Tak (Akan Pernah) Ada Keajaiban dalam Sepakbola Indonesia

Yang harus kita lakukan adalah mengirim kaca pengilon bagi Ketua PSSI yang hyper-narsis. Untuk sedikit mau berkaca bahwa gambar pemain mestinya jauh lebih berharga daripada foto wajahnya.

Kamis, 30 Desember 2021 | 15:25 WIB
0
212
Tak (Akan Pernah) Ada Keajaiban dalam Sepakbola Indonesia
Poster tim Thailand dan Indonesua (Foto: Radar Cirebon)

Sialnya olahraga (dan terkadang seni budaya) selalu saja dianggap sebagai lahan terakhir di mana nasionalisme masih punya harga. Itu pun, jadi ironis karena argumentasinya selalu melulu romantisme basi dan emosinalitas yang wagu. Tapi bukankah memang demikian, makna nasionalisme di hari ini. Kita kadang merasa tiba-tiba teringat bahwa kita adalah sebuah "one nation". Tapi lebih sering lupanya daripada ingatnya.

Minimal dua atau tiga kali, olahraga dijadikan sebagai ajang unjuk nasionalisme itu. Yang selalu dibungkus dengan isu dan preferensi politik yang ngehek. Lebih buruk karena selalu diembel-embeli dengan slogan "hanya di masa Jokowi, kita bisa.....".

Sesuatu yang lucu, karena pembandingnya selalu saja era SBY yang pemerintahannya terbukti amburadul dan auto-pilot itu. Suatu masa 10 tahun yang akan kita kenang sebagai titik terendah bangsa ini. Justru ketika kita dalam situasi era damai yang sesungguhnya sikon ekonomi-politik sedang stabil-stabilnya.

Pertama, tentu saja event empat tahunan ASEAN Games 2018, yang sangat diuntungkan karena posisi kita sebagai tuan rumah. Meraup belasan medali emas, hingga kita berhasil mengulang prestasi event serupa pada di tahun 1962. Tidak istimewa sesungguhnya, karena yang akan selalu abadi diingat adalah keberhasilan kita menyelenggaraan seremoni pembukaan yang mewah dan spektakuler itu. Sebuah entertainment yang sangat mahal, yang dimungkinkan karena berapa biayanya pasti akan disedia.kan Tentu demi dan atas nama harga diri bangsa.

Tapi dalam kejuraan multi-event di tingkat Asia ini, prestasi utama kita tentu dalam cabor yang secara tradisi memang telah mengakar lama. Apa yang dalam bahasa teknis sport disebut sesuai postur, mental, dan kultur bangsa ini. Pencak silat misalnya, yang memang bertanah air di bari bumi kita sendiri. Aih, aih...

Kedua, dalam perhelatan badminton di event dua tahunan Thomas Cup. Setelah belasan tahun tak lagi meraih moment itu. Kita berhasil meraihnya, dan lagi-lagi mencuat dengan head-line di medsos: "Hanya di era Jokowi, Thomas kembali di bumi pertiwi."

Tak ada satu pun yang mempersoalakan kenapa, kita bisa unggul 3-0, tapi di partai terakhir pemain China tak bisa melanjutkan diri. Entah cedera, atau apa?

Kita tak pernah tahu, bagaimana akhir cerita bila ia mau melanjutkan. Tapi bagian paling ironik dari peristiwa itu yang luput dari kajian publik adalah peristiwa yang menyertainya. Banyak yang sangat terlambat menyadari bahwa ini adalah "kemenangan hadiah" yang harus dibayar secara natura jauh lebih mahal!

Tak lama setelah kemenangan Thomas Cup itu, tiba-tiba tersiar kabar bahwa pemerintah harus bersedia nomboki proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung sebesar 4,3 Trilyun rupiah. Angka yang sangat besar, apalagi bila dikaitkan dua aspek.

(1) Hal tersebut mengingkari janji Pemerintah untuk tidak terlibat dalam pembiayaan proyek prestisius yang sebenarnya terlalu mengada-ada itu.

(2) Parahnya suntikan dana itu justru dilakukan pada saat kondisi pandemi, dimana nyaris pergerakan masyarakat sedang berusaha dibatasi. Di tengah, molornya jadual proyek dan ketidak pastian kapan proyek ini akan berujung. Di tengah sisi gelap, perhitungan feasibility study yang tiba-tiba jadi serba salah itu.

Semahal itukah, bayaran sebuah prestasi sebuah event yang di zaman dulu kala kita pernah sedemikian mudah menghegemoninya. Sayang kita selalu abai dan memilih tutup mata dengan fakta sesungguhnya. Di depan maupun di sebaliknya...

Dan puncaknya, di hari-hari ini. Di sebuah turnamen sepakbola yang bahkan FIFA sendiri tak mengakuinya sebagai turnamen resmi. Tiba-tiba kita sedemikian berharap keajaiban itu akan datang berulang-ulang. Hanya dari sebuah hiburan, dengan huruf "h" kecil maupun "H" besar yang tiba-tiba akan dijatuhkan dari langit. Ketika, kita luweh sedemikian rupa bagaiamana kita bisa sampai ke titik puncak final turnamen tersebut. Hanya karena kita bisa menang melawan musuh bebuyutan Malaysia, lalu seolah terjadi "mestakung to be continue".

Semesta mendukung yang berulang! Padahal mestakung itu hanya sesekali, dan tak selalu bisa dibeli.

Kita lupa bahwa kita tak pernah bisa menang melawan Vietnam, negara kemarin sore yang tiba-tiba menjadi raksasa baru dalam kancah sepakbola Asia Tenggara. Bahwa kita bisa menang melawan Singapura yang hanya diperkuat 9 dan kemudian bahkan terakhir dengan 8 orang pemain.

Kita masih berharap, bahwa Thailand yang kita hadapi di final akan diperlakukan sama oleh wasit atau kalau pun tidak sedang tidak mood bermain.

Atau mereka mau memberi kita hadiah, sebagai penanda bahwa "hanya di masa Jokowi, bla bla bla..."

Tapi kekalahan 4-0 di leg pertama, menyadarkan kita bahwa tak ada keajiaban dalam permainan sepakbola. Kita bukan Denmark, yang cuma jadi negara pengganti namun malah jadi juara Eropa 1992. Atau Yunani, negara yang tak ada peta persaingan level atas sepakbola Eropa tapi nyatanya bisa mencurinya di tahun 2004. Mereka bisa melakukannya, karena sejarah panjang mereka sebagai suatu bangsa yang tercatat memiliki kontribusi besar dalam sejarah peradaban global.

Kita ini bukan bangsa Viking atau ras Sparta, kita ini hanya bangsa.....

NB: Sebuah fenomena menarik dalam final Piala AFF ini bagi saya adalah seorang pemain naturalisasi bernama Elkan Baggot. Seorang pesepakbola berusia 19 tahun, yang sedang menjalani training atau kalaulah pemain bukan yang reguler di klub Ipswich Town di Liga Championship Inggris. Ia digadang-gadang sebagai pemain masa depan Indonesia, karena berasal dari kultur kompetisi tertinggi di jagad raya.

Hal yang publik abaikan ia adalah seorang kelahiran Thailand, tetapi kenapa memilih memperkuat Timnas Indonesia? Ya karena kualitasnya sebenarnya tak bagus-bagus amat. Bahkan setelah resmi bergabung sekalipun, ia tak dipakai pelatih Sin Tae Yong. Ia hanya dijadikan pemain cadangan. Hal ini menggambarkan bagaimana timnas sepakbola Indonesia dikelola. Selalu menggunakan cara-cara instan, tetap dengan gaya grusa-grusu.

Mungkin yang harus kita lakukan adalah mengirim kaca pengilon bagi si Ketua PSSI yang hyper-narsis itu. Untuk sedikit mau berkaca bahwa gambar pemain semestinya jauh lebih berharga daripada foto wajahnya.

***