Separuh Penduduk Dunia Serempak Bersorak

Tak heran aneka pertandingan final sepak bola dunia juga menjadi ajang bisnis. Di manapun ada bisnis, mafia datang. Semakin besar bisnisnya, semakin canggih jaringan mafia.

Minggu, 11 Agustus 2019 | 08:47 WIB
0
445
Separuh Penduduk Dunia Serempak Bersorak
Brasil Juara (Foto: rtl.fr)

Sebuah list dipublikasi soal event yang paling banyak ditonton dalam sejarah. Karena skalanya dunia, dengan sendirinya event itu ditonton terbanyak melalui televisi. Terdapat 14 event yang ditonton oleh lebih dari tiga milyar manusia.

Enam dari 14 event itu pastilah terdapat Final Piala Dunia Sepak Bola (World Cup). Bahkan enam final World Cup masuk dalam list, sejak di Perancis di tahun 1998, Korea dan Jepang 2002, di Jerman tahun 2006, Afrika Selatan 2010, Brazil 2014, hingga Rusia 2018. Puncak jumlah penonton World Cup terjadi di Rusia, 2018. Total yang menonton sebanyak 3,5 milyar.

Di tahun 2018, total populasi dunia sebanyak 7,5 milyar. Bisa dikatakan, event final World Cup, Piala Dunia, rata rata ditonton hampir oleh separuh penduduk dunia.

Ketika penyerang Mbappe dari Perancis di final piala dunia di Rusia, 2018, pada menit ke 65, menendang bola masuk ke jaring lawan, Croatia, yang berguncang tak hanya puluhan penonton di stadium itu. Tapi berguncang pula tiga milyar manusia. Berguncang pula penduduk dari lebih seratus negara. Mereka berguncang pada detik yang sama, yang menonton goal itu dari televisi.

Karena begitu banyaknya manusia berguncang dalam momen yang sama, siapa yang menduga? Bumi ikut pula berguncang, sebagaimana yang diukur oleh sensor geologi.

Begitu hebatnya daya sihir World Cup. Betapa serunya pesona Final Sepak Bola.

**

Tahun 2014, final sepak bola berlangsung di Rio de Janeiro, Brazil. Untuk World Cup, tak ada negara yang lebih istimewa dibandingkan Brazil. Negara itu satu satunya yang pernah juara lima kali sejak World Cup berlangsung di tahun 1930.

Negara ini juga melahirkan Pele. Hingga hari ini, Pele tetap dianggap pemain sepak bola terbesar sepanjang sejarah. Ia satu satunya pemain yang mempersembahkan tiga piala World Cup bagi negaranya.

Di tahun itu, saya sengaja berkunjung ke Brazil, ke Rio de Janeiro. Dua anak saya, dua duanya penggemar bola, hingga taraf yang militan. Saat itu, usia anak saya yang paling besar 14 tahun. Yang kecil 12 tahun. Sudah lama kami berencana ke Brazil, menonton final.

Namun pat gulipat terjadi. Saya pun terseret masuk dalam mafia penjualan tiket World Cup itu. Saya masih terkenang-kenang ketegangan momen tersebut.

Sejak enam bulan sebelum final, di Jakarta, saya sudah memesan tiket final World Cup melalui agen parawisata besar Indonesia. Agen ini membeli tiket tersebut secara online. Agen itu pula yang mengatur perjalanan, mulai dari pesawat dan hotel. Ia agen langganan saya setiap tahun perjalanan.

“Sudah beres pak,” ujar perwakilan agen. “Nanti 3 hari sebelum final, tiket akan diantar langsung oleh penjual ke hotel tempat bapak tinggal.” Itu dijanjikan pada saya.

Kami pun ke Rio de Janeiro, Brazil, tinggal di Hotel yang sudah direncanakan. Namun tiga hari sebelum final hingga malam sebelum final, tiket tak kunjung tiba. Berkali- kali, saya menelfon agen di Jakarta. “Mengapa berbeda dengan yang dijanjikan?”

Saya melihat dua anak saya diam, cemas, marah dan kecewa. Jauh- jauh dari Jakarta datang ke Brazil. Sayapun mulai tanya ke sini dan ke sana. Jika tiket final benar- benar tak datang, apakah ada alternatif lain untuk melihat final itu? Apakah ada taman dengan layar besar, misalnya.

Hingga pagi hari, di hari Final, tiket tetap tak datang. Sementara tinggal tersisa empat jam lagi sebelum kami harus bergegas ke stadium.

Saya mulai menelfon agen di Jakarta dengan nada keras. Saya minta ia cari segala cara agar saya dan keluarga bisa menonton final. Saya sudah membayar semuanya bahkan lunas enam bulan sebelum acara.

Agen di Jakarta dengan gagap dan merasa bersalah berjanji. “Mohon maaf pak. Kami mungkin ditipu oleh penjual tiket online itu. Nomornya tak lagi bisa kami kontak.”

Saya kaget. Setengah membentak saya berkata: “Ampun, carikan solusi. Jika tidak saya akan meminta agenmu mengganti semua biaya saya yang sudah keluar. Plus harus diganti pula kekecewaan dua anak saya.” Respon agen, “Baik pak, kami cari solusi. Setengah Jam lagi bapak kami telefon.”

Setengah jam kemudian, agen di Jakarta memberi nomor telefon untuk saya kontak. Saya tanya, “ini nomor siapa?” Agen menjawab, “Itu nomor mafia tiket di sana.” Saya bertambah kaget: “ Ha? Saya tak mau berurusan dengan mafia. Niat saya hanya menonton bola! “

“Tidak pak. Itu bukan mafia seperti di film. Itu cuma istilah saja. Tapi mereka menguasai jaringan tiket final sepak bola di sana.” Ujar agen lagi, “Silahkan bapak tawar menawar harga. Nanti kami mengganti biaya bapak.”

Saya pun mengajak anak saya yang kecil, berdua saja ke sana. Kami jumpa pemilik HP di satu tempat. Lalu ia mengajak kami jalan kaki lima menit, hingga masuk ke apartemen agak tersembunyi.

Di ruang apartemen itu, ada beberapa orang yang bekerja di depan komputer, di beberapa ruangan. Anak saya menunjukkan ke saya kursi di ujung ruangan. Ada pistol di sana. “Wah, ujar saya dalam hati. Apakah ini mafia beneran?

Lumayan alot, tawar menawar harga terjadi. Harga menjadi dua kali lipat dibanding harga tiket yang sudah saya pesan. Mereka pun meminta dana cash. Tak ingin ada bukti transfer. Saya katakan, saya punya kartu kredit kok. Mereka ngotot minta cash keras, tunai. Jika tak ada, tak usah, ujar mereka.

Saya menelfon kantor di Jakarta. Akhir kata, tiket alternatif pun dapat. Tetap di kelas VIP. Bahkan menurut penjual itu, ini posisi yang jauh lebih baik.

Kami pun masuk ke stadium Maracana. Kami ajak pemandu tur menonton, karena ia yang tahu selak seluk menuju kursi tempat duduk. Pemandu itu sempat menelfon Ayahnya. Ia ekspresikan kegembiraan.

Ujarnya, “Sejak kecil cita cita saya menonton final sepak bola World Cup di kursi VIP. Dulu kata Ayah saya, itu mustahil. Tapi hari ini, semua terjadi. Tadi saya menelfon Ayah saya,” ujarnya girang sambil memeluk saya mengucapkan terima kasih.

Ketika kami duduk, saya mulai curiga. Mengapa di sekeliling saya begitu banyak pejabat FIFA. Di sebelah kiri dan kanan, depan dan belakang, mereka memakai tag utusan FIFA dari banyak negara.

Tahulah saya. Rupanya ini yang dimaksud dengan mafia tiket. Tiket yang dijual kepada saya dan keluarga itu sebenarnya undangan tiket untuk pejabat FIFA. Karena satu dan hal lain, pejabat FIFA itu tak hadir. Kursinya pun dijual kepada saya.

Segala problema di awal akhirnya luluh karena pesona suasana final. Puluhan ribu penonton dari manca negara bersorak sahut-sahutan. Saya melihat dua anak saya kegirangan. Mereka saling menginformasikan pemain bola dunia yang sempat mereka lihat lalu lalang di dekat kami.

Saya pun mengerti mengapa final sepak bola begitu memukau. Kembali saya ke masa kanak-kanak, bersorak sana dan sini sepanjang pertarungan.

World Cup kini memang tak hanya soal olahraga. Ia juga sudah menjadi industri. Begitu banyak dana berputar di event itu. Tahun 2018, misalnya, World Cup di Rusia memperoleh pemasukan sekitar 6 milyar USA. Itu sama dengan 84 trilyun rupiah.

Bisnis World Cup bahkan melampaui Film Holywood terlaris sekalipun. Sepanjang sejarah Holywood, tiga film terlaris mendapatkan Gross Sales terbesar masih jauh dibanding event World Cup.

Tiga film terlaris: The End Game (2019: 2,7 milyar USD), Avatar ( 2009: 2,7 milyar USD), dan Titanic (1996: 2,1 milyar USD). World Cup di Rusia lebih dari gross sales The End Game ditambah Avatar sekalipun.

Lihat pula bisnis yang berputar di liga sepak bola Eropa. Ada lima liga di lima negara di sana yang juga menjadi sumber uang: Inggris, Spanyol, German, Italia dan Perancis.

Di tahun 2018, penghasilan total liga eropa sebesar sekitar 25 milyar Euro. Ini artinya lebih besar empat kali lipat dibandingkan piala dunia.

Total sekitar 400 Trilyun rupiah setahun berputar dalam bisnis bola di Eropa. Penghasilan terbesar berturut- turut dari Premier di Inggris, Spanyol, Jerman, Italia dan Perancis.

Para pemain bola top dunia juga mendapatkan penghasilan yang “wow!” Kini yang termahal adalah Lionel Messi. Ia mendapatkan dalam setahun sekitar 111 juta USD. Cristiano Ronaldo 108 juta USD. Neymar sekitar 90 juta USD.

Jika dirupiahkan, uang yang didapat Lionel Messi selama setahun sekitar 1, 5 trilyun rupiah. Per bulan, Messi mendapat sekitar 120 milyar rupiah. Sehari, Messi mendapat 4 milyar rupiah!

Lionel Messi (Foto: Bola.net)

Bandingkan gaji Lionel Messi dengan gaji presiden Amerika Serikat Donald Trump. Setahun Trump hanya mendapatkan 400, 000 USD, atau sekitar 6 milyar rupiah.

Gaji setahun presiden Amerika yang mengurus 300 juta penduduk sama dengan gaji dua hari Lionel Messi. Begitu makmurnya gaji pemain sepak bola dibandingkan gaji pemimpin dunia.

Tak heran aneka pertandingan final sepak bola dunia juga menjadi ajang bisnis. Di manapun ada bisnis, mafia datang. Semakin besar bisnisnya, semakin canggih jaringan mafia.

Namun semua itu terjadi karena ada chemistry tak biasa dalam event World Cup. Lebih dari 3 milyar manusia menyalurkan gairahnya ke titik yang sama: bola yang ditendang ke sini dan ke sana. Kegembiraan yang diberikan dengan menonton event world cup memang tiada tara.

Di tahun 2019, dua anak saya sudah keliling lima benua dalam waktu dua belas tahun terakhir. Setiap saya tanya event apa yang paling mereka suka dari semua perjalanan ke lima benua?

Berdua mereka sepakat. Menonton final sepak bola World Cup di Brazil, selalu menjadi event paling berkesan, paling lepas bersorak, berjingkrak, menyatu dengan puluhan ribu orang dari manca negara, dalam satu stadium. Sayapun sepakat.

Agustus 2019

***

Catatan Perjalanan Denny JA