Dalam film sejarah, untuk membangun konstruksi tokoh, tentu bisa muncul beberapa bias. Sangat tergantung pada innamal a’malu binniyat wa bil proyek.
Salah satu kehebatan Teguh Karya, bisa kita lihat dalam karya film ‘November 1828’ (1979). Pada tahun yang sama, dibuat pula film ‘Janur Kuning, Serangan Umum 1 Maret 1949’ garapan Alam Surawidjaja. Mari kita bandingkan.
Meski berlatar Perang Jawa yang dahsyat (1825–1830), dengan sentral figur Pangeran Dipanegara, Teguh Karya sama sekali tidak menongolkan Sang Pangeran dari Tegalrejo itu. Dipanegara hanya disebut oleh tokoh-tokoh yang ada dalam cerita film itu, tapi sama sekali tak muncul secara visual.
Kalaupun divisualisasikan dalam gambar, dan menyebut bagaimana Dipanegara merebut kemenangan di beberapa tempat gerilya, hanya melalui narasi auditif. Hanya untuk menyertai gambar-gambar simbolik sebagaimana kita menonton gambaran dalam lembar wayang beber.
Yang justeru muncul dalam lakon film itu adalah Kromoludiro, tokoh fiksi, yang rumah beserta halamannya menjadi setting utama film itu. Yang lebih dimunculkan adalah drama perang batin tokoh-tokohnya. Kromoludiro, Letnan Van Aken, Jenderal de Borst, Demang Jayengrana, yang secara tragis disimpulkan dalam penutup film, lewat gerundelan Korporal Diroen. Tentang bagaimana nasib orang yang blas tidak memiliki karakter.
Keagungan Dipanegara hanya diwakilkan dalam sebuah adegan mesianistik melalui kemunculan panglima perangnya; Sentot Ali Basya Abdul Mustafa Prawiradirja. Serombongan pasukan berkuda menuju ke rumah Kromoludiro, yang dipakai markas tentara Belanda. Dengan angle gigantis, dan iringan musik besutan Franki Raden, meski Cuma seupil, tetapi menerbitkan rasa haru dan bangga.
Sebuah cerita film perang yang substil, meski oleh beberapa kritikus disebut dalam sebuah paradoks. Ada yang menyebut November 1828 film berbau kristen, namun ada pula yang menyebut sangat islam. Heran juga saya, waktu itu, membaca resensi atas film ini. Kok bisa? Di mana? Padal Teguh menyodorkan perang batin paling eksistensial dan universal, mengenai kesetiaan dan pengkhianatan.
Dan itu hanya terjadi pada November 1828. Tidak pada Oktober maupun Desember di tahun yang sama. Itu pun hanya terjadi di rumah dan halaman rumah Kromoludiro, di daerah Mbantul. Kromoludiro adalah roh dari film itu, yang akhirnya ditembak mati De Borts, karena tak mau buka mulut di mana persembunyian Dipanegara.
Sementara, dalam promosinya, meski bukan berjudul ‘Soeharto’, melainkan ‘Janur Kuning, Serangan Umum 1 Maret 1949’, dipromosikan film ini adalah film perang yang dahsyat. Alam Rengga Surawidjaja, memang dikenal sebagai sutradara film-film perang. Meski jika dibanding film ‘Pasukan Berani Mati’ (Imam Tantowi, 1982), secara teknis kalah canggih. Pasukan Berani Mati adalah film fiksi dengan setting cerita perang kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya pameran pemain papan atasnya, melainkan pameran teknis editing dan visual effect yang tak amat memalukan pada jamannya.
Tentu saya sejatinya tak mau membandingkan karya kesenian dua film itu. Tetapi saya hanya ingin ceritakan ; Bagaimana sebuah film yang berangkat dari ‘permasalahan’ dan yang berangkat dari ‘peristiwa’. Pendekatannya akan sangat berbeda, apalagi jika diselisik lebih jauh, niatan atawa orientasinya.
Teguh Karya dalam November 1828, sebagai seniman, lebih berbicara soal drama kemanusiaan, perang batin manusia. Pangeran Dipanegara, tokoh sentral dalam peristiwa Perang Djawa, hanya diambil sebagai setting ruang dan waktu semata. Teguh lebih fokus pada permasalahan yang muncul dari peristiwa itu. Tak ada gambaran visual Pangeran Dipanegara di situ, tetapi ia hadir sebagai bingkai peristiwa.
Mungkin Teguh Karya berguru pada Usmar Ismail, senior yang dikaguminya. Dalam film ‘Enam Djam di Jogja’ yang diproduksi selang dua tahun setelah peristiwa 1 Maret 1949. Usmar Ismail juga sama sekali tidak menongolkan tokoh-tokoh penting. Apakah itu bernama Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Panglima Soedirman, atau pun Letkol Soeharto.
Meski pun secara tersirat, di awal film Usmar Ismail memunculkan adegan seseorang (bernama Mochtar yang dimainkan oleh Raden Ismail), menyelinap masuk ke kraton Ngayogyakarta, dan kemudian dialognya dengan ibu kost. Di situ disebut-sebut ‘ngarsa dalem’, sebagai raja di mana rakyat tunduk dan menunggu perintahnya.
Sementara ‘Janur Kuning’, lebih asyik masuk pada peristiwa perang, di mana kita bisa lihat aksi-aksi heroik Soeharto yang sentral. Peristiwa perang demi peristiwa perang hendak menyodorkan satu agenda penting; betapa hebatnya Letkol Soeharto. Karena niatannya membangun sesosok hero, maka lebih dirasa sangkil dan mangkus dengan membangun plot, suasana, yang dimunculkan dari urutan peristiwa-peristiwa perang itu.
Tetapi endingnya, oleh komisaris penyiaran internal (yang dijabat seorang jenderal TNI AD, semua TV-Swasta ditongkrongi komisaris model ginian jaman Orba), draft naskah kami dibilang menghina sejarah. Karena konsep kami yang anti-hero, lebih menonjolkan bagaimana rakyat jelantah bereaksi terhadap euforia kemerdekaan, dalam situasi chaostic, dituding menyingkirkan peranan militer. Wassalam.
Dalam film sejarah, untuk membangun konstruksi tokoh, tentu bisa muncul beberapa bias. Sangat tergantung pada innamal a’malu binniyat wa bil proyek. Lihat film-film yang bersumber pada tokoh macam Soekarno, Guru Bangsa Tjokroaminoto, Soegijo, Sultan Agung, Sang Pencerah, Sang Kyai, Kartini, atau pun bahkan Gie, yang konon skenarionya diangkat dari diary Gie sendiri.
Soal innamal a’malu tadi, bisa berpengaruh pada independensi dan kreativitas seniman. Itu bisa sangat terasa bagaimana ketika Eros Djarot membuat film Tjut Nja’ Dhien (1988). Sebuah karya seni, akan sangat dipengaruhi antara niatan dan capaian-capaian yang digagasnya. Tentu saja, kita bisa melihat dari hasil akhirnya. Tak ada hubungan dengan cost-production, kecuali lebih pada soal penyikapan seorang seniman. Soal teguh dan tidak teguh dalam karyanya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews