Kami Ga Ngurus Orang

Barangkali dari pembicaraan singkat saya dengan Wayan ini menjawab mengapa wisata Bali sedemikian majunya dan sangat terkenal di seluruh dunia.

Selasa, 10 September 2019 | 13:12 WIB
0
572
Kami Ga Ngurus Orang
Wayan Gunawan (Foto: Tantri Sulastri)

Bertemu dengan I Wayan Gunawan baru pertama kali. Dari namanya jelas dia lelaki Bali. Sebagaimana pria Bali pada umumnya, saya tidak terlalu terkesan, sudah sering saya lihat dan bahkan berinteraksi. Toh cassing-nya sama saja, seperti pria Bali dewasa pada umumnya.

Tetapi, karena saya dan istri menginap di homestay miliknya, saya berkeinginan masuk lebih dalam ke alam pikir pria penebar senyum ini. Saya ingin tahu kedalaman "mesin" di balik cassing-nya itu.

"Lha ini Ibu Tantri maju mundur, maju mundur, maju mundur... membingungkan saya jadinya!"

Cukup kaget saya menerima kata-kata sambutan yang ditujukan kepada istri saya itu. Bukan sapaan ramah atau keramahtamahan orang-orang travel yang dibuat-buat sebagaimana biasa saya dapat. Pria ini menunjukkan "kegusaran"-nya, tetapi tentu saja gak pake hati. Tetap ada senyum lebar di wajahnya. Busana Bali sehabis upacara adat yang ia kenakan memperkuat keramahtamahannya dalam menerima tamu, dengan segala kelugasannya.

Istri senyam-senyum saja menerima semprotan selamat datang itu dan beralasan datang ke homestay ini karena mendadak, bahkan memesan satu kamar di homestay itu saat mendarat di Bandara Ngurah Rai.  Mobil jemputan datang sejam kemudian dan saat menunggu kendaraan kami berdua makan siang di resto ayam betutu "Gilimanuk". Dalam hati, ayam betutu saja sudah enak, apalagi ayam betete hehehe... 

Usut punya usut, ternyata istri sudah memesan homestay alias rumah pribadi yang disewakan beberapa pekan sebelum saya datang ke Bali ini. Tadinya bermaksud menginap 3-4 malam di Desa Ketewel, Sukawati, yang masuk Kabupaten Gianyar, tempat di mana Homestay Wayan Gunawan berada. Tetapi karena pengundang pelatihan, yaitu Danone Blogger Academy memberi fasilitas sampai 3 malam menginap, bli Wayan ini hanya kebagian satu malam saja.

Jujur, ini justru yang saya sesalkan. Saya ingin tinggal lebih lama. Jatuh cinta pada keramahtamahan Wayan Gunawan sekeluarga. Bukan karena murahnya sewa kamar dibanding hotel yang bedanya bagai bumi dan langit, melainkan keterbukaan dan keterusterangannya itu.

Ketika datang ke halaman rumah penduduk di Jalan Segara Madu No.7 itu, waktu sudah beranjak petang. Matahari senja di atas pasir hitam pantai belakang homestay yang sudah beroperasi sejak 3 tahun lalu itu sudah menanti. Segara itu tidak lain dari laut, jalan Segara Madu berarti laut yang manis bak madu.

Saya meminta kopi bali sebelum Wayan menawarkan. Secangkir kopi terhidang tak lama kemudian. Kopi yang  harum. Tapi karena airnya kurang panas dan hanya dari panas dispenser, rasanya kurang nendang bagi saya yang penyuka kopi sejati. Bagi saya, kopi tubruk itu airnya harus di atas seratus derajat celcius. 

Kami pamit untuk jalan-jalan ke belakang rumah, ke pantai berpasir hitam itu, setelah melihat prosesi ibadah keluarga Hindu yang jatuh setiap enam bulan sekali. "Kebetulan sekali Bapak dan Ibu datang tepat saat kami mengadakan upacara, jadi nanti boleh foto-foto," kata Bli Wayan tadi.


Saya dan mantan pacar (Foto: Wayan Gunawan)

Ada beberapa orang bermain pasir di sana. Anak-anak bermain layang-layang. Sepasang kekasih di bibir ombak asyik bermesraan, dunia seolah milik mereka berdua, yang lain cuma ngontrak saja. Keramahtamahan warga sekitar terasa dengan menyapa siapapun yang berpapasan. Puncaknya ketika akan mengisi perut di warung nasi, kami langsung mendapat penolakan.

Lho ramah kok menolak tamu? "Maaf, ini tidak halal, ga enak," kata pemilik warung, seorang Ibu beranjak paruh baya. Ibu itu langsung bisa mengidentifikasi bahwa kami keluarga Muslim dari busana muslimah yang dikenakan istri. Kalau ke saya mungkin dia mengira Kristen atau atheis, karena tak ada simbol religiositas apapun yang melekat di tubuh saat itu.

Nah, paham 'kan mengapa si Ibu menolak calon pembeli yang hendak makan soto di warungnya? Penolakan itu sebentuk keramahtamahan, keterusterangan, sekaligus ketulusan dalam memberikan informasi yang sebenar-benarnya. Tidak menipu asal dagangan laku.

Ternyata pada malam hari kami disuguhi makan. Di beranda berbentuk panggung atau rumah joglo, kami dan Bli Wayan berbincang-bincang, menghabiskan waktu jelang tengah malam, saat kantuk datang menyerang.

Saya memulai percakapan dengan bertanya tentang Hari Nyepi, sebuah ritual yang tadi sempat diceritakan Wayan sebagai keadaan atau suasana yang benar-benar berada di titik nol. Tidak ada cerita, tidak ada cakap, tidak ada cahaya, tidak ada aktivitas. Sepi. Itulah nyepi.

Tak lupa saya jelaskan bahwa saya pernah tiga kali berkunjung ke "kiblat"-nya para pemeluk Hindu, yaitu India. Di sana tidak ada Hari Nyepi di mana seluruh aktivias "lumpuh" atau lebih tepatnya sengaja "dilumpuhkan". Saya bertanya, "Bagaimana penjelasannya?"

Wayan Gunawan menjawab spontan, seperti tanpa harus dipikir lagi. "Itu budaya," kata suami Ni Komang Sulastri ini. "Nyepi itu tidak selalu identik dengan kegiatan ritual keagamaan. Kami, orang Bali ini, melakukannya sudah beradab-abad lalu bahkan mungkin sebelum para pendahulu kami mengenal agama Hindu."

Jederrrr.... kesadaran saya terpukul. Kantuk yang hampir menyerang buru-buru berlalu. Bukankah Nyepi di Hindu (Bali) dan Galungan (Buddha) sudah dianggap hari besar keagamaan dan jatuhnya hari pun sudah diliburkan, yang membuat anak-anak sekolah berteriak kegirangan karena tidak harus pergi sekolah?


Sarapan di Homestay  Wayan Gunawan (Foto: Tantri Sulastri)

Juga saya bertanya soal orang Bali yang tidak melarang sapi disembelih, yang oleh agama Hindu di India sangat diharamkan. Lagi-lagi Wayan menjawab, "Itu agama Hindu di India. Di sini (Bali) sapi boleh disembelih. Saya sendiri makan daging sapi, wow enak itu..." 

Wayan bercerita banyak tentang falsafah orang Bali, sementara saya cenderung mendengarkan saja. Sesekali bertanya seperti prospek "wisata syariah" yang ingin diperkenalkan di Bali. Wayan punya jawaban sederhana, tidak menolak atau mendukung. "Orang Bali itu tidak pernah ngurus orang," katanya.

Dia meminta kami jangan kaget jika ada artis ternama atau pejabat moncer Ibukota yang datang ke Bali cenderung "dicuekkin" oleh masyarakat setempat. Pun demikian turis asing berkulit "bule", "kuning" atau bahkan "item", orang Bali cenderung menganggapnya biasa, bukan sebuah kehebohan yang layak diteriakkan dan dirayakan. "Kami menganggap semua orang sama. Kami menilai orang dari ketulusannya, dari sikapnya yang santun dan welas-asih, bukan dari tampilan luarnya," kata ayah dari empat puteri ini.

Saya berpikir, atas sikapnya yang "ga ngurusin orang lain itu "boleh jadi membuat masyarakat Bali bisa menerima turis asing yang "mengobral" aurat di jalan-jalan raya, apalagi di Pantai. Kata Wayan, "Itu urusan mereka, bahkan kalau mau telanjang pun tidak kami urusi kalau mereka memang siap dicap gila." 

Barangkali dari pembicaraan singkat saya dengan Wayan ini menjawab pertanyaan mengapa wisata Bali sedemikian majunya dan sangat terkenal di seluruh dunia.

Rupanya keramah-tamahan masyarakat Bali yang terkenal ke seluruh pelosok itu mereka terjemahkan dengan sikap "ga ngurusin orang lain", cuwek, reseptif,  dan terbuka. Tentu saja bagi warga Bali bahwa "semua orang sama" itu sudah menjadi "iman" dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Love Bali!

***