Kediaman Sie Kong Liong, Saksi Bisu Lahirnya Sumpah Pemuda

Kini kediaman Liong itu tak lagi sepi, namun kembali diramaikan oleh para pengunjung dari berbagai kalangan yang antusias soal Sumpah Pemuda.

Sabtu, 22 Februari 2020 | 01:58 WIB
0
291
Kediaman Sie Kong Liong, Saksi Bisu Lahirnya Sumpah Pemuda
Kediaman Sie Kong Liong, Saksi Bisu Lahirnya Sumpah Pemuda

Mendukung pergerakan Indonesia dalam meraih kemerdekaan bisa lewat tindakan apapun. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sie Kong Liong.

Sosok Tionghoa ini, memang tak terlibat langsung. Tetapi kediamannya yang terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Senen, Jakarta Pusat adalah saksi bisu lahirnya Sumpah Pemuda.

Pada eranya kediaman Liong adalah indekos bagi mahasiswa. Tak hanya jadi rumah, para pelajar kerap kali menjadikannya sebagai tempat berdiskusi politik, bermain tenis meja dan biliar ataupun berlatih kesenian.

Tak heran bila berbagai kegiatan bisa dilakukan ditempat tersebut. Pasalnya kediaman Liong bisa dibilang sangatlah luas, kira-kira lebih dari 1.000 meter persegi.

Ada bangunan utama dan 14 paviliun di dalam gedung tersebut. Luas bangunan utama 460 meter dan tiap paviliun berukuran 45 meter persegi.

Awalnya kediaman itu dihuni anggota Jong Java. Kebanyakan dari mereka berkuliah di Sekolah Dokter Hindia di Gedung Stovia.

Jong Java sendiri merupakan organisasi pemuda yang dipelopori oleh Satiman Wirjosandjojo. Semula Jong Java bernama Tri Koro Dharmo yang berarti 'Tiga Tujuan Mulia'.

Sebelum di kediaman Liong, Jong Java bertempat tinggal di Jalan Kwitang Nomor 3. Namun karena kian sempit membuat mereka tak lagi leluasa untuk berdiskusi maupun berlatih kesenian.

Jong Java sudah menempati kediaman Liong sejak 1925. Seiring berjalannya waktu indekos itu kian ramai dihuni mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan daerah.

Di tahun 1926, penghuni mahasiswa mendirikan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI). Disitu pula dijadikan pusat kegiatan alias 'basecamp'-nya PPPI.

Tahun berganti, kediaman Liong kian akrab dengan berbagai gerakan pemuda. Dan pada 1928, penghuni lagi-lagi mendirikan Indonesische Clubgebouw (IC) atau nama populer lainnya adalah Indonesische Clubhuis.

Debat dan diskusi antar pemuda itu akhirnya bermuara pada kelahiran Kongres Pemuda ke-I. Kongres tersebut dilaksanakan disebuah gedung yang terletak di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat.

Kongres dilakukan selama tiga hari dan dimulai sejak 30 April 1926. Saat kongres akan dilangsungkan hanya mengundang 70-80 orang, namun nyatanya jumlah yang hadir sampai lebih dari 100 peserta.

Hal inilah yang membuat mereka mesti mencari tempat yang lebih luas. Maka dipilihlah ruang luas untuk menampung peserta dan rapat dibagi menjadi tiga hari.

Rapat pertama pada 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) dikawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Keesokan harinya, rapat kedua dilaksanakan di Gedung Oost Java Bioscoop yang kini menjadi Gedung Mahkamah Agung bersebelahan dengan Istana Negara.

Rapat ketiga barulah dilaksanakan dikediaman Liong. Di rapat terakhir jumlah undangan kira-kira hanya 80 orang, tetapi yang hadir lebih dari 1.000 peserta.

Saking banyaknya mereka memenuhi aula gedung hingga ke lapangan dan Jalan Kramat Raya. Dari rapat terakhir itulah dihasilkan tiga butir keputusan yang tertuang dalam Sumpah Pemuda.

Bukan cuma kelahiran Sumpah Pemuda, dikediaman Liong pula, lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dimainkan oleh sang pencipta, W.R. Supratman. Dia memainkan lagu kebangsaan Indonesia itu sembari menggesek biolanya yang kini terpajang di rak kaca di dalam Museum Sumpah Pemuda.

Sayangnya enam tahun kemudian, riuh semangat pemuda kian tak terdengar dikediaman Liong. Kegiatan mahasiswa pindah ke Jalan Kramat Nomor 156, Senen, Jakarta Pusat.

Selepas itu kediaman Liong beralih-alih fungsi. Ada etnis Tionghoa bernama Pang Tjem Jam, ia menggunakannya sebagai tempat tinggal sekitar tiga tahun.

Lalu di tahun 1937, disewakan kepada Loh Jing Tjoe. Ia menjadikannya sebagai toko bunga hingga 1948.

Di tahun itu pula, Loh Jing Tjoe mengubah kediaman Liong sebagai Hotel Hersia sampai 1951. Selanjutnya pernah pula dijadikan kantor oleh Inspektorat Bea dan Cukai.

Dan baru pada 1973, kediaman Liong resmi dijadikan Museum Sumpah Pemuda oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Hal ini dilakukan demi menghormati momen penting Sumpah Pemuda.

Kendati demikian di era 80-an, Museum Sumpah Pemuda itu pernah terbakar lantaran tidak diurus. Kondisi itu menyebabkan muka bangunan aslinya dibagian belakang tak lagi sama.

Bagian yang terbakar dimulai dari Ruang Kepanduan hingga ke bagian terbelakang. Dan atap saat ini pun tak lagi setinggi dahulu.

Meski begitu, kediaman Liong yang juga dikenal dengan nama Gedung Kramat itu, masih terdiri dari beberapa kamar, aula, dan lapangan seperti sedia kala. Di tiap ruang tersaji berbagai diorama yang mampu mendorong atmosfer perjuangan bagi para pengunjung.

Ada diorama WR Soepratman memainkan biola, situasi ketika Kongres Pemuda II berlangsung, pemuda sedang membaca surat kabar, hingga diorama saat sedang rapat. Kini kediaman Liong itu tak lagi sepi, namun kembali diramaikan oleh para pengunjung dari berbagai kalangan yang antusias soal Sumpah Pemuda.

Sony Kusumo

***