MATAHARI dalam Novel Indonesia

Jika anda ingin menulis dan menerbitkan novel. Gak perlu lacur. Turut latah mulai novel dengan: MATAHARI.

Selasa, 29 Juni 2021 | 09:04 WIB
0
296
MATAHARI dalam Novel Indonesia
Saya mengamati opening novel di toko buku.

Saya membaca ratusan novel Indonesia. Sebuah riset kecil. Mengamati fenomena. Bagaimana pola, semacam kelaziman, OPENING rata-rata novel kita?

Maka saya temukan fakta ini. Sekitar 30% novel Indonesia mulai dengan "Matahari".

Contoh:
1. Mentari senja jatuh menerpa Tower I Hilton Jakarta. Berkas-berkas cahayanya bewarna perak, menyapu lembut pucuk-pucuk taman hias yang merambat di dinding depan gedung berlantai tiga puluh tersebut. (John Handol Malau, Parumaen dari Roma: 1995)
2. Tiwi melangkah ringan memasuki kampus Universitas Garuda. Pagi kelihatan cerah, ramah, dan bersahabat. Hangat, sehangat sapa Pak Kenton yang mejaga gerbang. (Zara Zettira, Jejak-Jejak Jejaka: 1989)
3. Tania Rejana terjaga ketika matahari sudah lama menerobos ke dalam kamarnya lewat jendela yang dibiarnya terbuka semalaman. (Marga T., Dibakar Rindu: 2003)

Jika Anda mulai membuka kata dan kalimat pertama (opening) sebuah novel. Gak dosa, kok, tanpa matahari. Sebab novel bukan pagi. Atau hari hari baru. Yang setiap hari wajib diawali dengan: matahari.


Padahal, bisa saja kreatif. Itulah apa yang dalam filsafat-ilmu disebut "autos hepa". Yakni kesadaran sosial. Pengalaman-bersama umat manusia dalam sebuah koloni. Manusia mengenal diri dan alam sekitarnya karena tradisi. Bisa jadi, karena sering membaca opening novel "ber-matahari". Maka, seakan-akan, jika memulai nulis novel. Mesti ada mataharinya. 

Jika tidak ada "matahari" di awal novel. Maka seakan-akan tidak sah novel itu. Dan terasa salah kaprah. Itulah yang disebut: kesadaran sosial. Common sense suatu kaum/ suku bangsa.

Contoh lain autos hepa.

Manakala diminta menggambar bebas. Maka pasti semua gambar pemandangan alam: Ada matahari. Ada gunung. Ada sawah. Ada gubuk. Ada jalan setapak.Ada pohon kelapa. Ada pohon asam atau pohon tanjung. Yang anehnya, kadang orang di dalam rumah pun tampak. Sementara MATAHARI digambarkan bisa tertawa. Sinarnya bukan membias, ada garis-garisnya hingga ke bumi.

Itulah, sekali lagi. kesadaran sosial yang di dan terbangun. Padahal, bisa saja menciptakan objek yang lain. Namanya juga menggambar bebas. Begitu juga halnya opening sebuah novel. Pada galibnya, ia mengarang-bebas. Jadi, ya, suka-suka gua!

Jangan ikut-ikut latah! Namanya, dalam dunia penulisan dan penerbitan: me too product, produk ikutan. Padahal, opening novel dapat diawali bunyi rem mobil sebagai berikut:


"Ssssssz, tek!"

Saskia menginjak rem mendadak. Antara terkejut dan mengumpat, ia melihat ke muka.
"Sialan!" gumamnya. "Cowok itu lagi, cowok itu lagi!"
Ia mematikan mesin honda jazz itu. Lalu turun. Tak dipedulikannya orang-orang di belakang mengklason.
"Kalau mau cari mati, jangan di sini!" gerutunya.
"Ya, non!" kata cowok yang nyaris diseruduknya itu. Ia membuka helm. Lalu mengulurkan tangan. "Anton!" katanya.
Srrrr! darah Saskia serasa berhenti. Rasanya, ia mengenal cowok itu.

Itu sekadar contoh. Opening novel nir-matahari. Cukup kreatif. Anda bisa membikin opening novel. Dengan menggambarkan suatu peristiwa. Yang unik. Sama sekali berbeda dengan yang sudah ada.

Nah, jika Anda ingin menulis dan menerbitkan novel. Gak perlu lacur. Turut latah mulai novel dengan: MATAHARI.

Jangan matahari selalu dibawa-bawa dalam setiap opening novel.

Gak dosa, kok, tanpa matahari. Sebab novel bukan pagi. Atau hari hari baru. Yang setiap hari, wajib diawali dengan: matahari.

***