Untuk menghapus radikalisme dari Indonesia maka masyarakat harus dikuatkan rasa nasionalismenya, sejak kecil hingga dewasa.
Radikalisme bisa dicegah dengan penguatan nasionalisme karena jika semua orang punya rasa cinta yang tinggi terhadap negaranya, maka mereka tidak akan goyah terhadap rayuan kelompok radikal dan teroris.
Indonesia sudah menjadi negeri yang damai dan sejahtera dengan konsep demokrasi yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945. Demokrasi sangat pas karena sesuai dengan keadaan negeri ini yang memiliki banyak suku, budaya, dan 6 keyakinan yang diakui oleh pemerintah.
Akan tetapi ada kelompok radikal yang sangat mengesalkan karena ngotot ingin mencongkel pancasila dan UUD 1945 serta menggantinya menjadi negara khalifah. Padahal kekhalifahan lebih cocok di negara monarki yang biasanya terletak di dekat padang pasir, dan tidak cocok dengan Indonesia yang lebih dinamis. Namun mereka memaksakan diri sampai membenci segala aturan dari pemerintah.
Bahaya dari kelompok radikal amat nyata. Selain ancaman pengeboman, mereka juga memprovokasi masyarakat untuk ikut membenci aturan pemerintah. Jika ini terjadi maka akan kacau-balau karena bisa memicu kerusuhan di Indonesia.
Oleh karena itu kita wajib mencegah menyebarnya radikalisme dengan penguatan nasionalisme, hal ini dinyatakan oleh politisi Susaningtyas Kertopati. Dalam artian, ketika semua orang memahami nasionalisme maka tidak akan mudah terkena pengaruh dari kelompok radikal dan teroris.
Penguatan nasionalisme amat penting karena sesungguhnya tiap WNI wajib memilikinya, tak hanya menghafal pancasila dan sejarah kemerdekaan Indonesia, tetapi juga dengan mengimplementasikannya. Caranya dengan pendidikan, baik di sekolah maupun di rumah.
Tiap murid wajib mendapat pelajaran tentang nasionalisme, misalnya sang guru bisa menceritakan kisah kepahlawanan sebelum zaman kemerdekaan. Mereka bisa memahami bahwa plokamator adalah Bung Karno dan konsep pancasila sudah ada sejak dahulu kala. Tidak bisa diganti begitu saja dengan kekhalifahan karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia, lagipula kelompok radikal tak punya andil dalam melawan penjajah sebelum tahun 1945.
Selain teori, para murid juga bisa diajak untuk belajar secara langsung. Misalnya dengan mengunjungi museum sehingga melihat tank dan benda lain yang pernah digunakan dalam perang kemerdekaan. Di hari pahlawan, mereka beserta para guru berziarah ke taman makam pahlawan untuk berdoa, menabur bunga, sambil mempelajari lebih dalam tentang nasionalisme.
Pengenalan mengenai nasionalisme memang harus disampaikan sejak dini, bahkan saat ini anak TK saja sudah diajak untuk menghafal pancasila. Mereka juga berparade dengan memakai baju daerah sebagai kecintaan akan budaya negerinya. Bukannya diajak untuk karnaval dengan kostum hitam dan membawa senapan plastik seperti yang pernah terjadi pada murid TK yang disinyalir gurunya radikal, beberapa tahun lalu.
Susaningtyas menambahkan, nasionalisme juga perlu ditanamkan kepada generasi muda, karena mereka sering jadi sasaran empuk kelompok radikal yang memang mencari kader-kader baru. Dalam artian, para mahasiswa seharusnya mengikuti matakuliah kewiraan agar rasa nasionalismenya meninggi.
Generasi muda juga wajib waspada akan konten radikal di sosial media yang makin ganas. Jangan mudah percaya akan suatu konten karena bisa jadi itu hanya hoaks atau pernyataan seorang tokoh yang dipelintir, padahal konteksnya tidak seperti itu.
Untuk menghapus radikalisme dari Indonesia maka masyarakat harus dikuatkan rasa nasionalismenya, sejak kecil hingga dewasa. Pengajaran tentang nasionalisme amat penting, tak hanya di sekolah tetapi juag di rumah, misalnya sang ibu bisa mengajak untuk menghafal lagu-lagu nasional dan daerah serta sesekali menyetel film tentang masa kemerdekaan. Dengan begitu maka kelompok radikal akan matu kutu dan tidak bisa berkembang di negeri ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews