Lebaran Sebentar Lagi, Ribut Soal Logo

Pemerintah mengambil alih sertifikasi atau pelabelan halal. Tetapi, sebagaimana dikatakan Menteri kebanggaan umat itu, fatwa halal tetap merupakan ranah MUI.

Kamis, 17 Maret 2022 | 07:13 WIB
0
208
Lebaran Sebentar Lagi, Ribut Soal Logo
Logo halal MUI (Foto: bukalapak.com)

Gus Dur, atau KH Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia (1999-2001) yang dulunya getol meneriakkan ‘bubarkan MUI’, nyatater juga mesti berhati-hati ngadepin MUI. Padal, waktu itu, ia sangat berkuasa sebagai Presiden. Contohnya begini:
Kecenderungan MUI sebagai 'polisi agama' mulai dirasakan sebagian besar ulama setelah Soeharto lengser.

Ndilalahnya, pada jaman Gus Dur, MUI mengeluarkan fatwa haram untuk produk penyedap rasa Ajinomoto. Meski sering gusar dengan fatwa MUI, Gus Dur tak langsung mengamini fatwa itu. Sebagai presiden, Gus Dur memilih jalan tengah. Menguji terlebih dahulu produk penyedap rasa tersebut.

Gus Dur segera memerintahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan pengujian produk penyedap rasa yang divonis haram MUI. Hasilnya, kontaminasi lemak babi pada produk penyedap rasa tak ditemukan. Gus Dur mempercayai LIPI (kasus terjadi 2001, sementara BPOM baru saja berdiri 2000).

Tetapi demi menghindari keributan yang tak perlu dan tak diinginkan, ia membiarkan penyedap masakan itu ditarik. Ajinomoto baru boleh dijual lagi setelah MUI diyakinkan bahwa proses produksinya diubah. Sehingga produk itu memperoleh sertifikat halal.

Beberapa hari ini, orang Indonesia ribut soal logo ‘halal’. Di lini masa berbagai platform medsos, logo itu lalu-lalang, timpa-menimpa. Tak kurang, khas netijen +62, muncul berbagai meme. Kreatifitas tanpa watas.
Tak kurang ahli khat turut serta berpendapat dari sisi aturan kaligrafi. Bahkan, orang MUI (Majelis U Indonesia) seperti Anwar Abbas, pun juga lebih mempersoalkan grafisnya, yang terlalu nyeni, terlalu etnis. Makna religiusnya hilang, katanya.

Ya, kalau soal makna tergantung tafsir. Kalau soal tafsir tergantung pada centhelan. Kalau soal tafsir-menafsir, orang-orang PKS seolah dapat makanan empuk. Karena bentuk logo ‘halal’ itu Jawa Centris katanya. Padal, apa juga salah kalau bentuk logo itu kayak kubah masjid?

Yang awam dan songong, apalagi kadrun, ngomong nggak karuan. Pokokmen, seperti Pak Ndul dari Madiun, yang ahlinya ahli, intinya inti, core of the core!

Beberapa orang bahagia dengan munculnya logo itu. Karena urusan sertifikasi atau pelabelan halal, akhirnya diurus negara. Bukan lagi diurus ormas. Biyingkinlih, pelabelan itu konon setiap tahun bisa menghimpun duit Rp140trilyun.

Setidaknya yang eneg ngeliat MUI, berlega hati karena ormas bentukan Soeharto itu, selama ini dimanjakan Pemerintah secara tidak proporsional. Dapat bantuan keuangan dari Negara, tapi diminta bikin laporan keuangan selalu belibet. Tak ada transparansi dalam soal keduniawian. Tapi sok teu soal akhirat.

Senyampang itu, sebagai lembaga publik, nyatater beberapa elite MUI tersandung kasus. Ada oknum yang ketahuan beradegan three-some di sebuah hotel. Ada yang terindikasi terlibat jaringan terorisme. Dan yang paling mutakhir, ada elite MUI yang mendirikan shalat di atas mobil komando, karena menentang aturan TOA.

Itu yang tampak. Yang tidak tampak perlu ditampakkan pula mestinya, agar proporsional. Fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan MUI, mestinya juga perlu dikritisi. Karena biang awal-mula sesungguhnya ada di sana. Menyangkut pandangan dan keyakinan umat.

Di bawah Orde Baru Soeharto, MUI kental agenda politik. Namun setelah Orba runtuh, MUI justru bak 'polisi keagamaan', yang sebenarnya politis juga. Fatwa-fatwa intoleran kerap lahir, akan tetapi sering disambut kecaman ulama lainnya. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menyebut MUI berpikiran sempit. MUI dianggap tak mewakili kepentingan umat Islam. Islam, oleh elite MUI dipakai sebagai landasan kepentingan politik. Barang siapa yang ingin melanggengkan kuasa di Nusantara, harus menggalakkan politik merangkul umat. Agama menjadi stempel. Di situ posisi strategis MUI.

Celakanya, bukan untuk menyelesaikan masalah, namun menimbulkan masalah baru. Sebagaimana dulu fatwa MUI dikeluarkan KH Ma’ruf Amin (2012), yang mengafirmasi fatwa MUI Jatim mengenai kasus Syiah Sampang. MUI Jatim memfatwakan aliran itu sesat. Yang terjadi, konflik horisontal semakin masif dan latent.

Akibatnya di negeri ini ada anak negeri terpaksa mengungsi (atau diungsikan) di negerinya sendiri karena keyakinan pribadinya.
Kasus yang lebih baru, 5 tahun setelah kasus Syiah Sampang, muncul di Jakarta, berkait Pilgub 2017 dalam kasus ‘Al Maidah’ yang diujarkan Ahok. Lagi-lagi, MUI mengeluarkan fatwa bahwa ucapan Ahok memiliki konsekuensi hukum. Pernyataan sikap ini diteken Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin dan Sekretaris Jenderal MUI Dr. H. Anwar. Abbas (11/10/2016). Ada 5 sikap yang dinyatakan dan 5 poin rekomendasi yang diajukan MUI. Antara lain, "Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum."

Di tengah persidangan Ahok, pressure group atas jalannya pengadilan menjadi makin massif. Meskipun pendapat MUI itu menjadi kontroversi, karena di kalangan ulama lain yang bukan anggota MUI, muncul pendapat berbeda. Lepas dari soal mana yang benar, yang muncul kemudian adalah relawan poster barisan pembela Fatwa MUI.

Di balik peristiwa itu, Ahok berniat menuntut pertanggungjawaban Ma’ruf Amin. Tetapi niatan itu, hanya berhenti setelah konon dibujuk oleh Jokowi. Mungkin sohibnya itu menjanjikan cara lain untuk menaklukkan MUI. Misal, dengan cara menjadikan ketua umumnya waktu itu sebagai Wakil Presiden.

Celakanya, dalam kasus logo ‘halal’, seolah berhenti pada persoalan seni grafis, atau bahkan seni kaligrafi semata. Melibatkan pula ahli khat ikut berkomentar, yang ternyata satu sama lain berbeda-beda pula. Horotoyoh. Pertikaian tak ada ujung. Dan apakah penting?

Seolah penting. Padal itu menutupi soal yang tak kalah penting. Penjelasan Kemenag trang-benderang, bahwa Pemerintah mengambil alih sertifikasi atau pelabelan halal. Tetapi, sebagaimana dikatakan Menteri kebanggaan umat itu, fatwa halal tetap merupakan ranah MUI. Paham?

Persoalan lain jika mau dipersoalkan, kenapa sih Kemenag ngurusin soal haram dan halalnya makanan serta minuman, bahkan mungkin berbagai produk dari dalam dan luar negeri? Karena ngiler Rp140trilyun pertahun, di saat Negara butuh banyak duit di masa sulit ini? Bukankah negara kita bukan negara agama

Memangnya kalau rakyat jelantah makan atau minum yang tidak halal kenapa? Di penjara? Masuk neraka? Cara memasukkannya gimana?

Apa urusan negara dengan persoalan konsumsi haram dan halal? Kalau itu soal ukuran agama, mengapa tidak diserahkan sebagai urusan internal agama masing-masing? Bukanlah pada agama sing-masing, ada banyak elite dan awamnya yang ahli sorga dan neraka?

Lantas, bagaimana misalnya soal label halal dan haram itu bagi masyarakat Bali? Apakah masyarakat Bali bukan masyarakat Indonesia?

Katanya kita negara hukum, tetapi kenapa hukum bisa berlaku berbeda-beda? Bagaimana dengan gerakan model PA-212 di Sukabumi (11 Maret 2022), yang mengatasnamakan agama untuk menggerudug Pabrik Sepatu? Ini juga soal label halal dan haram, yang fatwa-nya tetap menjadi ranah MUI? Fatwa untuk apa dan siapa?

Dan kita cukup bahagiah serta banggah, meributkan soal grafis sebuah logo? Padal, sebentar lagi ramadhan! The swepping must go on?

Sunardian Wirodono 

***