Joker [1]: Sebuah Review dan Analisis Psikologis, Awas Mengandung Spoiler!

Jangan sampai cuma fokus pada masalah dan kabut-kabut psikis, sampai lupa untuk fokus pada solusi adaptifnya juga.

Minggu, 6 Oktober 2019 | 19:23 WIB
0
1275
Joker [1]: Sebuah Review dan Analisis Psikologis, Awas Mengandung Spoiler!
Joker (Foto: Theverge.com)

Aku sudah nonton Joker tanggal 3 kemarin, sejak hari kedua filmnya dirilis. Maaf ya baru sempat nulis sekarang.

Konon, seorang motivator yang kemarin juga nonton film tersebut, berkomentar: "Arthur Fleck (Joker) disakiti jadi orang jahat. Bruce Wayne (Batman) disakiti jadi orang baik. Menjadi orang jahat atau baik itu pilihan".

Eh, gak begitu ya Bambaaaang. Itu lho yang bikin aku gak sreg sama banyak motivator, coach, trainer, atau apalah itu namanya. Mereka kerap oversimplifikasi sebuah fenomena.

Yang membuat Joker jadi Joker itu faktornya kompleks sekali, nggak bisa disederhanakan pakai komparasi dengan Batman semacam: "Batman kan juga disakiti oleh dunia? Kok outputnya beda sama Joker, hayooo?".

Dalam kata lain, kurang tepat menarik benang dari perbedaan tersebut dan hasilnya cuma berupa "kebebasan memilih/free will".

Memangnya kenapa, Fi?

Baiklah. Tanpa bermaksud membandingkan luka/trauma antar kedua tokoh fiksi itu (karena luka juga bukan faktor tunggal), Batman adalah keturunan tokoh yang punya reputasi amat baik di seluruh penjuru kota. Dia juga orang kaya, pendukung, pembela, dan kawannya bejibun. Satu-satunya luka traumatis (yang kemudian menginspirasi dia jadi Batman) adalah ketika orangtuanya meninggal ditembak.

Sedangkan...

Joker bahkan tidak tahu orang tuanya siapa. Perempuan yang seumur hidup dia panggil "Ibu", perempuan yang jadi harapan satu-satunya mengapa ia berjuang dalam hidup, belakangan diketahui bahwa dia ternyata "cuma" seorang perempuan psikotik-narsistik yang membiarkan pacarnya menganiaya anak pungutnya (Joker) sendiri.

Perempuan delusional itu, selain tidak mau jujur tentang realita, juga menanamkan pada Joker bahwa dia harus selalu tersenyum dan memasang wajah gembira, apapun yang terjadi. Kesedihan dan perasaan manusiawi lainnya tidak boleh punya tempat dalam hidup anak itu, sedikit pun. Put on a happy face!

Semua itu ditengarai jadi penyebab Joker merepress (memendam) semua emosi negatif dan pikiran negatifnya, menjelma jadi bom waktu dan gangguan mental macam-macam.

Joker punya psikotik (ditandai dengan merasakan/melihat sesuatu yang tidak nyata seperti hubungan dengan tetangga perempuannya), gangguan neurologis (yang membuatnya tertawa tanpa kontrol, di situasi yang berkebalikan dengan apa yang ingin dirasakannya), dan gangguan psikologis lain sehingga psikiater meresepkannya 7 macam obat psikotropika.

Joker itu dari awal memang "sakit". Batman tidak. Sudah sakit, ketrigger pula.

Coba Anda tanya psikolog dan psikiater manapun, gangguan mental seperti Joker itu memang harus mendapat terapi dan pengobatan.

Tapi, belakangan terapi dan pengobatan gratisnya harus dihentikan karena kota sedang krisis. Boom!

Baca Juga: Indonesian Joker

Joker ibarat drum isi bensin yang bisa langsung meledak begitu kena api sedikit. Bensin adalah "bakat/bawaan" jahatnya (dalam psikologi disebut trait) yang tidak mendapat pengobatan, dan apinya adalah kesialan bertubi-tubi berupa gangguan mental, kemiskinan, keterbatasan akses pada sumber daya, pembullyan, masyarakat yang tak peduli, miskin empati, rentan menyikut sana-sini, dan hobi meminggirkan sesamanya sendiri.

Semua keadaan itu memuncak jadi satu, sampai-sampai membuat pria sopan dan baik seperti Arthur berpikir bahwa, menjadi "Joker" mungkin adalah pilihan yang lebih masuk akal di dunia orang dewasa.  :)

Jadi jelas ya, Joker itu SIAPA?

**

Jadi untuk orang-orang labil, remaja galau, sobat-sobat depresi, dan korban-korban kejamnya hidup yang keluar dari bioskop langsung terinspirasi untuk jadi Joker ... Pertimbangkan matang-matang.

1. Joker mengalami dunia yang menghimpitnya dalam garis antara hidup dan mati. Dia tidak bisa kabur dari tubuhnya yang sakit maupun dari masyarakat yang sakit. Secara objektif, apakah hidup Anda minimal sudah sekritis itu? Ah, yang benar?

2. Joker adalah tokoh fiksi. Dia hidup dalam setting kota yang juga fiksi. Jangan dibandingkan dengan Indonesia dengan sistem hukum dan sosialnya yang sudah tertata. Kalau Anda mengikuti jejak Joker, ingin balas dendam, beneran melakukan kejahatan (apalagi kalau membabi buta/salah sasaran), paling-paling seperti ribuan manusia lainnya yang sudah lebih dulu melakukan itu... Anda cuma akan jadi penjahat kelas teri yang berakhir di penjara, atau minimal dijauhi lingkungan.

Dalam film, Joker bisa dengan mudahnya lolos dan didukung orang. Tapi namanya juga film. Jangan membuat harimau mengejar Anda kalau Anda tidak bisa mengalahkan kecepatan berlarinya.

3. Film tersebut memberi pembenaran untuk melakukan kejahatan. Tapi hati nurani kita tidak. Apakah kita mau bangun setiap pagi dengan rasa bersalah? Apakah kita mau punya perasaan "pantes kalau hidupku susah, aku kan cuma orang brengsek"? Apakah Anda yakin mau berubah jadi seseorang yang bahkan tidak Anda sukai?

4. Berbeda dengan di kotanya Joker, layanan psikologis dan pengobatan di Indonesia sangatlah menjamur, bahkan gratis dengan BPJS. Kalau Anda mau sedikit berusaha cari info, Anda akan tahu bahwa bantuan tersedia di mana-mana, dan bisa diakses siapa saja.

Kalau Anda punya masalah, daripada memilih jadi Joker, kenapa nggak memilih untuk sembuh? Lebih masuk akal kan? Coba dulu SEMUA terapi dan obatnya, sebelum bilang "udah deh jadi Joker aja, saya putus asa".

Jangan sampai cuma fokus pada masalah dan kabut-kabut psikis, sampai lupa untuk fokus pada solusi adaptifnya juga.

Salam sehat jiwa!

(Bersambung)

***

Afi Nihaya Faradisa