak akan bergerak, walaupun ditinggal pemiliknya.

Ternyata benar. Semalaman, si keledai tetap berada di tempatnya. Padahal, ia hanya pura-pura diikat. Tidak ada tali yang mengikatnya.

Pagi hari tiba. Sang musafir hendak siap melanjutkan perjalanan. Ia menarik keledainya. Namun, si keledai tak mau bergerak.

Dia bingung. Tak ada tali yang mengikatnya. Ia menariknya sekali lagi. Si keledai tetap tak bergerak.

Kebetulan, si bapak tua sedang lewat. Ia menganjurkan, supaya sang musafir kembali berpura-pura melepas tali. Si keledai masih merasa, kalau ia masih diikat tali. Maka, ia harus pura-pura dilepas.

Sang musafir tampak bingung. Namun, ia tetap melakukannya. Ia berpura-pura melepas tali dari si keledai. Si keledai melihatnya, dan mulai bergerak pergi melanjutkan perjalanan.

Apa makna cerita ini? Kita semua sudah bebas. Kita semua sudah tercerahkan. Kita semua sudah diselamatkan.

Namun, kita lupa. Kita sadar akan semua itu. Kita merasa masih berdosa. Kita merasa masih belum tercerahkan.

Maka, kita perlu untuk pura-pura berlatih. Kita perlu untuk pura-pura berdoa dan mengikuti ritual. Semua itu, sebenarnya, tidak perlu. Namun, karena kita lupa dan tak sadar, kita menjalani semua itu untuk pencerahan maupun untuk penyelamatan.

Kita adalah keledai yang tak terikat. Namun, kita masih merasa terikat. Kita masih merasa belum terbebaskan dan tercerahkan. Kita pun melakukan semua doa, ritual dan latihan spiritual yang sebenarnya tak sungguh perlu, supaya terbebaskan.

Semua agama adalah jalan. Ia adalah alat untuk sampai pada tujuan, entah Tuhan, penyelamatan atau pencerahan. Jika orang sadar, bahwa ia sudah selalu bebas dan tercerahkan, agama pun tak lagi diperlukan. Ia lalu menjadi alat untuk kehidupan sosial semata.

Raja dan Lukisan

Alkisah, hiduplah seorang putra mahkota di tanah yang sangat kaya. Ia masih muda. Usianya sekitar 12 tahun. Untuk mengabadikan masa mudanya, ia pun minta untuk dilukis oleh seorang pelukis ternama.

Hasil lukisannya diletakkan di ruang kerja raja. 20 tahun kemudian, sang raja meninggal. Putra mahkota pun naik tahta. Ia kini menjadi raja.

Sebagai raja, ia harus segera mencari pasangan hidup. Ia perlu melahirkan keturunan. Ia memerlukan putra mahkota yang baru. Ia pun berkeliling kerajaan untuk menemukan calon istri.

Namun, ia tak menemukannya. Sang pujaan hati tak kunjung tiba. Ia pun mulai putus asa, dan mengurung diri di ruang kerja. Di sana, ia melihat sebuah lukisan.

Ada seorang gadis kecil yang cantik dan memikat. Ia terpana melihatnya. Betapa cantiknya gadis mungil tersebut. Ia pun memerintahkan anak buahnya untuk menemukan sang gadis di dalam lukisan.

Nasibnya tak berubah. Sang gadis di dalam lukisan tak kunjung ditemukan. Ia pun membuat perlombaan di seluruh kerajaan. Siapa yang bisa menemukan sang gadis akan mendapatkan hadiah emas yang berlimpah.

Setelah beberapa lama, berita gembira tak kunjung tiba. Tak ada berita tentang si gadis mungil di dalam lukisan. Suatu hari, sang raja kedatangan tamu. Ia adalah pelukis ternama kerajaan.

Sang pelukis menjelaskan, bahwa lukisan tersebut bukanlah seorang lukisan gadis cantik, melainkan lukisan sang raja, ketika ia masih kecil. Sang raja kaget. Ia pun ingat, bahwa ia pernah dilukis, ketika ia berumur 12 tahun. Ia lalu menghentikan pencarian, dan mulai berpikir ulang.

Cerita ini mengajarkan, bahwa yang kita cari sudah selalu ada  di dalam diri kita sendiri. Kita ingin bahagia. Kita ingin damai. Itu semua tidak ada di luar, melainkan di dalam diri. Kita hanya perlu menyadarinya.

Neurosains juga sudah menyatakan hal serupa. Benda-benda di luar diri adalah gambaran ciptaan otak kita. Otak memperoleh informasi dari panca indera dan jaringan saraf. Ia lalu merangkai gambaran tertentu yang melahirkan dunia. Otak di dalam diri kita adalah pencipta segala sesuatu.

Dua cerita ini mengajarkan tentang siapa diri kita yang sebenarnya. Kita sudah selalu bebas, sadar dan tercerahkan. Kita sudah selalu terselamatkan. Kita hanya perlu sadar, bersuka cita dan hidup dengan baik.

Sejatinya, hidup ini seperti panggung sandiwara. Setiap orang punya jatah perannya masing-masing. Jalani peran itu sebaik mungkin. Derita dan tawa adalah bumbu-bumbu sandiwara.

Jalani dengan ringan. Ingat, anda sudah tercerahkan.

***