Era kerjasama tidak berlaku manakala pada zaman pemerintahan Gus Dur, SIUPP tidak diperlukan lagi. Ini berarti, siapa pun bisa menerbitkan koran di mana saja, kepemilikan SIUPP tidak berarti lagi.
Pada akhir dasawarsa 1980an, Kompas memang “meledak”, baik oplah maupun iklannya. Apalagi pemerintah pada tahun 1986 melepaskan nilai dolar yang membuat perusahaan itu malah bertambah koceknya.
Betapa tidak, saat itu hutang dolar tinggal beberapa puluh ribu dollar sementara simpanan kebanyakan berupa mata uang asing. Jadi pada saat banyak perusahaan gulung tikar atau kelabakan, Kompas justru menaikkan kesejahteraan pegawainya, termasuk para pensiunan.
Sementara itu koran-koran besar yang terbit di daerah mulai kekurangan iklan dari Pusat. Para pemasang iklan merasa lebih diuntungkan memuat iklan di koran nasional yang beredar di seluruh negeri daripada di koran-koran daerah. Apalagi ketika Majalah Tempo menerbitkan Jawa Pos di Surabaya dengan manajemen yang rapih dan berani sehingga oplahnya meledak dan menyingkirkan koran-koran yang telah terlebih dahulu ada.
Kompas pun saat itu sudah merancang sistem cetak jarak jauh di Bawen untuk melyani pembacanya di Jawa Tengah dan Jogyakarta. Dengan sistem itu para pembacanya bisa menerima Koran pagi-pagi, sama dengan pembaca di Jakarta.
Oplah yang terus merosot diikuti dengan pemasang iklan yang menghilang, membuat koran daerah “berteriak” merasa diambil jatahnya oleh koran Pusat. Ini memunculkan caci maki di rapat-rapat Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Pada saat itu Pak Jakob yang menjadi Ketua SPS tidak tahan dengan serangan para “politikus” dari daerah-daerah.
Kusfandi (alm), pemilik Harian Berita Nasional (Bernas) pernah bercerita pada saya, bagaimana para pimpinan koran daerah bersekutu untuk menyerang koran Pusat (Kompas) dengan kata-kata kasar dan menyudutkannya sebagai modal untuk mendapatkan perhatian dan bantuan.
“Terkadang saya kasihan pada Pak Jakob, beliau serius padahal saya sama Jok (Mentaya, Banjarmasin Post) cuma main-main,” kata politikus PNI Jogyakarta itu sambil tertawa. Pada tahun 1988 korannya dipilih untuk bekerjasama dengan Kompas.
Awalnya bantuan untuk koran daerah dilakukan dengan bantuan pelatihan, baik manajemen maupun redaksional. Saat itu saya sebagai penata wajah Kompas sempat melatih masalah produksi koran di Aceh, Padang, dan Palembang. Namun bantuan pelatihan tersebut tidak efektif dan tidak membuat koran yang dibantu langsung bisa bangkit. Intinya, penerbit koran daerah tidak punya dana untuk mengembangkan korannya sehingga muncullah ide untuk meningkatkan kerjasama.
Kini Koran Pusat tidak sekadar memberi bantuan tetapi masuk ke dalam kepemilikan di koran daerah. Koran Pusat membawa modal dan keahlian, koran daerah memiliki SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Dari sinilah muncul gagasan membentuk kelompok Pers Daerah di Kompas Gramedia.
Maksud baik tidaklah selalu berbuah baik
Setelah mengikuti pola kerjasama Kompas dengan penerbit-penerbit, kemudian menganalisanya secara bisnis, terasa aneh. Kompas pemilik modal membiayai semua biaya pengembangan perusahaan namun izin kepemilikan tetap pada pemegang SIUPP.
Pemegang SIUPP walau berada di bawah pimpinan proyek yang notabene orang Kompas, tetap sebagai pimpinan tertinggi dan ia memiliki anak buahnya yang lama (biasanya sebagian karyawan harus dipertahankan). Jadi di banyak tempat sering terjadi konflik antara pimpro dengan pemegang SIUPP yang masing-masing didukung karyawan berbeda.
Pimpro didukung anak-anak rekrutmen baru sedangkan pemilik SIUPP didukung karyawan lama yang lebih menguasai medan. Kalau krisis memuncak, bisa saja perusahaan akhirnya ditutup tetapi SIUPP tetap menjadi pemilik lama.
Kerjasama itu umumnya memang rumit. Tenaga-tenaga Kompas yang diterjunkan ke daerah biasanya masih muda, baik pengalaman maupun usianya. Mereka biasa kerja dengan system yang sudah ada sementara di tempat baru harus menciptakan sistem. Dengan demikian pengelolaan usaha seolah menjadi ajang latihan. Sementara itu pemilik SIUPP sudah tidak sabar untuk bisa segera menikmati buah kerjasama tersebut.
Begitu kami datang ke daerah, petugas pajak sudah menghadang. Begitu mereka tahu ada kerjasama dengan Kompas, mereka pun menghitung pajak lama yang harus dibayar. Mereka tahu Kompas selalu rapih dalam pembayaran pajak sementara pemilik lama tidak pernah membayar pajak penjualan korannya. Padahal mengembangkan koran daerah saat itu sungguh berat.
Dengan adanya nama Kompas di belakang koran itu, maka koran yang sudah ada di daerah itu pun pasang kuda-kuda. Persaingan ketat terjadi di Surabaya ketika pada tahun 1988 Kompas bekerjasama dengan Pos Kota melanjutkan penerbitan Harian Surya di Surabaya. Persaingan dengan Jawa Pos milik Majalah Tempo sungguh di luar akal sehat dan membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Baca Juga: Siang-siang Jam Paling "Syuuur", Kompas Redpalms' Unplugged Story
Biasanya, setelah perusahaan berjalan dan kayaknya tidak ada kemajuan, mulai muncullah gesekan-gedekan yang saling menyalahkan antara tim Kompas dan pemilik SIUPP. Dan seperti biasa, perusahaan yang belum berhasil, persoalan bertambah banyak. Apalagi kalau sudah dipolitisir dengan isu SARA atau politik tertentu.
Ketika akhir tahun 1988 saya diminta menjadi Pimpro Bernas, saya belum siap benar dalam hal pengelolaan usaha. Setiap tahun diminta membuat perencanaan modal yang dibutuhkan dan pada akhir tahun mempertanggungjawabkannya. Pada midsemester dievaluasi, dikoreksi, kalau dirasa kurang minta tambahan.
Semangat yang berkobar saat awal menjalankan tugas, membuat perencanaan anggaran jauh meleset dari pelaksanaan. Beberapa kali saya dan beberapa kawan di proyek harus “meminjamkan” uang depostio pribadi untuk membeli kertas agar koran bisa tetap terbit. Ini terjadi karena perencaaan pemasukan uang tidak sesuai dengan realitanya.
Dalam kerjasama dengan Bernas, pemilik SIUPP, Kusfandi, sejak awal “membentengi” diri dengan membagikan saham kepada beberapa karyawan yang jumlahnya antara 5 hingga 10 lembar per orang dari total sekitar 1.000 saham di perusahaan itu.
Jumlah sahamnya memang kecil namun dalam setiap rapat pemegang saham, suara mereka sangat lantang untuk memaki pengelola yang dinilai tidak becus mengelola perusahaan. Bahkan seorang mantan pengurus partai yang memiliki beberapa lembar saham, menuduh Kompas sebagai kolonialis baru karena mau menerbitkan saham baru yang bisa mengecilkan persentase sahamnya.
“Itu namanya bukan mau membantu, tapi mau membunuh kami, persis Amerika!” begitu ia berteriak dalam RUPS di kantor. Akhirnya RUPS itu bubar tanpa menghasilkan kesepakatan apa pun, dan sejak itu Kompas mengundurkan diri dari kerjasama.
Kerjasama paling mulus di Aceh. Ini karena ada penempatan orang daerah di perusahaan itu. Awalnya Kompas gamang dengan kerjasama itu, maklum Aceh daerah muslim sementara Kompas dicap sebagai koran katolik. Namun pimpro Serambi Indonesia, H. Sjamsul Kahar yang semula koresponden Kompas di Aceh dan merupakan orang asli di situ, berhasil mengatasi kesulitan dengan baik. Kerjasama yang semula dinilai akan susah itu ternyata dalam waktu dekat membawa hasil, hingga kini.
Era kerjasama ini menjadi tidak berlaku manakala pada zaman pemerintahan Gus Dur, SIUPP tidak diperlukan lagi. Ini berarti, siapa pun bisa menerbitkan koran di mana saja, kepemilikan SIUPP tidak berarti lagi. Surat izin yang harganya ketika itu bisa mencapai Rp 500 juta, dengan kebijakan Gus Dur menjadi tak berharga sama sekali.
Kebijakan baru ini dipergunakan Kelompok Persda untuk mengembangkan usahanya di banyak daerah. Ketika tulisan ini saya susun, Kelompok Persda di bawah H. Herman Darmo sudah mengelola 17 surat kabar daerah, belum termasuk “anak-anak”nya.
Semua perusahaan berjalan lancar karena kini tidak ada lagi yang harus diberi “tenggang rasa” ketika mengambil keputusan. Selain itu perkembangan teknologi dan sistem pemerintahan otonomi daerah membuat orang daerah merasa perlu dengan berita daerahnya.
***
Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [31] Kelompok Pers Daerah
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews