In God We Trust

Ada beberapa teman yang menjadi agnostik, penganut deisme (theis). Tak lagi beragama tapi masih percaya adanya tuhan. Mereka tampak lebih manusiawi.

Minggu, 29 Desember 2019 | 10:20 WIB
0
348
In God We Trust
Timnas (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Semalam, Timnas Sepakbola Garuda U23 mengalahkan Myanmar dengan skor 4-2. Indonesia masuk final. Sesuatu yang entah sudah berapa puluh tahun tak terjadi dalam arena SEA Games.

Yang paling mengesankan tingkah Osvaldo Haay, penyerang Timnas U23 itu, setiap habis menceploskan bola ke gawang lawan. Usai selebrasi, Valdo juga memiliki kebiasaan selama berlaga di Stadion Rizal Memorial, Philipina. Ia berdiri dan tangan kirinya menunjuk ke sebuah gedung tak jauh dari stadion. Gedung tersebut cukup tinggi. Terlihat jelas tulisan (dari neon-sign) 'In God We Trust'. Pada Tuhan kami percaya.

"Kata-katanya bagus," ujar Valdo, penyerang tersubur dengan 8 goal, selama kompetisi sepakbola Asia Tenggara itu (kompasdotcom, 8/12). Ya. Dan kata-kata bagus itu tak ada dalam uang kertas rupiah kita. Melainkan di kertas uang dollar Amerika. Apakah dengan itu tingkat korupsi di AS lebih kecil dibanding di Indonesia? Atau sebaliknya? Karena banyak koruptor Indonesia lebih senang dollar AS. Kalau dalam mata uang Uni Emirat Arab? Mungkin takut dosa, apalagi ada tulisan Arab. Dikiranya kutipan ayat.

Dalam rangka bersih-bersih BUMN, Erick Thohir, semenjak jadi Menteri BUMN, selalu ngomong soal akhlak yang bagus. Akhlak bagus, adalah modal utama, dan sangat menentukan, apalagi dalam perombakan besar-besaran direktur dan komisaris BUMN. Akhlak lebih utama dari kualitas otak lulusan pendidikan tinggi luar negeri sekalipun.

Senyampang itu, Mas Menteri Nadiem Makarim acap menyampaikan statemen, pendidikan tinggi bukan jaminan karakter dan kapasitas seseorang.

Sebagaimana Bung Hatta pernah berujar; Kebodohan bisa diatasi, namun ketidakjujuran bukan barang mudah diperbaiki. Faktanya, pelaku korupsi di Indonesia merata, bahkan yang berpendidikan tinggi dan beragama tinggi (karena menganggap agama lain lebih rendah), plus bergaji tinggi pula.

Pendidikan dan agama, bukan jaminan akhlak mulia. Ghazali sendiri mengatakan tak ada jaminan kalau beragama berarti berakhlak mulia. Yang jualan agama, akhlaknya ambyar belepotan. Rasa kemanusiaannya jauh dari bumi manusia. Hanya ngomdo. Itu diam-diam yang mereduksi nilai agama. Mereka sebenarnya menistakan agama karena mendustakannya.

Untunglah, sebagaimana ujar John Lennon, kita percaya apa yang disebut Tuhan adalah sesuatu yang ada dalam diri kita semua, para manusia. Makanya meski nilai-nilai agama luntur, nilai religiusitas tidak.

Ada beberapa teman yang menjadi agnostik, penganut deisme (theis). Tak lagi beragama tapi masih percaya adanya tuhan. Mereka tampak lebih manusiawi. Mungkin mereka percaya pada pesan uang dollar Amerika itu, In God We Trust. Dan penganut Voltairianisme, dalam hal uang agama kita sama! Daripada sok suci, padal funamik! 

***