Catatan tentang KSAD (4) Turbulensi dan Netralitas TNI

Minggu, 2 Desember 2018 | 05:48 WIB
0
970
Catatan tentang KSAD (4) Turbulensi dan Netralitas TNI
Andika Perkasa (Foto: Beritahujabar.com)

Ketika ditanya bagaimana menghadapi senior yang masih aktif dalam struktural Angkatan Darat? 

"Saya menyadari itu, banyak senior-senior saya yang masih berada di struktur AD. Saya pasti akan menjalin komunikasi seperti yang selama ini sudah kami lakukan juga. Bagi saya hal terpenting karena tanpa dukungan senior-senior juga enggak mungkin saya bisa berjalan sesuai arah yang mungkin mereka harapkan," kata Andika di Istana Negara, pekan lalu. 

Ia menampik keras anggapan dirinya mendekati tokoh-tokoh partai politik untuk meminta dukungan menjadi KSAD. "Enggaklah enggak. Kalau itu saya juga kan enggak pernah ke mana-mana," katanya.

Naiknya Andika melompati tiga angkatan di atasnya, mengingatkan pada mutasi yang terjadi di Mabes Polri. Jenderal Tito Karnavian (Akpol 1987) menjadi Kepala Polri melompati empat angkatan di atasnya; 1983, 1984, 1985, dan 1986. Kondisi tersebut menyebabkan ‘turbulensi’ di tubuh Polri.

Polisi, apalagi militer, dididik dengan aturan senioritas yang ketat. Hierarki militer membuat junior mesti menghormati seniornya. Ada sistem merit dalam birokrasi sipil dan militer untuk mengatasi krisis. 

Di depan mata, publik melihat beberapa kebijakan Tito ‘diganjal’ seniornya. Saat Tito diangkat sebagai Kepala Polri, ada beberapa seniornya di Mabes Polri. Dalam beberapa waktu para senior digeser ke luar Mabes Polri. 

Misalnya; Budi Gunawan (Akpol 1983) dari Waka Polri menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Suhardi Alius (1985) dari Kabareskrim Polri menjadi Sestama Lemhannas, kemudian menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Budi Waseso (1984) dari Kabareskrim menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), kemudian menjadi Dirut BULOG. Ada pula Syafruddin (1985) dari Waka Polri menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Netralitas

Negeri ini punya sejarah panjang, bagaimana birokrasi sipil maupun militer menjadi kendaraan politik Golkar sebagai partai penguasa di era Orde Baru. Peran birokrasi sangat menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilihan umum. 

Masyarakat juga mengetahui bagaimana birokrasi disusupi partai-partai politik pada era Orde Lama atau demokrasi terpimpin. Partai-partai politik yang bersatu di bawah panji Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) bersaing menguasai birokrasi pemerintahan.

Di era reformasi, ada upaya politisasi birokrasi dikuasai pemerintah yang sedang berkuasa. Akibatnya birokrasi cenderung menghasilkan oligarki. Kekuasaan dikuasai sejumlah elite tertentu pada puncak partai politik yang berkuasa.

Pelantikan Jenderal Andika Perkasa sebagai KSAD di tahun politik, tentu mengundang daya kritis terhadap kebijakan TNI. Siapa yang bisa percaya Angkatan Darat bisa netral dalam pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden? 

Hal ini tentu dengan melihat latar belakang kedekatan Andika dengan Presiden Jokowi. Kebetulan Jokowi tampil lagi sebagai calon presiden. Angkatan Darat, tentu lebih disorot publik, karena 3/4 kekuatan TNI ada di Angkatan Darat. Ia pun memiliki bintara pembina desa (babinsa) sebagai bagian dari komando teritorial.

Bukan mempermasalahkan fungsi teritorialnya, namun siapa yang bisa mengawasi netralitas babinsa di lapangan? Apalagi tidak ada lembaga TNI Watch atau lembaga pengawas TNI. Publik bisa mengingat dinamika saat pilpres 2014 silam. 

Silang pendapat antara KSAD, Jenderal Budiman; dan Kadispenad, Brigjen Andika Perkasa di satu sisi dengan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko; dan Kapuspen TNI Mayjen M Fuad Basya, di sisi lain. 

Saat itu, baik Budiman maupun Andika mengakui telah terjadi tindakan salah seorang anggota Babinsa di Jakarta mengarahkan penduduk memilih pasangan capres tertentu. Bahkan meminta Pangdam Jaya, Mayjen Mulyono menghukum dan mencopot personel Koramil tersebut. 

Namun, Mabes TNI membatalkan keputusan tersebut. “Tidak ada pelanggaran dari personel tersebut. Bawaslu juga mengatakan tidak ada unsur pelanggaran tersebut,” kata Moeldoko.

Kasus ini menjadi perhatian karena terjadi konflik elite militer. Sehingga kemungkinan ada operasi intelijen dari kedua kelompok. Bahkan belakangan, Presiden SBY memberhentikan Budiman sebagai KSAD secara mendadak. Di sini publik melihat, TNI masuk dalam kancah permainan politik praktis yang tidak elok.

Pengalaman buruk

Netralitas TNI pun dipertanyakan dengan keras. Memang publik sering mendengar pimpinan TNI menyatakan jaminannya, TNI akan netral. Tidak cukup hanya pernyataan, jika TNI kali ini pun dicurigai akan berpihak kepada calon presiden tertentu. 

Sudah cukup pengalaman buruk ketika TNI disusupi paham komunis pada era Orde Lama. Peristiwa Gerakan 30 September 1965, menyebabkan pimpinan Angkatan Darat dibunuh personel TNI yang disusupi paham komunis. Maka, betapa pahitnya jika TNI tidak mampu bersikap netral dalam pemilihan umum. 

Ingat, TNI sampai jatuh ke titik nadir ketika Orde Baru tumbang, Mei 1998. Masyarakat tidak percaya lagi, karena TNI menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah Orde Baru. TNI dan Polri (ABRI) menjadi bagian dari keluarga besar Golkar. Ada jalur ABG; ABRI, Birokrasi, dan Golkar. 

Apakah pimpinan TNI bersikap netral? Bisakah Hadi Tjahjanto dan Andika dapat melepaskan diri dari kedekatannya dengan calon presiden Jokowi? Dari kedekatannya dengan partai-partai yang sedang berkuasa saat ini? 

Tak salah jika publik tidak akan percaya begitu saja dengan sekadar omongan dan statemen manis. Jangankan publik, mantan Presiden SBY saja meragukan netralitas aparat birokrasi TNI, Polri, bahkan Badan Intelijen Negara (BIN).

“Saya masih punya orang di lapangan,” kata SBY mengisyaratkan bahwa ia masih mendapatkan laporan. Sekaligus tidak yakin institusi militer bisa profesional dan netral dalam pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden.

***