Kepakan Sayap Garuda, Kepakan Indonesia

Kerjasama sangat diperlukan. Untuk sebuah perjalanan yang harus saya lakukan, saya paham betul, tak kan bisa dengan baik saya lakukan tanpa kesiapan dan kesigapan mereka semua.

Rabu, 16 September 2020 | 13:05 WIB
0
863
Kepakan Sayap Garuda, Kepakan Indonesia
Garuda (Foto: uzone.id)

13 September 2020, jam 4.00 WIB saya sudah berada di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng terminal 3 untuk keberangkatan ke Kupang. Hari ini bersejarah untuk saya dan keluarga kecil kami. Setelah 6 bulan puasa bepergian, hari ini saya akan kembali terbang bersama Garuda, untuk bergabung dengan soulmate, suami yang sedang bertugas di Dili, Timor Leste, sebagai atase pendidikan di KBRI Dili.

Sepagi ini sampai di bandara, disupiri anak semata wayang, Ega Mahardika, dan melarangnya untuk menemani sampai masuk terminal bandara. Cukup drop off di Terminal 3 saja.

Saya sengaja ke counter check in dulu, sebelum memvalidasi dokumen perjalanan, mengingat barang bawaan yang over weight. Rasanya lebih nyaman melakukan check in dan membayar biaya kelebihan barang dulu baru melapor dan validasi dokumen protokol kesehatan. Ya, kita diminta untuk memenuhi aturan protokol kesehatan sebelum dapat bepergian dengan pesawat udara di masa covid-19 ini.

Betul dugaan saya, petugas check in menanyakan soal validasi dokumen, apakah sudah dilakukan belum. Saya jawab terus terang, belum karena alasan ingin bereskan dulu pembayaran over weight. Petugas dapat memahami dan menuruti keinginan saya, sempat ditanya, "mau pindahan ya, Bu?" ketika melihat 2 koper besar, 1 koper sedang dan 1 koper hand carry untuk masuk pesawat yang saya bawa. Saya jawab, apa adanya.

Memang seperti orang pindahan, lanjutan perjalanan saya menuju Atambua untuk masuk ke Dili, karena suami sedang tugas di sana. Setelah diketahui berapa jumlah overweight yang harus dibayarkan, petugaspun meminta saya untuk ke counter validasi dokumen protokol kesehatan yang ada di pintu 3 dan juga membayar di kasir untuk kelebihan ekses bagasi, baru kembali lagi ke counter check in mengambil boarding pass dan menunjukan bukti validasi dokumen PCR test-nya kepada petugas check in.

Saya pun menuju tempat validasi dokumen kesehatan, ada beberapa counter di sana, dan tempat kita untuk mengantri dengan pembatas berjarak. Hari masih pagi, jadi tak perlu mengantri, langsung menuju meja pelayanan petugas. Petugas kesehatan meminta hard copy rapid test dari RS. Saya katakan, bahwa saya Swab. Respon petugas langsung mengangkat jempolnya sambil mengatakan, "Wah Ibu mantul, pakai Swab jadi lebih nyaman juga ya bu."

"Ini diperlukan karena saya akan melintas batas, agar di perbatasan tidak lagi dipersoalkan, khawatir kalau hanya rapid saja".

Tak sampai 3 menit proses validasi selesai. Oh iya, ada 1 lagi yang ditanyakan, apakah calon penumpang pesawat sudah mengunduh aplikasi e-Hac Indonesia. Saya katakan sudah, dan diminta buktikan lewat layar ponsel. Setelah tunjukan e-Hac di ponsel, di situ ada barcode yang lalu discan oleh petugas. Clear. Done. E-Hac Indonesia ini berisi data penumpang, bepergian dari mana tujuan ke mana, lengkap dengan nomer ponsel, alamat kita dan tujuan akhir kita dengan pesawat. Hasil pcr sayapun setelah distempel validasi petugas dikembalikan. Betul juga seperti info dari om saya, bahwa dokumen pcr test itu seperti passport diri kita sekarang.

Dua aplikasi lain yang harus diunduh di ponsel adalah Peduli Lindungi dan JAKI. Hanya perlu beberapa menit untuk mengisi form. Khusus untuk JAKI, ini punya pemda DKI. Ketika kita booked tiket Garuda dan selesai pembayaran, maka notifikasi persyaratan penerbangan akan masuk lewat email, untuk kita simak dan kerjakan sesuai protokol kesehatan.

Patuhi saja apa yang diminta di email itu. Di antaranya diminta untuk mengunduh 3 aplikasi, 1. Peduli Lindungi, 2. e-hac dan 3. JAKI untuk mendapatkan JakCLM (Jakarta Corona Likelihood Metric) berisi SKIM, dokumen perjalanan khusus untuk pelintas keluar masuk DKI.

Satu dokumen hard copy hasil pcr /rapid test untuk dibawa seperti yang saya sudah tulis di atas. Baik PCR test /rapid berlaku untuk 14 hari. Selebihnya pengumuman yang sudah kita tahu, pakai masker, jaga jarak, bawa hand sanitiser dan lainnya. Saran saya, lakukan unduh mengunduh ini sebelum tiba di bandara. Itu, memudahkan dan menghemat waktu kita sendiri. In case bandara sedang ramai, maka anda tak perlu habiskan waktu mengantri di jalur manual.

Saya mengetahuinya karena melihat, orang yang belum menyiapkan e-hac, diminta isi form secara manual. Setidaknya akan perlu waktu untuk isi form e-hac dan divalidasi petugas, dibanding jika kita hanya tunjukan barcode dan langsung selesai dalam hitungan detik.

Setelah selesai, lanjut kembali ke counter checkin untuk mengambil boarding pass. Form validasi pcr ditunjukan kepada petugas check in. Ini konfirmasi double check yang patut diacungi jempol. Selain untuk meyakinkan bahwa penumpang yang naik pesawat betul-betul sudah melakukan pcr/rapid test dan dokumen sudah divalidasi.

Beberapa bulan lalu saya dengar, ada penumpang yang bisa beli dokumen perjalanan SKIM dari online shop, sepertinya hal itu tidak diperlukan, jika calon penumpang patuh pada prosedur. Form SKIM pun tidak diperlukan untuk ditunjukan, jika tak diminta petugas. Form itu berguna untuk di pintu bandara atau di pos jaga yang ada di wilayah DKI,jika anda kena random checking. Setelah mengambil boarding pass, saya langsung menuju terminal keberangkatan.

Di situpun penumpang tertib berbaris dengan menjaga jarak. Satu info tambahan, saya perlengkapi diri dari rumah, selain masker juga pakai face shield, tadinya mau pakai sarung tangan pemberian Isyana Hani juga, tapi saya urungkan, karena berpikir bisa jadi sarung tangan saya butuhkan di perbatasan.

Di bandara, lumayan cukup sering saya berpapasan dengan orang yang menggunakan face shield selain masker.

Pesawat saya GA 0438 tujuan akhir Kupang dengan transit di DPS Bali. Parkir di gate 13 terminal keberangkatan.

Ketika melewati pemeriksaan bagasi kabin, saya melihat ada 1bapak yang membawa keluarga marah-marah karena barang bawaan dibongkar dan banyak yang disita petugas tak jelas penumpang pesawat tujuan mana. Didalam hati , mengapa masih ada saja orang yang ingin melanggar aturan penerbangan yang sudah umum dilakukan, bahkan sebelum situasi covid-19, ya?

Malah sempat saya dengar sang ayah yang melakukan perjalanan bersama istri dan 2 anak yang masih kecil-kecil itu berkata, "Bapak sudah buat kami ketinggalan pesawat kalau begini." Petugas kalem menjawab,"ini regulasi dan tugas kami demi keamanan dan kenyamanan seluruh penumpang pak." Jika tahu mau berangkat pukul sekian, ya sudah dianjurkan untuk datang minimal 3 jam sebelumnya, "lanjut petugas.

Saya salut dengan ketegasan petugas bandara. Untuk orang yang sudah patuh, ini pasti membuat lebih nyaman. Kita terhindar dari hal- hal yang tak diinginkan karena ulah orang yang tak disiplin.

Sayapun lanjut menuju gate 13. Sempat memperhatikan, restoran - restoran sudah mulai buka, dan toko souvenir juga. Memang masih sepi. Tapi ada dua tiga orang yang duduk makan di beberapa resto yang saya lalui. Juga di dalam toko oleh-oleh.

Sesampai di gate 13, tempat duduk sudah disilang untuk jarak phisical distancing, kalau ini sudah pernah lihat ketika di bandara Kualanamu, bulan Maret lalu. Saya lihat sebagian sudah terisi oleh calon penumpang, asumsi saya berarti pesawat dengan kapasitas 50% ini dari kapasitas tempat duduk, mungkin mencapai maksimum terisi. Bisa jadi karena destinasi Bali dan Kupang.

Kira-kira 15 menit sebelum waktu boarding, 3 orang petugas berjalan menghampiri satu persatu penumpang, mereka mengkonfirmasi soal apakah dokumen kesehatan rapid/pcr test sudah divalidasi atau kelupaan. Jika ada yang kelupaan, mereka memberikan layanan validasi sebelum masuk pintu pesawat.

Ini juga bagus, karena untuk ke sekian kali, konfirmasi dilakukan sebelum betul-betul penumpang masuk pesawat. Saya tidak tahu apakah layanan ini juga dilakukan oleh maskapai lain, karena melihat petugas ground staff memakai baju seragam Garuda. Bisa jadi yang satunya petugas bandara bukan dari airline. Semoga saja, maskapai penerbangan lain juga sama prosedurnya.

Kami boarding tepat seperti di waktu yang tertera pada boarding pass. Semua antri berjalan tertib. Tak ada lagi orang yang mencoba antri dengan jarak begitu rapat dengan penumpang di depannya. Saya masuk jalur sky priority, karenanya bisa masuk lebih awal. Ini untungnya jadi pelanggan setia Garuda.

Walau sudah 6 bulan tak melakukan perjalanan. Kangen juga lihat sayap-sayap biru berjejer itu dari jendela, dari jembatan penghubung. Sebelum memasuki pesawat ada dua pramugari sudah standby menyambut kedatangan penumpang seperti biasa. Hal yang tidak biasa adalah mereka menggunakan masker dan sarung tangan. Setiap penumpang diminta untuk membasuh tangan mereka dengan hand sanitizer yang sudah dipersiapkan.

Setelah itu baru dipersilahkan masuk ke dalam pesawat. Tetap jaga jarak, karena antrian memang dari pintu gate sudah jaga jarak, jadi di dalam pesawatpun bebas melenggang, tanpa merasa orang lain di depan atau di belakang kita berdekatan. Kursi saya persis berada di bagian jendela, dan di sayap, tadi petugas check in mengatakan bahwa memang kursi duduk dikosongkan di tengah saya.

Ternyata setelah pintu pesawat ditutup, tak ada lagi penumpang yang duduk di kursi lorong pesawat. Itu artinya saya hanya sendirian dideretan 3 kursi itu. Konfigurasi kursi pesawat Boeing 737 800 adalah, 3-3.

Saya longokan sedikit kepala ke depan dan ke belakang. Penumpang mungkin hanya terisi dibawah 40% dari aturan 50%maksimum kapasitas yang diperbolehkan. Soal kenaikan harga tiket pun tidak otomatis membayar untuk kursi penumpang yang dikosongkan. Lalu, saya melihat dengan seksama, sepertinya tak ada pengurangan awak kabin yang bertugas. Tapi lupa bertanya kepada pramugari soal ini.

Pesawat lepas landas juga tepat waktu, meninggalkan belalai penghubung pas di jam 7.05 AM, persis seperti yang tertera di jadwal. Saya berdoa, sebelum pesawat lepas landas. Meminta keselamatan, terus terang lebih panjang membaca doa-doa berkali-kali dan ayat-ayat Alquran dari biasa yang saya lakukan.

Hal menarik selama di dalam pesawat yang saya rasakan adalah soal pengumuman yang dilakukan oleh maskapai penerbangan. Semua menyesuaikan dengan sikon covid-19. Contohnya, pramugari menjelaskan bahwa selama berada di dalam pesawat, masker harus selalu dikenakan, kecuali ketika makan dan minum. Mengantri ke lavatory, harus tetap jaga jarak, tidak mengantri berdekatan. Selalu membasuh tangan sebelum makan dan minum.

Makan pagi di dalam pesawat lebih simple, hanya diberikan di dalam kotak, dan minum aqua 2 botol 300 ml. Di atas kotak, selain logo Garuda, ada tertulis #Because You Matter ( Karena Anda Penting) dan dibawahnya ada tulisan," this meal is prepared with strick hygine protocol with your health and safety in mind" ( makanan ini disiapkan dengan protokol kebersihan yang ketat dan dengan mengingat kesehatan dan keamanan anda).

Saya tersenyum membacanya, ini juga cara Garuda meyakinkan dan memenuhi kewajibannya terhadap penumpang, bahwa mereka telah sedapat mungkin mematuhi standard kesehatan yang seharusnya. Menarik juga, jika wartawan diperbolehkan untuk liputan ke bagian katering mereka, untuk melihat cara mereka mempersiapkan makanan ini. Itu bagus untuk promosi Garuda di era covid-19.

Satu hal lagi yang saya ingat soal announcement di dalam pesawat, Garuda juga mengumumkan bahwa seluruh maskapai penerbangan mereka disemprot dengan disinfektan secara regular. Juga, mereka umumkan, bahwa ventilasi udara menggunakan alat air purifier (pembersih udara) berstandard tinggi. Walau tidak sampai dijelaskan merknya, tapi jelas, Garuda sebisa mungkin meyakinkan penumpang, bahwa anda "aman" terbang bersama kami.

Paling tidak, saya merasa nyaman mereka melakukan announcement seperti itu. Ada upaya yang cukup baik untuk meminimalisir semaksimal mungkin resiko penularan covid-19, mengingat bepergian dengan menggunakan penerbangan masuk ke dalam faktor beresiko tinggi penularan covid-19 yang ditetapkan WHO.

Saya teringat obrolan kerabat yang bepergian memakai maskapai lain. Maskapai itu kemudian kena teguran keras pemerintah karena kapasitas penumpang normal. Kerabat itu cerita betapa sepanjang perjalanan dia was was dan gelisah karenanya. Dia tak menyangka bahwa penerbangan itu nekat mengisi penuh penumpangnya, padahal sudah ada aturan larangan tersebut.

Kerabat itu juga menambahkan info, kenaikan harga tiketnya juga tak beda jauh dengan maskapai lain. "Kapok saya bu, lebih baik sekalian saja naik mobil pribadi dari Jogja, begitu keluhnya.
Setelah menghabiskan sarapan pagi, saya tidur, sekali lagi..., tanpa melepaskan masker dan face shield.

Baru terbangun karena pesawat mendarat di Ngurah Rai, Denpasar. Kali ini, pramugari mengingatkan untuk penumpang yang turun di Denpasar Bali, untuk turun dengan tetap menjaga jarak. Penumpang yang di belakang harap tetap duduk, sebelum penumpang di depan turun dari pesawat.

Saya coba amati, rasanya ingin tepuk tangan. Baru kali ini, saya lihat penumpang tak ada satupun yang mau melanggar aturan. Semua sabar menunggu orang di depannya berjalan keluar, baru mereka berdiri mengambil bagasi atas kepala dan berjalan menuju pintu keluar pesawat. Ternyata orang Indonesia bisa disiplin, asal kompak dan tak ada yang jahil melanggar. Sebetulnya ingin juga melihat, jika ada yang melanggar, apa tindakan awak kabin.

Pesawat ini ganti ban roda, ternyata. Saya perhatikan, karena duduk di bagian jendela dan tepat di sayap. Waktu transit 45 menit. Penumpang tujuan akhir Kupang tidak diijinkan untuk meninggalkan pesawat. Petugas kebersihan naik ke pesawat, dan merekapun pakai face shield, masker dan sarung tangan karet. Saya melongok ke luar jendela, memperhatikan proses penggantian ban roda , seluruh petugas teknisi juga pakai masker dan sarung tangan. Tepat 45 menit, pintu pesawat ditutup, dan hanya melihat dua orang penumpang naik dari Denpasar.

Selama mengudara menuju Kupang, ada snack yang diberikan. Namun minuman botol masih tetap diberikan 2 botol air mineral.

Sesampai di bandara Eltari Kupang, petugas mengarahkan kami untuk antri ke meja pengechekan protokol kesehatan. Sama seperti di Soekarno Hatta mereka akan memberikan cap untuk dokumen rapid/pcr test dan menscan e-hac id kita. Ini seperti pencocokan ID mengkonfirmasi bahwa penumpang yang bersangkutan sudah sampai dan datanya sudah ada berpindah di propinsi tersebut.

Fungsi ini untuk memudahkan tracing sepertinya, perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi anda yang mau bepergian, juga merasa aman karena ke manapun anda pergi, kesehatan anda dipantau dan jika terjadi sesuatu pada diri anda, memudahkan petugas kesehatan menangani anda di tempat tujuan.

Well, ini catatan perjalanan pertama keluar Jakarta menggunakan maskapai penerbangan di masa covid-19. Penting untuk saya tuliskan, karena ini bisa jadi dokumen sejarah pribadi. Saya bepergian melintas batas negara nantinya, untuk menemani suami yang sedang bertugas di Dili Timor Leste untuk batas waktu yang saya belum tahu kapan saya akan bisa kembali ke Jakarta. Menyeberang dengan moda transportasi udara dan darat, menempuh resiko yang tetap ada, mencoba semaksimal mungkin mematuhi aturan protokol kesehatan di masa pandemik covid-19.

Saya berterimakasih pada petugas RS ketika drive thru di RS Pertamina Jaya, petugas darat di Bandara, dan awak kabin maskapai Garuda serta Garuda Indonesia. Kepakan sayap Garuda adalah kepakan sayap Indonesia. Semua menderita karena covid-19. Tapi yakinlah Indonesia akan mampu melewati masa sulit ini.

Kerjasama dari semua lini memang sangat diperlukan. Untuk sebuah perjalanan yang harus saya lakukan, saya paham betul, tak kan bisa dengan baik saya lakukan tanpa kesiapan dan kesigapan mereka semua. Mereka yang tak secara personal saya kenal seorangpun. Trimakasih banyak nakes, trimakasih para ground handling bandara, trimakasih Garuda Indonesia dan semuanya.

Setelah ini saya harus melanjutkan perjalanan lewat darat dari Kupang menuju perbatasan Atambua. Ceritanya lanjut nanti ya.

***