Cinta Bete

Apa yang terjadi kemudian semakin menunjukkan kekuatan film ini. Meski nuansa Katholik kental dalam film ini, Cinta Bete tidak mengumbar ayat.

Kamis, 18 November 2021 | 07:15 WIB
0
212
Cinta Bete
Film Cinta Bete (Foto: jalantikus.com)

Sebagai penonton film kategori ‘asal nonton’ saya terus terang punya sedikit prasangka dengan film Indonesia level festival. Bagi saya film festival terlalu rumit, meski selalu dihiasi gambar-gambar yang super indah. Terlalu penuh semiotika. Orang biasa seperti saya jadi enggan menonton, karena tujuan saya ke bioskop bukan untuk mengisi TTS atau memecahkan teka-teki. Tentu saja selalu ada perkecualian untuk prasangka saya itu.

Film Cinta Bete termasuk yang saya kecualikan, meski film ini jelas-jelas kelas festival. Dalam FFI 2021 lalu, Cinta Bete mendapat 10 nominasi. Termasuk nominasi-nominasi mentereng seperti film terbaik, sinematografi terbaik, aktris dan aktris pembantu terbaik.

Awalnya saya mengira film ini bergenre pop, hanya karena ada kata ‘bete’ pada judulnya. Film abege. Ternyata Bete adalah nama tokoh di film itu. Sahabat saya kemudia menginfokan bila salah satu pemerannya adalah Djenar Maesa Ayu, salah satu penulis pujaan saya. Saya memutuskan untuk menontonnya dengan mantap.

Ternyata keputusan saya tidak salah. Dua hal yang saya takuti tak terjadi. Cinta Bete bukan film alay, dan bukan film yang memaksa saya memecahkan teka-teki sepanjang film. Sejak detik pertama film diputar saya sudah takjub pada gambar-gambarnya. Tentu ini sebenarnya tak mengherankan, karena Roy Lolang, sinematografernya, terkenal untuk sejumlah film berkualitas termasuk Ada Apa dengan Cinta.

Cinta Bete menampilkan keindahan Atambua bukan dalam keindahan yang lazim tentang Indonesia: pepohonan rimbun menghijau, nyiur melambai, tanah subur dan awan berarak. Seperti dalam lukisan-lukisan Mooi Indie (arti harfiahnya adalah Hindia Elok) aliran seni lukis yang berkembang awal abad 19, saat seniman Belanda mulai melukis lukisan-lukisan yang menggambarkan keindahan alam Hindia Belanda dengan tujuan menggencarkan pariwisata. Cinta Bete tidak seperti itu.

Atambua terlihat sebagai kawasan yang indah namun kering. Dengan warna-warna alam yang kekuningan, sinar matahari terik, serta rasa ‘kering’ yang menyiratkan hidup yang berat karena alam tak begitu bersahabat. Serangkaian gambar indah namun menyiratkan pedih.

Berkisah tentang kehidupan Bete Kaebauk (Hana Malasan), perempuan yang namanya berarti bulan sabit. Di awal tokoh Bete tampil sebagai remaja SMP yang naif dan ceria. Bersama temannya Emilio dan Yunus, serta dialog-dialog dengan ibunya, hidup seorang remaja bernama Bete belumlah terasa berat. Meski ada adegan mengambil air dari sumur yang jauh, serta rumah-rumah yang terlalu sederhana untuk ukuran kehidupan modern kita saat ini.

Gambaran Atambua yang belum tersentuh pembangunan. Saya mulai suka, karena salah satu kritik saya terhadap sinetron Indonesia dan beberapa film popular adalah terjebak untuk pamer kemakmuran dan gaya hidup yang tak realistis untuk ukuran masyarakat umum.

Ada adegan yang sangat saya sukai saat Bete bertanya pada ibunya, mama Clara (Djenar Maesa Ayu), apa rasanya menjadi ibu. Sang mama menjawab, “Seperti saat kau belajar menenun. Tanganmu terluka, sakit, tak selesai-selesai, namun akhirnya saat kau bisa hatimu Bahagia, dan semua rasa sakit hilang.” Kira-kira demikian dialog mereka. Dialog-dialog dalam Cinta Bete adalah kekuatan film ini. Dalam dan tidak dangkal.

Masalah mulai dibangun setelah itu. Bete yang mulai jatuh cinta pada Emilio, mulai pula berhadapan dengan masalah kehidupan. Cintanya pada Emilio terhempas karena Emilio memilih masuk seminari untuk menjadi imam, pastor. Selepas itu, Bete jatuh cinta pada Alfredo, dan hidupnya berangsur kelam. Demikian juga keluarganya. Hingga di puncak kepedihannya, Bete menjadi gila. Emilio yang hampir ditahbiskan menjadi pastor menghadapi dilema antara merawat Bete karena kemanusiaan, sekaligus memendam cinta.

Cinta Bete adalah film dengan latar budaya NTT. Permasalahan sosial yang digambarkan Cinta Bete mungkin masih terjadi hingga hari ini. Adat yang mengharapkan setiap keluarga memiliki anak laki-laki, hingga istri yang diminta segera kembali bekerja oleh suaminya hanya beberapa saat setelah keguguran. Budaya patriarki yang kuat.

Hubungan ibu dan ayah Bete juga dingin layaknya pernikahan yang lazim di sana saat itu. Pernikahan yang dibangun dari perjodohan. Bete remaja, dan kemudian saat dewasa memiliki pandangan berbeda. Ia seorang altruis, tulus tanpa pamrih. Ia memandang cinta harus mendasari suatu pernikahan. Berhasilkah Bete?

Inilah kekuatan film ini. Cinta Bete tidak terjebak untuk happily ever after ala Hollywood yang seringkali musykil. Tak mungkin dan tidak logis. Mendadak Elfredo pacar Bete ternyata anak orang kaya raya, misalnya. Lalu Elfredo bisa melamar Bete. Cinta Bete tidak pula berakhir duka, hingga membuat penonton misuh-misuh, udah beli tiket mahal, dapatnya nangis. Kalo mau lihat kegagalan hidup mah nggak usah repot-repot ke Bioskop. Sehari-hari biasa kita alami.

Cinta dalam film ini berhadapan dengan realitas kehidupan. Sedalam-dalamnya cinta antara Bete dan Elfredo, ketika berhadapan dengan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, berakhir dengan KDRT. Seperti juga sedingin-dinginnya hubungan ayah dan ibu Bete, kepatuhan pada nilai-nilai adat membuat pernikahan mereka bertahan.

Yang patut diapresiasi, nuansa Katholik yang kental dalam film ini tidak menjadikan film menjadi dogmatis. Tidak juga menjadikan film terlalu ekstrem dalam memaknai iman.

Emilio, tetap menjadi imam, betapapun dalamnya pergumulan dirinya menghadapi kenyataan ia mencintai Bete. Sekali lagi, film ini tak terjebak menjadi film dakwah.

Saat kakak perempuan Emilio bunuh diri, Emilio sangat terguncang terutama karena memikirkan arwah kakaknya tidak akan diterima Tuhan. Bete menghiburnya dengan mengatakan Tuhan tidak seperti itu. Penilaian Tuhan bukan kuasa manusia. Saya kira ini suatu keberanian dari penulis film ataupun sutradaranya. Mengangkat isu sensitif yang selalu menjadi perdebatan bagi orang beragama.

Ketika Bete gila dan harus dirantai, Emilio meminta orang tua Bete agar melepaskan rantainya. Sang ayah tidak berani karena Bete sering mengamuk. Berbeda dengan sang ayah, mama Clara justru meminta Emilio merawat Bete untuk mengobati hatinya. Mama Clara juga bersujud untuk mencium kaki Emilio, meski Emilio mencegahnya. Saya kira ini adegan paling mengharukan dalam film itu. Bagaimana kasih orang tua pada anaknya, membuat seseorang mau melakukan apapun demi anaknya.

Apa yang terjadi kemudian semakin menunjukkan kekuatan film ini. Meski nuansa Katholik kental dalam film ini, Cinta Bete tidak mengumbar ayat. Saat Emilio mulai merawat Bete di pastoran, dan ada begitu banyak penolakan atas apa yang dilakukannya, saya mengira film ini akan mengutip ‘Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa…’

Ternyata tidak. Meski kesuluruhan cerita selaras dengan semangat ayat tersebut. Merangkul mereka yang kesulitan, mereka yang tepinggirkan. Termasuk menerima keberagaman, seperti Emilio yang bersahabat dengan Yunus yang muslim. Akibatnya film tak terasa dogmatis, tidak mengundang resistensi dari mereka yang tak beriman Katholik.

Satu-satunya yang membuat saya bingung hanyalah, berlatar tahun berapakah film ini. Melihat jenis mobil yang ada, ditambah pemakaian kamera analog sederhana saat Emilio dan Yunus bertemu, membuat saya menduga film ini dimaksudkan berlatar belakang 20 tahun lalu. Ini masih ditambah gambaran syahdu saat semua orang ke gereja sembari mendekap Alkitab. Sesuatu yang kini langka karena kini semua mengakses Alkitab online.

Andai dugaan saya salah, dan ternyata latar cerita adalah jaman now, ini artinya Atambua, Indonesia Timur masih belum beruntung tersentuh pembangunan. Yang jelas film ini wajib dan layak tonton. Dan cukup pantas dibawa ke tingkat internasional.

#vkd