Dilemma dan Magnet Mudik

Yang menjadi tantangan besar dalam situasi ini adalah kemampuan kita beradaptasi secara cerdas. Mampukah?

Selasa, 11 Mei 2021 | 21:21 WIB
0
197
Dilemma dan Magnet Mudik
Mudik (Foto: lokadata.id)

Negeri ini tersusun dari masyarakat "komunal". Sebagian besar warga memiliki kampung halaman yang mengikat pikiran dan batin. Di sana ada magnet, ada daya rekat, dan ada hubungan batin antar sesama kerabat yang luar biasa erat. Kerekatan ini terjadi karena proses kehidupan panjang yang menjadikan mereka terikat dalam satu kesatuan batin. Ada "collective consciousness".

Selain itu, ketimpangan ekonomi antara desa dan kota, telah menjadikan begitu banyak keluarga desa yang terikat dalam komunitas itu terpecah kehidupannya.

Tak hanya wadah komunitas desa yang terbelah karena sebagian warga terpaksa harus ke kota untuk mengadu nasib, namun banyak juga kehidupan inti dalam keluarga yang terbelah; ayah, ibu, dan anak-anak dalam unit keluarga batih berpisah secara fisik.

Ayah berpisah dengan anak istrinya karena harus bekerja di kota. Bahkan tak sedikit, istri harus meninggalkan suami dan anak anaknya karena merantau bekerja di kota. Mereka berjuang di kota, menahan kerinduan, demi mengumpulkan tetesan uang untuk menghidupi keluarga di kampung halaman.

Itulah gambaran sosial sebagian besar masyarakat kita. Kita akan gagal memahami kuatnya magnet mudik bila kita tak memahami kondisi sosial ini.

Nah, dalam struktur sosial semacam ini, tiba tiba datang pandemi Covid-19 yang merebak. Penularan virus ini meluas dalam waktu sangat singkat.

Para ahli virologi dan epidemologi menjelaskan bahwa virus menyebar melalui percikan kecil (droplet) dan bahkan berukuran super kecil (aerosol) yang keluar dari mulut orang-orang yang sudah tertular saat mereka berbicara.

Percikan itu juga dapat menempel di banyak benda yang bila kita sentuh dengan telapak tangan, dan kemudian telapak tangan kita memegang mulut dan hidung, penularan dapat terjadi.

Karena itu, beragam cara pencegahan dilakukan. Perilaku kita dicoba ditata agar dalam kita menjalani hidup membiasakan diri memakai masker, menjaga jarak saat berinteraksi fisik, cuci tangan pakai sabun, menghindari berkerumun, hingga tinggal di rumah saja kalau tak ada keperluan mendesak ke luar rumah. 

Selain itu, para ahli virologi di tiap negara mencoba menciptakan vaksin untuk membangkitkan antibody kita dalam tubuh sehingga tubuh kita siap saat virus masuk.

Saat ini banyak jenis vaksin telah beredar. Vaksinasi massal mulai dilakukan. Indonesia termasuk negara yang kini tengah melakukan vaksinasi massal itu. Namun, saat ini kita belum yakin benar efektivitas vaksin terhadap pencegahan massal penularan. Karena itu, protokol kesehatan tetap harus diberlakukan ketat.

Di tengah kita bertempur melawan pandemi Covid-19, pro-kontra sejak awal terjadi. Ada sebagian kita yang anti protokol kesehatan. Bahkan ada juga yang tak percaya Covid-19 atau menganggap semua kejadian ini adalah bagian dari konspirasi dunia yang motifnya bisnis. Karena itu, persepsi publik terbelah. 

Di tengah kesemrawutan ini, datang berita dari India. Negeri penghasil vaksin Covishield dan Covaxin ini diberitakan tengah mengalami hempasan tsunami Covid-19 gelombang kedua yang lebih dahsyat dari yang sebelumnya. Disinyalir, di negeri itu ditemukan varian (strain) baru Covid-19 yang dinamakan B.1.6.1.7. Ada juga yang mengatakan, India terlalu percaya diri, mentang mentang jutaan warganya sudah mendapatkan vaksin, pemerintah dan warga melonggarkan protokol kesehatan.

Akibatnya tingkat penularan Covid-19 naik kembali dan bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Yang perlu dicermati, virus strain baru dari India ini telah masuk ke Indonesia. Setidaknya telah ada dua kasus orang yang telah tertular virus ini di Perum Pondok Jagung Kelurahan Pondok Jagung, Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangsel. Kita perlu hati-hati.

Lonjakan penularan di India memang sungguh menggila. Rumah sakit tak mampu menampung pasien yang membludak. Krisis oksigen secara luas terjadi. Tak terbayang berapa banyak orang sesak napas sebelum menemui ajalnya. Kini, kita di Indonesia melihat foto-foto horor mayat bergelimpangan. Lihat foto di bawah. Ini jelas harus dijadikan pelajaran. 

Melihat kejadian ini, nampaknya pemerintah mencoba melakukan kebijakan terbaik untuk menghindarkan kita dari bencana besar seperti terjadi di India. Karena itu, walaupun disadari sangat sulit mencegah masyarakat mudik, tetapi nampaknya sekuat tenaga dicoba juga. Kali ini pemerintah lebih tegas dibanding sikap tahun lalu.

Masalahnya, banyak warga yang nampaknya seperti tak ada pilihan kecuali mudik. Mungkin mereka adalah pekerja lepas yang tak memiliki pekerjaan lagi di kota. Namun sebagian lainnya, walau ada pilihan, juga tetap ingin mudik karena adanya dorongan kerekatan begitu kuat untuk bertemu keluarga dan sanak saudara sekampung. Ini peristiwa tahunan yang bagi mereka telah membudaya.

Foto di bawah yang beredar (semoga benar bukan hoax) menggambarkan tekat begitu besar dari banyak orang yang ingin mudik.

Ini wajar dapat terjadi seperti di tahun lalu maupun tahun 2021 ini karena besarnya magnet itu. Walaupun dilarang dan dicegati petugas, tetap saja mereka mencari jalan alternatif atau "jalan tikus".

Mereka berupaya menembus barikade apapun, layaknya mereka tengah "berjihad" merealisasikan niatnya. Dapat dibayangkan, dalam pikiran mereka dipenuhi bayangan hangatnya kampung halaman yang telah sekian lama ditinggalkan.

Betapa nikmat kembali bertemu anak istri, kakek nenek, dan seluruh handai taulan di hari lebaran. Oh..Hanya saja taruhannya nyawa. Tak hanya nyawa dirinya, tapi bisa jadi nyawa seluruh keluarga dan saudara saudara sekampung.

Sementara itu para ahli virologi dan epidemologi yang mengamati keganasan virus merasa was was melihat derasnya mudik. Para tenaga medis yang selama ini menjadi penjaga gawang di rumah sakit, juga pasti merasa khawatir bila pasien Covid-19 banjir lagi pada pasca lebaran. Pengalaman sebelumnya, para tenaga medis harus bekerja keras, siang dan malam merawat para pasien yang tak henti henti berdatangan. Sungguh melelahkan.

Saya tahu, apa yang saya kemukakan ini bisa jadi akan mengundang komentar sebagian sahabat yang menuduh saya "menakut nakuti". Padahal, saya bermaksud hanya sekedar mencoba mengungkapkan dilemma yang tengah dialami bangsa ini yang sungguh menjadi tantangan yang tak mudah.

Begitu banyak dimensi yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan. Yang menjadi tantangan besar dalam situasi ini adalah kemampuan kita beradaptasi secara cerdas. Mampukah?

Akhirnya, hanyalah doa yang dapat kita panjatkan di saat kita menghadapi situasi sulit semacam ini. Semoga kita sebagai bangsa selamat!

#iPras2021

***