Agama di Era Modern Bukan Lagi Sumber Informasi Ilmiah

Agama di era modern bukan lagi sumber informasi ilmiah. Agama di masa modern hadir untuk memenuhi kebutuhan kita akan hal-hal puitik.

Sabtu, 19 Februari 2022 | 06:59 WIB
0
360
Agama di Era Modern Bukan Lagi Sumber Informasi Ilmiah
Ilustrasi robot (Foto: tribunnews.com)

Saya sedang asyik membaca buku Sains dan Hal-hal Baiknya. Kumpulan tulisan AS Laksana saat berpolemik dengan GM. Seingat saya, saat polemik berlangsung, beberapa artikel keduanya saya baca. Dan saya selalu terkagum-kagum pada argumen keduanya. Membuat saya merasa minder, merasa bodoh, sekaligus merasa tercerahkan kemudian.

Yang paling menggetarkan saya tentu saja saat Mas Sulak menulis bila kebenaran sains adalah kebenaran mutakhir. Bukan kebenaran akhir, bukan kebenaran final. Selalu bisa disanggah dengan ditemukannya informasi-informasi baru.

Sains akibatnya tidak menjadi pongah, seperti halnya agama yang kerap tak bisa difalsifikasi. Secara sepihak memutlakkan kebenarannya.

Mas Sulak kemudian menceritakan, di masa lalu saat informasi masih amat terbatas, manusia yang menguasai informasi akan menjadi penguasa. Tak heran dukun atau syaman pada awal peradaban menjadi penguasa karena dianggap punya akses informasi tentang jin,, makhluk halus dan hal gaib.

Kemudian agamawan dianggap penguasa. Dihormati karena memiliki akses informasi tentang Yang Di Atas. Dan sejarah mencatat, ada agamawan yang menjadi jumawa karena merasa kebenarannya mutlak. Mereka mengklaim segala yang bertentangan sebagai pendosa. Harus diluruskan, dihukum bahkan layak dibasmi.

Beriringan dengan waktu, sains mengungkap banyak informasi baru yang kemudian menggugurkan informasi-informasi yang spekulatif dan dogmatis. Agamawan tak lagi jumawa, dan sains mulai mempunyai andil dalam menentukan keputusan-keputusan manusia.

Namun demikian, ada ranah yang tak dapat digapai sains. Membuat banyak orang sering kecewa pada sains. Sains tak mampu memberi makna pada kematian ataupun hakikat keberadaan manusia.

Inilah ranah agama, ranah filsafat, apa yang oleh Goethe disebut sebagai 'puisi bagi kehidupan sehari-hari'. Ritual pemujaan misalnya, ini adalah perbuatan-perbuatan puitik. Sesuatu yang membuat kita nyaman, tanpa benar-benar bisa dijelaskan sains kecuali fakta bila frekuensi otak kita berada di frekuensi tinggi, serta hormon-hormon pembuat bahagia diproduksi.

Agama, filsafat seiring dengan berkembangnya sains hadir untuk memenuhi sisi-sisi puitik itu. Maka bila kita menemukan agamawan yang masih berkutat dengan kebenaran yang terdapat dalam teks relijius meski nyata-nyata bertentangan dengan sains adalah perbuatan sia-sia.

Agama di era modern bukan lagi sumber informasi ilmiah. Agama di masa modern hadir untuk memenuhi kebutuhan kita akan hal-hal puitik.

Demikian pula saat agama berusaha menempatkan teks relijiusnya sebagai sumber hukum. Ini lagi-lagi hanya akan membuat agama terlihat lemah. Sumber hukum tak pernah abadi. Selalu ada keadaan kedaluwarsa seiring berkembangnya peradaban.

Konstitusi Amerika telah diamandemen berjali-kali. UUD 1945 pun hanya bertahan 50 tahun tanpa revisi. Karena memang harus ada unsur-unsur baru yang ditambahkan agar lebih sesuai keadaan.

Agama biarlah tetap menjadi ranah puitik. Menjadi inspirasi saat manusia harus mencari makna.

Saya tulis ini sebagai ungkapan hari Valentine. Agar Valentine tak dinilai dengan lebay melalui serangkaian hukum. Anggap saja Valentine adalah sarana manusia untuk. menyampaikan hasrat-hasrat puitiknya. Seperti saya yang mendadak rindu di hari Valentine. Hanya rindu dan bukan segala tafsir nyeleneh tentang konspirasi untuk meruntuhkan moral manusia.

#vkd

PS:

Ada kisah menarik dari buku itu juga. Saat Mas Sulak dan temannya mempertanyakan mengapa Yahudi melahirkan banyak ilmuwan hebat. Keduanya akhirnya menyimpulkan: mungkin karakter orang Yahudi cocok dengan ilmu pengetahuan. Mereka selalu meminta bukti empiris.