Keheningan tercipta selama beberapa menit. Pak Guru Doel Kamdi menghela napas sebelum memberi petuah pada murid-murid.
Setelah istirahat siang tadi, kelas Pak Guru Doel Kamdi ribut. Seorang anak, sebut saja namanya Puteri, kehilangan uang. Nominal uang yang hilang cukup besar, sekitar Rp50.000,00. Sedianya uang itu akan diserahkan pada Pak Guru Doel Kamdi sebagai uang tabungan siswa. Namun, belum sempat Puteri menyerahkan buku tabungannya, uang itu keburu raib.
Saat Pak Guru Doel Kamdi melangkah kembali ke kelas setelah salat, situasi kelas ribut. Siswa sekelas mengerubungi satu orang murid, sebut saja namanya Mawar. Mawar menangis, sedangkan kawan-kawan sekelasnya terus menuduh Mawar sebagai pencuri uang yang hilang, meminta Mawar mengaku dan mengembalikan uang tersebut. Puteri sementara itu masih cukup terguncang, karena dia hanya duduk di kursinya.
"Baik, anak-anak! Cukup, sekarang ayo kita dengarkan dulu permasalahannya bagaimana, bareng-bareng. Tidak boleh ada yang berbicara apabila Pak Guru tidak memberikan giliran. Sekarang, Mawar dan Puteri, bisa duduk di depan sama Pak Guru? Yang lain duduk di kursi masing-masing, diam sebelum dibolehkan bicara!" kata Pak Guru Doel Kamdi, secara otomatis memulai 'sidang'.
Pertama kali, Pak Guru Doel Kamdi meminta Puteri menceritakan bagaimana uangnya hilang. Puteri bercerita bahwa dia menaruh uangnya di laci kelas, di atas buku tabungannya. Kemudian pada istirahat pertama, dia mengantongi buku tabungan dan uangnya itu, mau menyerahkan ke Pak Guru Doel Kamdi.
Namun, kemudian dia harus ke toilet, dan kemudian lupa untuk menyerahkan. Saat pelajaran dia juga lupa. Baru ketika istirahat kedua, Pak Guru Doel Kamdi sedang salat, dia mengambil buku tabungan di kantongnya dan mendapati bahwa uang itu raib.
Kemudian Pak Guru Doel Kamdi menanyai Mawar, apa yang dia lakukan sehari ini. Mawar bercerita bahwa selama istirahat pertama dia jajan di kantin. Pada istirahat kedua, dia berada di meja Puteri untuk menaruh jajanan. Mawar membelikan Puteri jajanan sebagai pengganti hadiah ulang tahun, karena sehari sebelumnya Puteri berulang tahun dan Mawar lupa membelikan kado. Laci Puteri saat itu kosong.
Namun, tiba-tiba Puteri menangis karena uangnya hilang, setelah itu anak laki-laki bernama Badu melihat Mawar ada di meja Puteri dan langsung menuduh Mawar mencuri uang itu. Setelah itu Mawar berulang kali berusaha meyakinkan teman-temannya, namun semua terus menuduhnya sebagai pencuri. Mawar kemudian merogoh kantongnya yang kosong sebagai bukti.
"Badu, benarkah bahwa kamu menuduh Mawar mencuri uang? Kenapa kamu bisa menuduh demikian?" tanya Pak Guru Doel Kamdi.
"Aku cuma lihat Puteri nangis, uangnya hilang. Terus aku lihat Mawar di meja Puteri, jadi aku kira dia yang ngambil," jawabnya.
"Kenapa kamu tidak nanya dulu ke Mawar? Kenapa kamu langsung nuduh? Coba lihat, karena kamu memulai, temen-temenmu juga menuduh Mawar mencuri, padahal tadi kita lihat dia tidak mencuri, kan? Kantongnya kosong, bahkan dia tidak tahu kalau Puteri bawa uang banyak,"
"Anu, Pak, aku mikirnya kalau dia uangnya hilang terus Mawar ada di sana, berarti dia ngambil. Apalagi dari tadi Mawar kayak ngeliatin Puteri terus,"
"Kenapa tidak lapor Pak Guru? Kenapa kalian malah nuduh Mawar, sampai dia nangis gitu?" tanya Pak Guru Doel Kamdi.
Keheningan tercipta selama beberapa menit. Pak Guru Doel Kamdi menghela napas sebelum memberi petuah pada murid-murid.
"Anak-anak, ini pentingnya kalian menanyakan dulu sebelum ikut-ikutan. Seharusnya kalian menanyai Puteri, uangnya hilang di mana, kejadiannya gimana. Ketika kalian lihat Mawar ada di dekat meja Puteri, mestinya kalian tanya dulu apakah dia melihat uang itu, dan tidak asal main tuduh. Toh, sekarang kalian tidak bisa membuktikan bahwa Mawar mencuri, kan? Kalian berdosa apabila menuduh tanpa bukti, dan kalian bikin Mawar sedih,"
"Nanti ketika kalian dewasa, kalian akan menghadapi berbagai macam kabar. Kalau kalian gampang kebakar emosinya seperti ini, langsung menuduh tanpa mencari tahu dulu benar atau tidaknya, kalian akan menghancurkan diri kalian sendiri! Kalian merusak pertemanan, kalian akan membuat diri sendiri dan orang lain rugi, belum lagi bisa jadi kalian akan berhadapan dengan polisi. Makanya, lain kali hati-hati," begitu petuah Sang Guru Tanpa Sertipikat.
Pak Guru Doel Kamdi kemudian meminta semua anak untuk memohon maaf pada Mawar dan Puteri. Karena cerita dari Puteri, terakhir kali dia membawa uang itu di saku saat ke toilet, murid-murid perempuan kemudian ditugaskan oleh Pak Guru Doel Kamdi mencari di sana.
Pak Guru Doel Kamdi mengajak murid laki-laki untuk bertanya pada karyawan sekolah yang berada di dekat sana. Sekaligus mengajari mereka sopan santun saat bertanya pada orang yang lebih tua.
"Pak, ketemu!" teriak Mawar.
"Ketemu di mana, Mawar?" tanya Pak Guru Doel Kamdi
Aku nyari di toilet, sama Puteri. Ternyata uang itu ada di dekat pintu toilet," ucap Mawar.
Pak Guru Doel Kamdi kemudian meminta semua anak kembali ke kelas. Puteri memasukkan uang itu dalam buku tabungannya, dan memberikannya pada Pak Guru Doel Kamdi.
"Nah, sekarang masalah sudah selesai. Kalian sudah belajar pentingnya mencari tahu sebelum bertindak. Kalian juga sudah belajar bahayanya bertindak dari informasi yang sepotong, tanpa mencari tahu keseluruhannya. Kalian belajar untuk menahan emosi. Jadi, Pak Guru harap meskipun tidak ada pelajaran siang ini, kalian sudah belajar banyak dari pengalaman kalian ini. Besok lagi, jangan sampai ini terulang, ya!" tegas Pak Guru Doel Kamdi.
"Baik, Pak!" ucap semua murid serentak.
"Nah, kalian boleh pulang. Ingat, selalu cari tahu terlebih dahulu sebelum bertindak. Tahan emosi," kata Pak Guru Doel Kamdi sebelum mempersilakan ketua kelas memimpin doa.
Meskipun mereka kehilangan jam pelajaran, namun mereka belajar banyak. Tidak boleh bertindak sembarangan dari informasi yang hanya sepotong. Tidak boleh mengedepankan emosi dan main hakim sendiri. Cari tahu sebelum bertindak.
Salam,
Abdul Hamid Fattahillah, Guru Tanpa Sertipikat
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews