Tuduhan Konspirasi

Di Tiongkok sampai diciptakan banyak lagu solidaritas. Agar rakyat bersatu melawan virus. Termasuk dengan disiplin menjaga jarak: baik di restoran maupun saat antre kendaraan.

Rabu, 18 Maret 2020 | 11:00 WIB
0
409
Tuduhan Konspirasi
Ilustrasi Corona (Foto: Disway.id)

Siapa 'pasien zero' Covid-19?

Itulah yang terus dicari. Oleh siapa pun. Terutama ilmuwan bidang virus.

Pasien zero di Korea Selatan sudah diketahui: wanita berumur 60 tahun jemaat gereja Jagat Baru itu. Yang dianggap aliran sesat itu. Dialah pasien pertama Covid-19 di Korsel.

Dia juga mendapat gelar super spreader. Sampai saat ini 60 persen penderita Covid-19 di Korsel adalah anggota jemaat itu.

Pasien zero di Indonesia belum ditentukan siapa.

Sangat sulit menelusuri sampai menemukan siapa pasien zero di suatu negara. Apalagi di Wuhan, Tiongkok. Yang pasien awal-awalnya sudah banyak yang meninggal.

Tapi seiring dengan meredanya Covid-19 di Tiongkok penelusuran itu bisa lebih serius dilakukan. Apalagi sudah tiga hari terakhir penderita baru Covid-19 di Provinsi Hubei --yang ibu kotanya Wuhan-- tinggal 4 orang. Bahkan kemarin tinggal 1 orang.

Seperti disiarkan media setempat, penelusuran awal itu sudah mulai menghasilkan. Memang belum sampai ke 'pasien zero' tapi sudah dipastikan virus itu mulai terjangkit jauh sebelum akhir Desember.

"Covid-19 sudah mulai berjangkit tanggal 17 November 2019," tulis hasil penelusuran itu.

Ilmu pengetahuan tentu akan bisa mengungkapkan siapa pasien zero itu. Lalu akan diteliti lebih lanjut asal-usulnya.

Ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkapkan bahwa Raja Firaun (Ramses V) meninggal karena virus smallpox. Itulah virus mematikan zaman itu --yang konon juga melumpuhkan pasukan gajah Abrahah yang akan menghancurkan Ka'bah.

Tentu deteksi terhadap 'pasien zero' Covid-19 akan lebih mudah dilakukan. Belum lama terjadi. Meski harus bongkar-bongkar abu kremasi.

Untuk sementara apa boleh buat. Wuhan dianggap sebagai tempat bermulanya Covid-19. Tiongkok tidak membantahnya.

Tapi Tiongkok menjadi sangat marah. Terutama ketika seorang senator Amerika melontarkan tuduhan aneh. Bahwa Covid-19 itu berasal dari senjata biologi Tiongkok yang bocor. Yakni dari sebuah laboratorium di Kota Wuhan.

Nama senator itu: Thomas Cotton. Biasa dipanggil Tom Cotton. Umur 42 tahun. Anggota Partai Republik. Dari dapil Arkansas.

DI's Way pernah menulis: memang ada laboratorium biovirus di Wuhan. Lokasinya 36 km di luar kota Wuhan. Di situlah dihimpun kotoran kelelawar terbanyak di dunia. Yang diambil dari gua mana pun di Tiongkok. Untuk diteliti oleh para ahli virus.

Ilmuwan sedunia sudah meninjau laboratorium itu. Mereka menyimpulkan Covid-19 tidak ada hubungannya dengan laboratorium tahi kelelawar tersebut.

Maka ganti Tiongkok melontarkan tuduhan yang sangat menghebohkan. "Bisa jadi Covid-19 ini dibawa ke Wuhan oleh tentara Amerika," ujar Zhao Lijian.

Zhao bukan orang sembarangan. Jabatan resminya adalah juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Berarti pernyataannya itu sangat resmi.

Apalagi pernyataan itu tertulis. Diunggah di Twitter. Dan sampai hari ini --lima hari setelah diunggah-- tidak juga dicabut.

Zhao pun menantang Amerika untuk buka-bukaan. "Coba umumkan kapan pasien zero terjadi di Amerika? Di rumah sakit mana?" tulis Zhao --seperti sudah punya informasi itu. "Bukalah. Umumkanlah," tulisnya.

Baca Juga: Corona dan Kejinya Teori Konspirasi

Pejabat Tiongkok pun menyinggung soal flu burung tahun 2009. Yang mewabah ke 124 negara. Yang mengakibatkan 14.000 orang meninggal dunia. "Asal flu burung itu dari Amerika. Tapi pernahkah kita menyalah-nyalahkan Amerika?" ujar pejabat itu.

Tapi siapa tentara Amerika yang dimaksud? Dan kapan?

Rupanya 'teori' itu dikaitkan dengan acara pekan olahraga militer sedunia. Yang diselenggarakan di Wuhan pada Oktober 2019.

Militer Amerika mengirim 17 team ke Wuhan. Mereka ikut di 17 cabang olahraga. Jumlah atlet mereka 280 orang. Menurut 'teori' itu ada atlet yang ke pasar induk Huanan, Wuhan.

Sekitar dua minggu setelah pekan olahraga militer itu mulailah ada penderita Covid-19 di Wuhan. Yang pusatnya di pasar induk Huanan itu.

Mantan Presiden Iran, Ahmadinejad, juga mengunggah status di Twitter. Ia juga menyebut Covid-19 produk senjata bio. Tapi ia tidak mengarahkan tuduhannya ke mana: Tiongkok atau Amerika.

Yang jelas dua hari setelah unggahan Twitter yang heboh itu duta besar Tiongkok di Washington DC, Cui Tiankai, dipanggil pemerintah Amerika. Amerika marah atas tuduhan di Twitter itu.

Di Amerika memang pernah terjadi wabah sakit penafasan. Sampai beberapa orang meninggal. Yakni di negara bagian Washington.

Waktunya: dua bulan sebelum pekan olahraga militer dunia itu.

Hanya saja penyebab sakit itu jelas: vaping. Korbannya: para vaper.

Vaping adalah generasi keempat rokok elektronik. Yang bisa mengeluarkan asap seperti merokok beneran.

Rasanya terlalu konspirasi kalau wabah vaping dikaitkan dengan Covid-19. Entahlah kalau Tiongkok punya data yang lebih langsung dengan kehadiran para atlet militer itu.

Ataukah Tiongkok mengaitkannya dengan berita di koran besar Inggris tanggal 6 Agustus 2019?

Harian Independent London --yang reputasinya tinggi-- hari itu memang memberitakan bahwa Amerika menutup laboratorium senjata biologi yang di Fort Detrick, Maryland. Lab itu juga berfungsi sebagai lembaga riset virus-virus mematikan.

Penutupan dilakukan karena sejak terjadi banjir dua tahun lalu standar keamanan di lab tersebut tidak memenuhi syarat. Tapi, ditegaskan, tidak sampai terjadi kecelakaan apa pun.

Tiongkok sendiri pernah mengirim ahli-ahli senjata biologinya Fort Detrick itu. Zaman itu dua negara bekerjasama di bidang senjata bio. Mereka saling mengirim tenaga militer bidang itu.Kini hubungan Amerika-Tiongkok tegang lagi --di arena yang baru.

Di mana-mana memang terjadi perbedaan pendapat. Baik antarnegara maupun di dalam negara itu sendiri. Di semua negara.

Ada kelompok yang menggalang persatuan untuk melawan Covid-19. Tanpa perlu mempersoalkan siapa yang salah.

Di Tiongkok sampai diciptakan banyak lagu solidaritas. Agar rakyat bersatu melawan virus. Termasuk dengan disiplin menjaga jarak: baik di restoran maupun saat antre kendaraan.

Di Italia banyak juga yang mengharukan: para penghuni apartemen berdiri di balkon di luar kamar masing-masing. Sambil memandang ke bawah --ke jalan yang begitu sunyi. Lalu secara serentak mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat.

Tapi ada juga yang sibuk menuding-nuding. Kadang ke satu arah. Kadang ke banyak arah.

Ada kalanya bencana memang justru bisa mendamaikan dunia. Itu yang masih kita tunggu.

Dahlan Iskan

***