Pembenahan BUMN dan Pajaknya

Kontribusi pada APBN mengalami kenaikan 85% dalam kurun empat tahun terakhir ini. Tapi, dari 143 BUMN yang ada, hanya 15 BUMN yang mencatatkan laba dalam laporan keuangan mereka.

Senin, 6 Januari 2020 | 20:49 WIB
0
371
Pembenahan BUMN dan Pajaknya
Ilustrasi pajak (Foto: Kontan.co.id)

Akhir tahun lalu, salah satu badan usaha milik negara (BUMN) besar kita yakni Garuda Indonesia  menjadi sorotan. Hal ini terkait ulah petingginya yang menyelundupkan sepeda motor mewah Harley Davidson dan sepeda Brompton dalam pesawat baru milik maskapai mereka. Dan klimaksnya adalah Menteri BUMN menonaktifkan direksi yang diduga telah terlibat skandal ini.

Kasus penyelundupan ternyata hanya gunung es dari sejumlah permasalahan yang mendera perusahaan penerbangan nasional itu selama ini. Kini, kinerja PT Garuda Indonesia Tbk ikut dikuliti. Dalam kurun waktu 2017-2019 Garuda masih mencatat kerugian dalam Laporan Keuangannya.

Garuda merupakan salah satu  dari 143 BUMN yang masih merugi. Dari total laba BUMN sebesar lebih dari Rp 210 triliun, 70% berasal dari laba 15 perusahaan saja. Beberapa perusahaan yang meskipun telah mendapatkan suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN), masih tetap merugi. Menteri BUMN yang baru Erick Thohir berusaha mengurai masalah yang selama ini membelit BUMN, sehingga dia bertekad untuk membenahi dan menata ulang 143 perusahaan pelat merah di Indonesia itu.

Ada empat strategi yang akan diterapkan oleh menteri BUMN, yaitu: pertama Reformasi Birokrasi dengan tujuan untuk mengurangi beban birokrasi yang panjang untuk BUMN. Kedua restrukturisasi utang-utang BUMN. Ketiga mengembalikan lini bisnis inti perusahaan milik negara. Strategi keempat  adalah menjadikan food, energy, and health security sebagai prioritas.

Negara memberikan perhatian serius pada BUMN, salah satunya dengan menyuntikkan PMN. Tentu, tak lepas dari semangat yang mendasari dibentuknya BUMN yaitu Pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut mengatur, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Namun, apakah semangat kepemilikan itu akan tetap jadi prioritas, ketika misalnya negara menghadapi kesulitan likuiditas yang akut?

Ada beberapa kebijakan yang pernah ditempuh pemerintah untuk membenahi BUMN. Pertama, privatisasi BUMN. Layaknya sebuah perusahaan yang dapat dipindahkan kepemilikannya, salah satu perusahaan telekomunikasi nasional diserahkan ke Singapura di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Namun langkah ini menyulut kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa menjual aset negara tak ubahnya menjual kedaulatan negara. Tetapi, pemerintah memiliki alasan yang kuat saat itu bahwa ekonomi nasional sedang diguncang krisis, dan membutuhkan dana segar untuk menutup devisit APBN.

Mungkin pemerintah Indonesia berusaha mengikuti jejak Margaret Teacher ketika Inggris terjebak resesi, dengan mengambil langkah privatisasi BUMN. Dalam 11 tahun masa kepemimpinan Teacher, Pemerintah Inggris menjual lebih dari 40 BUMN utama, antara lain: British Petroleum, Britoil, Jaguar, British Telecommunication, British Steel, British Airways, dan Rolls-Royce.

Privatisasi tidak hanya memperkecil ukuran pemerintahan, tetapi juga membebaskan perusahaan-perusahaan seperti British Aisways untuk transformasi diri menjadi pemimpin bisnis di dunia. Tapi, privatisasi BUMN ternyata tidak membawa sang Perdana Menteri ke arah yang sebenarnya ingin dituju. Sebab, tak membawa efek domino ke seluruh departemen-departemen pemerintahannya  (David Osborne dan Peter Plastrik, 1997).  

Kedua sebagai agen pembangunan nasional. Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama, BUMN sangat giat membangun infrastruktur yang ditengarai dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi nasional. Empat tahun terakhir pemerintahan ini, BUMN terus berusaha membangun infrastruktur darat, laut, udara, kelistrikan, dan telekomunikasi. Semua itu untuk menghadapi era revolusi industri 4.0.

Bahkan, Rini Soemarno selaku menteri BUMN kala itu yakin,  BUMN jika ingin tetap kuat dan mampu memenangkan usaha dalam persaingan lokal, regional maupun global adalah dengan membentuk holding BUMN secara sektoral (Kontan,  16/7/2019).

Masih menurut Rini, holding BUMN bukan hanya sumber efisiensi untuk terwujudnya skala ekonomi bisnis, namun yang utama adalah memberikan efek akumulasi dan kapitalisasi sumber daya, sehingga bisa menciptakan berbagai peluang usaha. Tapi, ketika masalah Garuda merebak, pengusaha sektor pariwisata buka suara terkait kenaikan harga tiket pesawat yang melonjak tajam dan berperan melesukan dunia pariwisata dan muncul dugaan kartel tiket pesawat, sehingga konteks holding BUMN seolah tak relevan lagi.

Pajak BUMN, Apa Kabar?

Mengingat strategisnya peranan BUMN dalam pembangunan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sejak modernisasi digaungkan telah memberikan perhatian khusus pada perusahaan-perusahaan pelat merah ini, dengan mengumpulkan mereka pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Tiga dan Empat. Semua dilakukan untuk memberikan pelayanan prima dan memudahkan dalam melakukan pengawasan kewajiban perpajakan. Karena BUMN selaku wajib pajak (WP) menurut ketentuan Undang-undang Perpajakan  punya hak dan kewajiban yang sama dengan WP lainnya.

Pengecualian yang diberikan pada BUMN adalah berupa keistimewaan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ketika melakukan transaksi kepada rekanan BUMN. Kriteria BUMN yang ditetapkan sebagai pemungut PPN dan PPnBM adalah kepemilikan sahamnya oleh pemerintah paling sedikit sebesar 51%. Penunjukkan BUMN sebagai pemungut ini merupakan upaya memudahkan pengawasan penggunaan uang negara.

Rencana Erick Thohir bertekad bebenah BUMN merupakan angin segar bagi Ditjen Pajak. BUMN dengan performa keuangan yang sehat akan memberikan kontribusi yang lebih pada pajak. Menurut data yang ada, kontribusi langsung yang diberikan BUMN pada APBN berupa pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan dividen pada 2018 menjadi Rp 478 triliun dibanding tahun 2014 sebesar Rp 407 triliun.

Memang, kontribusi pada APBN ini mengalami kenaikan sebesar 85% dalam kurun empat tahun terakhir ini. Tapi, dari 143 BUMN yang ada, hanya 15 BUMN yang mencatatkan laba dalam laporan keuangan mereka.

Jika seluruh BUMN berhasil meraih laba, bisa dibayangkan berapa besar pajak yang akan mereka tunaikan pada negara ini? Mungkin, pemerintah tak perlu berhutang lagi pada negara lain suatu saat nanti.

 Keterangan: Tulisan ini telah dimuat di Kontan, 04 Januari 2020