Piala Dunia Qatar 2022, Sepakbola Identitas, dan Buzzerokrasi

Kalau ditanya mengapa hanya Maroko yang disebut sepakbola identitas yang diframing secara negatif?

Senin, 19 Desember 2022 | 06:01 WIB
0
121
Piala Dunia Qatar 2022, Sepakbola Identitas, dan Buzzerokrasi
Tim Maroko (Foto: bola.net)

Maroko harus mengakui keunggulan gurunya, Perancis di semifinal Piala Dunia Qatar 2022 setelah kalah 0-3. Kekalahan bukan berarti kehilangan segala-galanya. Maroko masih meraih gains (keuntungan) berupa citra sebagai tim sepak bola berkeadaban.

Lihatlah saat menang tidak jumawa, apalagi merendahkan dan menghina lawan. Saat kalah tidak ngamuk . Menang kalah tetap melakukan sujud syukur di lapangan. Mencerminkan sikap narimo ing pandum (menerima apapun pemberian) Tuhan. Karena mereka meyakini semua yang terjadi di atas bumi itu bi idznillah (atas izin Allah).

Di tengah gegap gempita pesta pora sepak bola dunia, Maroko mengingatkan bahwa di belahan dunia lain masih ada tangis pilu rakyat Palestina yang menyayat hati karena penindasan, penjajahan dan aksi terorisme oleh Israel. 

Mengingatkan bahwa dunia harus berkeadilan. Barat selama ini tidak adil. Mereka sangat keras meneriakkan hak asasi manusia (HAM) tapi pada sisi lain tutup mata atas tindakan pembasmian etnis yang terjadi di Palestina. Barat meneriakkan perdamaian, tetapi di sisi lain terus merojoki Ukrania dengan utangan senjata untuk melawan Rusia.

Barat kencang meneriakkan perdamaian dunia tapi pada sisi lain mengobrak abrik Suriah. Menyerpih-nyerpih Yugoslavia hingga sekarang belum selesai. Mereka mengangkangi Irak, Libya. Membiarkan Israel memproduksi nuklir dan senjata pemusnah massal lain, sementara terus menghardik-hardik dan menfitnah Iran. “Barat munafik,” kata Presiden FIFA Gianni Infantino.

Maroko mencerahkan. Maroko mengingatkan. Maroko melakukan ajakan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar). Maroko memberi contoh bagaimana menjunjung tinggi sportivitas.

Maroko terkesan mengimplementasikan ajaran – minimal sejalan dengan - Albert Camus, filosuf Perancis, menjadikan sepak bola sebagai sumber nilai sportivitas. “Kalau mau mendapatkan sportivitas, belajarlah kepada sepakbola,” kata Camus yang mengawali kariernya sebagai filusuf justru dari sepakbola.

Seperti ditulis Wikipedia, sportivitas adalah nilai etis yang dijunjung sebagai prinsip bagi setiap insan olahraga untuk mengacu pada perilaku penghormatan, pengakuan dan toleransi hak-hak sesama insan olahraga yang menciptakan persaingan positif tanpa merugikan pihak lain atau tanpa berlaku curang, baik di dalam pertandingan maupun di luar pertandingan.

Lihat saja, bagaimana para pemain Maroko menyalami bahkan memeluk pemain Perancis yang mengalahkannya. Suporternya memang sedih tapi sebentar juga sudah ikhlas menerima kekalahan. Tidak seperti suporter Belgia yang ngamuk bakar-bakar. Kalau cuma bakar tales, suwek, ikan gak masalah. Yang dibakar mobil, toko.

Sepakbola identitas

Untungnya Qatar tidak termasuk negara buzzerokrasi, suatu sistem negara atau masyarakat yang dikendalikan oleh para buzzer. Sehingga peragaan sportivisme, sepakbola beradab, bahkan sepakbola dakwah Maroko tidak dijuluki “sepakbola identitas” yang diframing secara negatif.

Coba di negara buzzerokrasi, Maroko pasti akan langsung dihujat, dicaci maki, dibully, digayang, diharu-biru. Dibuat keder, kecut dan tersipu-sipu.

Kalau ditanya apa itu sepakbola identitas? Para buzzer pasti tidak akan mau menjawab. Entah pura-pura budek atau akan balik bertanya, “Lu siapa?”. Karena para buzzer itu memang tidak punya target ilmiah. Targetnya itu muntahan ucapannya bisa membuat orang lain sakit, marah, emosi atau takut. Buzzer itu tak beda antara ngomong dengan muntah dan meludah.

Target para buzzer bukan otak melainkan untuk menggelapkan hati orang lain karena buzzer sendiri bertindak dari gelapnya hati.

Kalau ditanya mengapa hanya Maroko yang disebut sepakbola identitas yang diframing secara negatif? Meskipun di Qatar setiap tim sepakbola membawa dan menjunjukkan identitas masing-masing. Para buzzer bisa dipastikan akan diam. Pura-pura budek. 

Yang demikian itu modus yang dipakai para buzzer memframing Islamphobia dengan istilah radikal, intoleran, teror. Teror pun juga macam-macam. Dang kadang teror asin, dang kadang teror penyet sambal trasi.

Para buzzer itu akan bungkam jika sudah diajak masuk pada kawasan ilmiah. Tetapi mereka akan terus berteriak-teriak. Mereka itu seperti burung gagak. Meskipun suaranya memekakkan telinga, tetap saja berkaok-kaok. Diamnya hanya saat asyik makan bangkai.

Rabbi a’lam (Tuhan Maha Tahu)

Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo

15 Desember 2022