Film "Gundala", Lukanya Batin dan Elo Rating Djoko Anwar

Fatsun yang ditawarkan dari film ini, super hero sebagai patriot juga tetap manusia. Punya kelebihan dan kekurangan. Dan siapapun kita, tetap terbuka peluang menjadi patriot.

Selasa, 10 September 2019 | 07:27 WIB
0
974
Film "Gundala", Lukanya Batin dan Elo Rating Djoko Anwar
Gundala (Foto: Detik.com)

Ada sesuatu yang tersembunyi di balik film Gundala karya terbaru sutradara Joko Anwar, padahal hal tersembunyi itu sesuatu yang penting. Oleh sebab itu, untuk dapat “membaca” film ini secara utuh, sesuatu yang tersembunyi tersebut perlu dinukilkan dan dibeberkan.

Sebagian besar penonton film Gundala akan melulu melihat film ini merupakan sebuah film penuh kekerasan fisik. Ini tidak salah. Dari awal sampai akhir film memang berisi kekejaman dan kekerasan: penganiayaan, siksaan, perkelahian dan pembunuhan.

Kendati demikian, di balik begitu banyak kekerasan fisik, sebenarnya, film ini juga merupakan film kekerasan bantin yang sangat mengiris dan menyayat. Justeru kekerasan batin inilah yang dihadirkan lebih luluh lantak, dan dari kacamata ini, luka batin yang sedemikian nyerinya, lebih “memukul” dan lebih “mengerikan” dibanding dengan berbagai kekerasan fisik yang menyertainya.

Sejak kecil Sancaka ( Muzakki Ramdhan) hidup dalam luka batin yang dalam. Jiwanya mengalami teror kekerasan yang luar biasa. Ayahnya (Rio Dewanto) yang dijadikan panutan, selalu mengajarkan,”Kalau ada ketidakadilan dan kita diam saja, kita bukan manusia lagi!”

Nilai-nilai yang ditularkan dari “idolanya” ini, bersemayam kuat di hati Sancaka kecil. Di lain pihak, Awang (Faris Fadjar), yang menolong dan menyelamatkan nyawanya, justeru mengajarkan sebaliknya. ”Loe jangan suka ikut campur urusan orang lain, nanti loe jadi susah.”

Dua “filosofi” yang bertentangan diametral ini, hidup mengoyak jiwa Sancaka. Jiwanya digedor-gedor dengan siksaan, sehingga dia menjadi manusia yang labil. Ini membuat selama hidup Gundala (Abimana Aryasatya) atau Sancaka dewasa, lebih menyiksa ketimbang hajaran fisik yang menerpanya.

Sebelumnya, jiwa Sancaka sudah lebih dahulu dihajar kekerasan. Dia melihat dengan matanya sang ayah terbunuh untuk membela kawan ayahnya, yang sebetulnya tanpa difahami ayahnya, tapi Sancaka dan ibunya mengetahui, justeru menghianati perjuangan buruh. Waktu itu, bukan fisik Sancaka yang terkena kekerasan, melainkan fisik ayahnya, bahkn sampI tewas, tapi batin Sancakalah yang terhantam kekerasan dahsyat.

Kekerasan jiwa berikutnya dialami Sancaka sewaktu ditinggal ibunya (Marissa Anita). “Waktu kamu pulang sekolah nanti, ibu sudah siapkan makanan,” kata ibunya sebelum pergi. Janji seorang ibu kepada anaknya adalah kekuatan jiwa, tapi tatkala tidak ditepati, janji itu langsung bermefora menjadi bom yang merusak jiwa sang anak untuk waktu yang panjang, bahkan tidak dapat diobati lagi seumur hidup.

Gundala kecil mengalami penderitaan ini. Dia begitu mencinyai ibunya, tetapi diam-diam dia sekaligus. juga mendendam kepada ibunya yang dia rasa sengaja pergi dan membuatnya seperti sebatang kara “Dia meninggalkan saya!” katanya kepada Wulan (Tara Basa ) kenalan perempuannya, mengungkapkan lubuk hatinya. Rentetan peristiwa itu menjadikan jiwanya dibuat meleleh hancur. Batinya dibuat luka mendalam. Ini kekerasan batin. Inilah lukanya luka batin.

Setelah mengalami kekerasan terhadap jiwanya itulah Sancaka menghadapi serangkaian kekejaman dan kekerasan fisik. Kombinasi kekerasan terhadap jiwa dan terhadap fisik menjadikan penderitaan yang sempurna bagi anak manusia, dan itu yang terjadi pada Gundala. Dengan demikian, sebenarnya, selain menyuguhkan kekerasan fisik, film berdurasi 123 menit ini secara paralel juga menampilkan persembunyian kekerasan terhadap jiwa-jiwa anak manusia yang kemudian diikuti berbagai kekerasan fisik.

Tabiat Pengkor (Bront Palarae) , misalnya, bermula dari rasa sakit jiwanya diperlakukan dengan sadis di Panti Asuhan. Dari jiwa yang digajar kekerasan waktu kecil, kemudian Pengkor tumbuh menjadi manusia yang sadis dan licik. Kekerasan terhadap jiwa atau batin yang melebihi kekerasan terhadap fisik yang tersembunyi inilah yang nyaris tak “dibaca” oleh penonton kebanyakan.

Jalannya Kisah

Kisah berasal dari perjuangan Ayah Sancaka sebagai tokoh buruh. Dia dikhianati sesama buruh, lantas terbunuh dalam sebuah kerusuhan waktu demonstrasi buruh melawan pasukan para pengusaha. Kemudian untuk mencari penghasilan, ibu Sancaka harus terpencar dari anaknya, dan jadilah Sancaka anak jalanan sebatang kara.

Berumah atap langit, Sancaka mulai menjalani beratnya kehidupan jalanan. Sancaka bukan hanya melihat dan mengenal kekerasan jalanan, tetapi juga langsung mengalaminya. Dia hidup di dikejar-kejar dan dianiaya kelompok-kelompok anak jalanan. Masih beruntung dia ditolong oleh Awang, padahal Awang inilah yang mengajari Sancaka untuk tidak ikut campur urusan orang lain, kalau tidak mau jadi susah.

“Terus kenapa kamu mau menolong saya dong?” tanya Sancaka kepada Awang.
“Iya karena itu, hidup gue bakalan jadi menghadapi kesulitan,” jawab Awang.

Setelah besar, Sancaka yang kemudian menjadi Gundala harus berhadapan dengan Pengkor, big bos mafioso yang kejahatannya juga merangsek ke dalam dunia politik. Ketika kecil Pengkor masuk panti asuhan yang pemiliknya luar biasa begis. Dari sana Pengkor sudah terlihat memiliki kepemimpinan yang kuat, tetapi sekaligus kesadisan dan kelicikan luar biasa. 

Pengkor mempimpin pemberobtakan terhadap pemiliki Panti Asuhan. Lalu sebagai balas dendam, Pengkor mengatur, pemilik panti asuhan disiksa. Belakangan semua anak panti asuhan dijadikan pasukannya. Kelak Pengkor melalui kaki tangannya menguasai dunia hitam, termasuk politikus hitam.

Gambar kuat dan matang

Melalui film yang diangkat dari karya komik Hasmi Suraminata yang terbit tahun 1969, sutradara Joko Anwar, memproklamir diri, bagi dirinya masalah teknikal filmis atau sinematografi bukan lagi persoalan, dan dia sudah dapat memakainya sebagai alat mencapai tujuan estetiknya. Adegan dan rangkian adegan ditata dengan apik: kuat, konsisten, pengambilan sudut kamera yang “indah,” sekaligus sering juga menawarkan “filosofis” menarik.

Adegan Sancaka setelah menendang rantang dan beberapa saat kemudian merangkak memegang-megang makanan yang diambil dengan angel atau sudut pandang dari belakang atas, bukan sekedar memperlihatkan dirinya sangat lapar menunggu hidangan yang dijanjikan sang ibu yang tak kunjung datang, tapi sekaligus juga simbolisme betapa itulah “nasib” sang anak kelak: tertatih-tatih dan terhina dina menghadapi kesulitan hidup, dan hanya dengan jalan luar biasa baru dapat survive.

Pengambilan gambar dari belakang ketika Sancaka keluar dari rumah dengan latar pabrik dengan peralatan yang bulat menjulang juga menggambarkan kontras lingkungan di situ. Pabrik berdiri gagah perkasa, tetapi sementara itu di lingungan sekitar tempat tinggal para buruh yang begitu sederhana. Lewat satu gambar ini saja sudah cukup menjelaskan mengapa terjadi keresahan kaum buruh. Tak perlu lagi banyak “cing-cong” dengan berbagai dialog atau adegan yang bertele-tele. Sebuah pilihan yang dari segi gambar menarik tetapi dari segi rangkaian cerita juga sangat efektif.

Demikian pula pengambilan gambar Sancaka melihat suatu periswa dari balik sebuah jendela kecil, itu tidak sekedar menunjukan dia melihat berbagai kekerasan sendiri dari situ, namun juga dapat ditafsirkan, bagaimana kita memberi makna kepada kehidupan dan penghidupan kita, tergantung dari kesempatan sudut pandang hidup yang kita punya. Semakin lebar dan luas pandangan kita terhadap suatu peristawa, semakin besar pula kemungkinan kita mendapat pilihan hidup yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara semakin kecil sudut pandangnya, semakin sedikit pula kesadaran kita tentang adanya sudut pandang lain.

Sancaka semula hanya melihat dari luasan jendela kecil, kemudian hidupnya juga terombang-ambing dalam nilai-nilai yang “ekstrim” yang bertentangan dan mengepungnya: membela keadilan sebagaimana diajarkan ayahnya, atau pikirlah keselamatan diri sendiri dan jangan ikut campur urusan orang lain seperti ujaran Awang. Pilihan sulit ini karena Sancaka hanya terdidik lewat dua jendela pengelihatan kecil yang ekstrem berdasarkan pengalaman hidupnya.

Film Gundala juga cukup banyak menghadirkan adegan lari. Dari mulai Sancaka kecil dikejar-kejar, juga ada maling yang lari dikejar kelompok masa, atau ketika Gundala lari sendiri, sampai Sancaka harus berlari sekuat tenaga mengejar Awang untuk dapat ikut naik kereta.

Adegan-adegan ini memang diperlukan untuk kelengkapan cerita. Itu yang kasat mata, tetapi secara tersirat, banyaknya adegan lari dapat juga diartikan dalam kehidupan dan kehidupan kita, peristiwa demi peristwa datang dan pergi cepat silih berganti. Kita harus mampu move on. Harus siap untuk berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain. Kita harus secara sadar selalu mampu lari memasuki tantangan baru.

Dari tafsir ini, adegan Sanca berlari-lari dan tangannya tak manpu mengapai tangan Awang yang sudah lebih dahulu berada di atas kereta, bukan cuma sekedar adegan tegang Sancaka berupaya mengejar untuk dapat ikut Awang, tetapi juga bermakna terlepasnya satu episode kehidupan Sancaka dan dia harus masuk ke episode kehidupan baru. Dia tidak dapat tinggal diam dalam keadaan yang lama. Dia harus lari, lari dan lari menyongsong kehidupan baru.

Semua simbolisme seperti itu ditampilkan menyatu dalam satu kesatuan film, dan dengan satu tarikan nafas unsur cerita. Lari di film ini bukan sekedar hiasan pemanis film, namun “dibaca” sebagai salah satu pesan film juga: kita harus selalu siap berlari, berpindah dari satu situasi dan kondisi ke satu situasi dan kondisi lainnya, baik fisik maupun pikiran. Tanpa kesiapan ini kita bakal digilaa zaman.

Pada film Gundala sutradara lulusan ITB jurusan teknik penerbangan ini mendemonstrasikan, dia tidak hanya terampil secara teknikal, sesuatu yang sampai kini tetap masih menjadi masalah buat banyak sutrada kita lainnya, tetapi telah pula sampai pada pendakian estetika film. Joko mengendalikan film dengan batu ukur yang ketat, kuat dan menarik. Dia mampu membetot konsentrasi penonton dari awal sambil akhir untuk terus memelototi film.

Dengan begitu, lewat film ini Joko yang saat ini berusia 43 tahun, memproklamir diri masuk ke dalam daftar sutradara Indonesia, meminjam terminologi dari dunia olah raga, “peringkat super” dengan “elo rating” sangat tinggi. Demikian pula meminjam istilah manajemen, Djoko mencapai KPI ( kay performe index ) yang juga sangat memuaskan.

Kritik Sosial

Kendati ini film kekerasan, tetapi Gundala juga tak lupa sengaja menghadirkan kritik sosial. Adegan petugas pembagi obat buat ibu-ibu hamil yang dapat disogok oleh orang tertentu, mengambarkan realitas sehari-hari masyarakat kita yang masih mudah disuap dan itu dipandang hal biasa. Disini Joko seperti menyindir kita, tanpa kita harus marah menghadapi sindiran itu.

Banyak perilaku anggota parlemen yang dikendalikan melalui “remote control” oleh orang yang membiyaianya masuk jadi anggota parlemen, juga merupakan kritik kepada kehidupan politik kita. Cuma segelintir anggota parlemen yang benar-benar bekerja berdasarkan hati nuraninya. Selebihnya cuma memperhitungkan kepentingan diri dan kelompoknya atau orang yang membayarnya, tanpa peduli dengan kepentingan rakyat yang diwakilinya.


Joko Anwar, sang sutradara (Foto: insertlive.com)

Kritik sosial ini sebenarnya keras, namun lantaran penyampaiannya sebagai bagian dari cerita, kita dapat menerimanya tanpa menggerutu. Kritik itu berbilang sebuah sikap yang sangat keras, tetapi dibalut fleksibilitas yang sangat luwes, sehingga terasa sebagai teguran yang menyegarkan. Adanya kritik sosial ini, meskipin sangat minim, membuat film tak melulu menjual adegan kekerasan melainkan juga menyentil kita secara halus. Hal ini perlu dicatat pula sebagai salah satu point lebih dari film ini.

Skenario yang ditulis sendiri oleh Djoko Anwar memang kuat. Alur cerita, permasalahan dan karakteristik Gundala memungkinkan menjadi karya film yang menarik. Meski memang benang merah film ini tetap sama dengan komik Gundala karya Hasmi, namun terdapat sejumlah penyesuaian latar belakang dan karakter tokoh. Djoko Anwar berhasil memadukan penyesuian dari komiknya itu dengan lancar dan rapi.

Sebelumnya tahun 1981 dari komik yang sama juga pernah dibuat dibuat film dengan judul Gundala Putra Petir disutradarai Lilik Sudjiu dengan bintang aktor kenamaan saat itu, Teddy Purba (Sancaka), Ami Prijono (Profesor Saelan), Anna Tairas (Minarti), dan W.D. Mochtar (Gazul). Versi film pertama bercerita tentang Sancaka dan Profesor Saelan yang berhasil menemukan serum antimorfin. Mendengar hal itu, Gazul, bos sindikat narkoba, menculik dan meminta mereka menciptakan heroin sintetis. Kemudian, Sancaka akhirnya berubah menjadi Gundala dan memberantas kejahatan Gazul dengan kekuatan petir.

Pada film pertama kostum Gundala masih berwarna biru dengan kuping abu-abu dan sarung tangan merah. Film yang masih dibuat dengan sistem pita seleloit itu juga menampilkan banyak aksi laga. Nah, skenaro Djoko Anwar berhasil keluar dari imaji-imaji film Gundala pertama dan membentuk kisah dan karakter sendiri.

Peran editor ( Dinda Amanda) sangat terasa pada film ini. Naik turun dramaturgi film disusun dengan apik. Penyambungan adegan sangat lancar dan tepat sasaran. Dengan begitu, irama film dan kelangsungan tetek bengek adegan dapat tersusun rapi dan buntutnya tentu saja “sedap” dinikmati.

Tentu tak perlu diragukan, di belakang itu, kemanpuan penata kamera ( Ical Tanjung) menghadirkan gambar-gambar “bersih,” dengan pelbagai angle yang menarik, menjadi salah satu dasar kekuatan film ini. Gambar tak hanya “bagus,” tapi juga memberikan arti.

Kekuatan Akting

Joko Anwar pada film ini menunjukan pula kekuatannya menggarap akting para pemain filmnya. Pada kebanyakan film Indonesia, fokus sutradara biasanya hanya tertuiu kepada akting beberapa pemainya saja, terutama pemain-pemain utama atau pemain “kesayangannya” saja. Walhasil, sering kali kita melihat pada sebuah film nasional, akting segelintir tokoh utamanya bagus, tetapi sebagian besar lainnya “kedodoran,” sehingga menciptakan semacam “disparitas” alias kejomplangan akting antara pemain pada satu film. Hal itu jelas sangat mengganggu. Pada film Gundala, Joko terhindar dari hal semacam itu. Semua pemain, dapat diarahkan menampilkan akting yang sesuai tuntutan cerita.

Peran Sancaka kecil dapat dibawakan dengan penjiwaan anak kecil yang penuh penderitaan secara pas. Tidak lebai tapi juga tidak under atau lesu. Peran ini dilanjutkan dengan baik pula oleh Gundala sebagai Sancaka besar. Ekspresi Gundala yang “dingin” lantaran pergumulan batinnya selama ini, berhasil memberikan tafsir yang cocok.

Simak juga akting Pengkor. Nilai-nikai kepalsuan dan kebengisan hadir dengan gesture dan mimik yang kuat. Kemunculannya pada setiap adegan langsung sangat terasa pengaruh katakteristik yang sadis, diliputi dendam dan bermuka licik penuh tipu daya. Pembawa peran Pengkor menjadikan musuh Gundala sangat berarti mewarnai film.

Tak hanya itu gerakan-gerakan perkelahian pun ditata dengan baik. Sebagai karateka, bagi saya, kentara sekali tendengan, pukulan, menyerang, menangkis, mengelak dan sebagainya, aliran bela diri manapun yang dipakai, dilakukan dengan gerakan-gerakan benar, tidak sekedar apa adanya. Ini bukan lantaran sejak kecil Djoko sudah senang menonton film-film laga, atau karena dia sendiri bertubuh tinggi besar (181 cm), tapi memang setiap adegan laga perkelahian digarap dengan serius dan cermat.

Dalam hal ini, seperti pentingnya tarian dalam film musik, sebagai film dengan banyak laga kekerasaan, penaatan gerak bela diri menjadi sangat perlu ditata secara benar dan rapi, agar memberikan gambar yang “wajar,” bukan asal-asalan. Joko Anwa cermat soal ini.

Posisi Patriot

Apapun definisi “super hero” sebagai patriot, ada satu benang merah: mereka mengabdi kepada kemanusiaan. Masalahnya, ternyata “track record” para super hero seperti Gundala tidak selalu berlangsung linier tanpa tertempel lika-liku berbagai faktor kelemahan manusia. Super hero sebagai patriot bukan manusia yang bebas perasaan, keraguan dan pertimbangan kepentingan pribadi. Mereka bukan malaikat suci tanpa perasaaan.

Ada saat-saat mereka ragu bahkan menghindar dari kewajiban membantu sesama. Juga ada kala mereka kalah dalam bertarung. Gundala juga tidak terlepas dari hal itu. Baru pada babak akhir Gundala sadar pentingnya membela kemanusiaan dan kebenaran, terutama setelah Ridwan Bahri (Lukman Sardi) seorang anggota parlemen yang masih punya nurani, berujar kepada Gundala,” Negara membutuhkan patriot seperti Anda!” Potongan kalimat inilah yang kemudian dijadikan slogan untuk film Gundala.

Fatsun yang ditawarkan dari film ini, super hero sebagai patriot juga tetap manusia. Punya kelebihan dan kekurangan. Dan siapapun kita, tetap terbuka peluang menjadi patriot. Siapapun kita, yang penting terakhirnya kita sadar harus membela kemanusiaan dan kebeneran, dengan segala resikonya. Membela kebenaran dan kepentingan publik jauh lebih penting dari yang lain.

Disi nilah manakala Menteri Keuangan Sri Mulyani memuji film Gundala dari perspektif persaingan internasional, hal itu dapat kita pandang bukan sekedar basa-basi untuk menyenangkan dan menyejukan perfilman Indonesia. Penilaian Sri Mulyani yang menyebut Gundala merupakan film berbasis konten lokal dengan kualitas global, memang demikian adanya.

Wina Armada Sukardi, Kritikus Film

***