2019 ini, banyak orang harus berpisah dengan kekuasaan. Anggota legislatif akan berakhir pada jabatannya. Kemungkinan besar, banyak yang tidak lagi terpilih. Pemilihan presiden masih tetap mengarah pada petahana. Namun, semua kemungkinan selalu terbuka.
Di tengah semua ini, banyak orang harus berpisah dari uang yang mereka punya. Para caleg yang akan mengalami depresi, karena gagal terpilih, walaupun sudah mengeluarkan uang banyak untuk kampanye. Para donor dan partai politik yang harus kalah, walaupun sudah mengeluarkan uang banyak juga untuk kampanye jagoan mereka. Kita mungkin kerap lupa, bahwa kekuasaan, seperti segala yang ada, akan berakhir.
Zen Master Man Gong dari Korea pernah berkata, bahwa jika kita mendapat sesuatu berarti kita sedang kehilangan sesuatu. Ini terjadi, karena segala sesuatu berubah. Tak ada apapun yang bisa kita genggam dengan erat di dalam hidup ini, termasuk hidup kita. Mendapatkan atau kehilangan, keduanya adalah satu dan sama.
Dimensi Kekuasaan
Bagi sebagian orang, kekuasaan adalah kutukan. Kekuasaan mengubah kepribadian mereka menjadi rakus dan sombong. Hidup mereka pun dipenuhi tegangan penderitaan. Dengan pola berpikir ini, kekuasaan yang mereka pegang juga akan membuat banyak orang menderita.
Sayangnya, pola pikir inilah yang masih dianut oleh para penguasa politik dan ekonomi di Indonesia. Gejalanya dengan mudah dilihat. Kedudukan sebagai wakil rakyat ataupun pejabat publik digunakan untuk memperkaya diri dengan melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Ini telah menjadi budaya yang mengakar dalam, sehingga orang ingin menjadi pejabat publik justru karena ingin korupsi.
Namun, pada dirinya sendiri, kekuasaan tidaklah baik dan tidak buruk. Jika dipegang dengan kesadaran penuh, kekuasaan bisa menjadi berkah. Orang bisa membaktikan hidupnya untuk kebaikan bersama masyarakatnya. Ia bisa menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk banyak orang.
Anatomi Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi dunia. Dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, kekuasaan manusia kini menjadi amat besar. Alam fisik dibentuk sedemikian rupa, sehingga bisa sesuai dengan keinginan manusia. Beberapa peradaban bahkan mencoba mengembangkan teknologi pikiran, supaya bisa menciptakan kebahagiaan hidup yang tak terpengaruh oleh perubahan keadaan.
Akar dari kekuasaan adalah kehendak. Ini kiranya sejalan dengan pandangan Nietzsche yang melihat hidup sebagai kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht). Tentu saja, kehendak tidak muncul dari ruang kosong. Ia adalah hasil dari rangkaian sebab akibat yang melahirkan energi dan dorongan kehidupan itu sendiri.
Kekuasaan lalu terwujud melalui tindakan dan keputusan. Setiap tindakan dan keputusan selalu terjadi dalam kerangka sosial. Begitu pula setiap tindakan dan keputusan selalu memiliki dampak yang bersifat sosial.
Michel Foucault, pemikir Prancis, juga menegaskan, bahwa kekuasaan terdapat di dalam pengetahuan. Penentuan benar-salah, dan baik-buruk, juga merupakan sebentuk kekuasaan. Ia tidak baik, dan juga tidak buruk. Ia diperlukan untuk mencipta dan melestarikan tatanan yang terus berubah.
Satu hal yang tak boleh terlupa, bahwa kekuasaan itu sementara. Semakin lama, kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dunianya semakin kecil. Kekuasaan mesti siap untuk dilepas, ketika waktunya tiba. Jika gagal memahami hal ini, maka masalah dan derita sudah siap berkunjung di depan mata.
Kekuasaan yang Korup
Tanpa kesadaran akan kesementaraan, kekuasaan bisa menjadi korup. Ia menjadi ego sentrik, yakni hanya menjadi ajang pemenuhan kebutuhan diri dan kelompok sempit mata. Orang lain dan masyarakat luas dirugikan. Kebaikan bersama menjadi semakin jauh dari genggaman.
Tanpa kesadaran, kekuasaan akan berubah menjadi penindasan. Inilah yang kiranya terjadi di banyak negara sekarang ini. Kekuasaan menjadi ajang pamer, tanpa kesadaran akan pengabdian terhadap kepentingan bersama. Dalam arti ini, kekuasaan adalah sebuah kutukan, karena ia menyakiti banyak orang, dan bahkan orang yang memegangnya.
Penindasan terjadi tidak hanya di tataran politik dan ekonomi, tetapi juga di tataran simbolik. Pemikir Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut ini sebagai kekerasan simbolik. Ia berada di tingkat yang lebih halus dan tak terlihat, yakni di ranah pengetahuan dan penentuan baik-buruk ataupun benar-salah. Antonio Gramsci, pemikir asal Italia, menyebut ini sebagai hegemoni, yakni penindasan yang begitu halus, sehingga orang justru merasa puas, ketika ditindas.
Kekuasaan semacam ini dijalankan dengan kekerasan dan teror, baik fisik maupun simbolik. Sejarah bangsa-bangsa sudah menunjukkan, betapa kejamnya kekuasaan semacam ini. Begitu banyak korban jiwa dan harta benda, akibat kekerasan dan teror yang dijalankan. Ketika saatnya berlalu, kerusakan yang diakibatkan juga bisa dirasakan lintas generasi.
Kekuasaan adalah kesementaraan. Hal sederhana ini sekarang banyak terlupakan. Maka dari itu, ia harus memiliki arah yang jelas, yakni demi kebaikan bersama. Hanya dengan begitu, kekuasaan bisa menjadi bermakna, tidak hanya di waktu sekarang, tetapi juga di generasi mendatang. Ia bisa terus dikenang, tanpa sesal, namun dengan kekaguman.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews