Fenomena Jigong Besar

Kompromi, dialog, adalah bentuk pertukaran dan kolaborasi. Bukan hanya murni kompetisi yang melahirkan zaman kemarahan.

Selasa, 22 Desember 2020 | 23:43 WIB
0
273
Fenomena Jigong Besar
Ilustrasi kemarahan (Foto: Uninus)

Fenomena Jigong Besar serta ucapan-ucapan menyebalkan tentang Presiden harus duluan divaksin membuat kejengkelan luar biasa di kepala saya. Mungkin memang benar, inilah the age of anger, zaman kemarahan, seperti judul buku Pankaj Mishra.

Adalah tulisan GM yang mengenalkan saya pada judul buku Mishra itu. Dalam esainya tentang Amarah, GM mengatakan sejatinya bangsa ini adalah bangsa yang ramah. Saya kira GM benar. Keramahan ini pula yang membuat bangsa ini terkenal dengan mata dan senyum yang bersahabat. Juga tangan terbuka pada orang-orang asing yang kelak akan sangat mewarnai perkembangan budaya kita. Bukan bangsa yang tertutup seperti Jepang sebelum Restorasi Meiji.

Tak heran saya menatap Park Bo Gum dengan kagum tanpa kedip. Mengharap seseorang di hidup nyata saya berwujud seperti Bo Gum dan menyatakan cinta, dan akan langsung saya iyakan, bahkan sebelum ia menyelesaikan kata I love U. Yes ay du, haneee, begitu jawab saya tergesa-gesa. Karena saya tergila-gila wajah Korea, karena saya juga bagian dari bangsa dengan budaya ramah dan terbuka pada yang lain. Sampai negara api....

Kita tentu saja tak bisa mencari kambing hitam. Semua salah, punya andil bila tiba-tiba negeri ini menjadi bangsa yang pemarah. Jigong besar, juga para penjual kebencian dielu-elukan sebagai motivator. Dilabeli cap yang sakral tak bisa dicela. Membuat publik menutup mata bila sejatinya banyak tokoh agama lain yang lebih saleh dan mengabdi pada tujuan-tujuan mulia kelahiran agama. Sejatinya Jigong Besar dan gerombolan sejenisnya adalah para demagog. Para penghasut yang mungkin punya agenda berkuasa, atau dibayar orang-orang yang ingin berkuasa.

Jadi nggak boleh nolak vaksin gitu? Boleh, hak setiap individu. Seperti Adam yang berhak berkumis maupun tak berkumis. Tapi sebagai orang yang didengarkan banyak orang, jagalah bacot jangan kau nodai. Hati-hati pada efek bacot penuh kebencian. Paling tidak malu sedikit bila setua bangka itu tidak paham bahwa sebelum melepas suatu obat untuk dikonsumsi orang banyak, prosedur ilmiah yang dilalui sungguh panjang dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan semudah menyuruh mengkonsumsi air seni hewan tanpa didukung penelitian ilmiah, hanya karena katanya blablabla.

Saya pun segera membuka Google, mencari keterangan tentang The Age of Anger. Saya tak membaca buku aslinya, tetapi beberapa artikel menyebutkan bahwa zaman kemarahan muncul sebagai antitesis dari modernitas dan globalisasi. Sekelompok orang yang memelihara kemarahan karena tak paham dengan lompatan kemajuan dan modernitas. Tak mampu mengikuti dan merasa terpinggirkan karenanya. Terabaikan dari sistem yang berlaku kini. Kompetisi untuk survive. Darwinisme sosial, serta perkembangan dunia global yang makin menyerupakan antar bangsa.

Mereka yang tertinggal itu, atau tepatnya yang tak benar-benar memahami arah perkembangan zaman, memilih untuk menyuburkan identitas. Eforia berlebihan pada kejayaan masa lalu. Agama dan etnisitas misalnya.

Sebenarnya hal ini bukan hal yang buruk, ketika orang berkhidmat pada nilai-nilai baik warisan nenek moyang. Menjadi seram ketika demi penegakan identitas itu cara-cara yang dilakukan penuh kemarahan bahkan kekerasan. Anti terhadap apapun yang berkuasa dan tak sama identitasnya. Menekan semua yang minoritas.

Dan lahirlah para demagog ndlogok itu. Menabarkan kebencian dan sangat tak pro kemanusiaan, tapi begitu liat untuk ditangkap. Berlindung pada klausul-klausul HAM yang menjadi produk sistem yang ditentangnya. Mereka yang berkembang dengan 'ngadalin' demokrasi, sekaligus berteriak anti demokrasi.

Mengapa saya benci para demogog ndlogok itu, sebab mereka bukan saja menebarkan kebodohan, tapi juga merusak. Kebencian itu merusak. Bayangkan betapa besarnya efek kebodohan (atau prasangka kebencian) akibat penolakan pada larangan pengumpulan massa di era pandemi. Dipikir jigong mereka bebas virus?

Tapi masalah tentu tidak selesai hanya dengan mengumpat para Demagog ndlogok itu. Toh beberapa sudah diamankan dan melunak. Yang perlu dipikiran tentu saja bagaimana memadamkan amarah lain. Secara kebetulan pula saya menonton The Two Popes. Film yang saya kira isinya bukan hanya mewakili pergolakan dalam agama Katholik, tetapi juga pada banyak agama dan isme-isme lain. Pergolakan antara konservatisme dan liberal.

Konservatisme tak melulu tentang kekolotan, tetapi juga menjaga nilai-nilai di wilayah privat seperti kesakralan pernikahan. Di pihak lain, perubahan yang progresif juga tak melulu liberalisme yang meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang dikeluhkan para konservatif.

"Nothing is static in nature or the universe, not even God.” Kata Jorge Bergoglio sang Kardinal pada Paus Benedict. Paus Benedict menolak pengunduran diri Bergoglio, meski Bergoglio selalu merasa bersalah atas apa yang dilakukannya di masa lalu. Saat Bergoglio terpaksa bekerja sama pada junta militer yang kejam di Argentina, untuk menghindari kekejaman dan pembunuhan pada rahib-rahib Jesuit yang banyak melakukan kerja sosial.

Pada akhirnya Bergoglio benar, ia mengatakan bahwa kita lebih membutuhkan membangun jembatan dan bukan tembok. Kerjasama, kolaborasi dan bukan sekadar kompetisi.

Bergoglio, yang kemudian menjadi Paus Francis sejalan dengan Matt Ridley dalam bukunya The Rational Optimist. Ridley tentu saja mengajak optimis. Menunjukkan bahwa evolusi yang terjadi pada manusia selalu melibatkan perkawinan. pembauran tepatnya.

Lahirnya Homo Sapiens adalah evolusi biologis, akibat sex dan kawin mengawin. Tentang penyatuan dan sinergi gen-gen yang membawa bakat survive. Di pihak lain, evolusi budaya membuat Homo Sapiens lestari bahkan menjadi spesies terkuat, dalam arti menjadi penentu di bumi. Seperti juga evolusi biologis yang terutama didapat dari kawin mawin, evolusi budaya pun didapat dari perkawinan budaya satu dengan lainnya.

Pembauran, pertukaran, sinergi dan tentu saja bukan purifikasi. Hasilnya peradaban modern yang meningkatkan bukan hanya angka harapan hidup, peningkatan kenyamanan, namun juga membuat manusia sekarat dalam waktu lebih singkat.

Pankaj Mishra menulis The Age of Anger sebagai keprihatinannya atas naiknya Narendra Mody dan Donald Trump. Dua politisi yang berkampanye atas nama prasangka dan kebencian. Menarik untuk dicatat, Trump kalah dalam Pilpres 2020 dari Joe Biden.

Biden, politisi kawakan, konon akan sulit memenangkan Pilpres di masa normal, saat lawannya bukan Trump. Sebab Biden selalu tanggung. Ia berkampanye dengan mengobral kesedihan akibat kematian istri dan anaknya, layaknya peserta Idol mencari followers. Sesuatu yang akan sangat ditertawakan di masa lalu.

Ia tak flamboyan dan liberal sebagaimana kebanyakan calon Demokrat. Namun justru menjadi jembatan bagi dua kubu yang kian hari kian terpolarisasi di Amerika. Fundamentalis konservatif dan para sekuler liberal. Inilah contoh kompromi. Kemenangan Biden, saya harap penanda The Age of Anger mulai tenggelam.

Kompromi, dialog, adalah bentuk pertukaran dan kolaborasi. Bukan hanya murni kompetisi yang melahirkan zaman kemarahan. Paus Francis akhirnya banyak melakukan reformasi pandangan-pandangan Gereja. Sebab kemajuan dan zaman harus diakomodir, bukan dipaksa untuk menurut nilai-nilai yang mulai sulit diterapkan. Purifikasi, yang berarti ada eliminasi pada yang berbeda, sangat jauh dari semangat kolaborasi itu.

“One might look foolish dancing alone, " kata Pope Francis di film itu. It takes 2 to tango. Saya menjadi teringat percakapan dengan sahabat saya Rani Rumita tadi. Ia dan saya sedikit jengkel dengan apa yang sering disebut SJW. Mereka yang terlalu kaku, utopis dan ingin segalanya diselesaikan dengan hitam putih. Tak ada kompromi.

Sifat manusia selalu tak ingin dikalahkan, kompetisi berlebihan hanya akan meninggalkan perlawanan, membuat keadaan menjadi tidak smooth. "Kok mereka gak mikir tentang best among the worst..."

"Bahkan bila kita melihat manusia dengan skeptis," kata Mbak Rani lagi, "Kita harus teringat ucapan Richard Dawkins. Etika dan moralitas sebenarnya bersumber dari insting bertahan hidup sebagai kawanan. Ini tentu saja tentang kolaborasi, bukan kompetisi."

Saya setuju. Sedapat mungkin tak harus ada yang kalah, agar seperti target pembangunan berkelanjutan, no one left behind.

#vkd