Indonesia Maju, Indonesia Optimis

Harusnya kita bersyukur sejauh ini Indonesia tidak berkonflik, apalagi berperang dengan negara manapun.

Kamis, 4 April 2019 | 13:42 WIB
0
608
Indonesia Maju, Indonesia Optimis
Ilustrasi pajak (Foto: Klinik Pajak)

Tax Ratio 16% + Anggaran Hankam 30% = Mabok

Hasri Sabtu lalu, 30 Maret 2019 ada orang yang ngotot pengen naikin Tax Ratio jadi 16% (dari PDB) dan anggaran Pertahaman Keamanan jadi 30% dari APBN.

Tax Ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam satu tahun.

Kementerian Keuangan RI menyebutkan, tahun 2018 Tax Ratio Indonesia adalah 10,9%.
Sementara PDB tahun 2018 sekitar US$1 triliun atau Rp14.200 triliun. 
Artinya, penerimaan pajak RI tahun 2019 adalah 10,9% x Rp14.200 triliun.

Variabel utama sebagai pertimbangan untuk menaikkan target Tax Ratio adalah pendapatan per kapita penduduk per tahun.

Tahun 2018, pendapatan per kapita penduduk Indonesia per tahun sekitar US$4.100 atau sekitar Rp57,4 juta (Rp4,78 juta per bulan).

Bandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Singapura yang mencapai US$55.200.

Dengan rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia per tahun pada tahun 2018 sebesar Rp4,78 juta, rata-rata pajak yang dibayarkan sebesar 10,9%.

Ingat, ini adalah angka-angka kumulatif secara nasional. Sementara pembayaran pajak ditentukan berdasarkan pendapatan riil tiap orang.

Batas minimal pendapatan kena pajak (PKP) terakhir ditetapkan tahun 2016 sebesar Rp5,6 juta per bulan untuk yang sudah berkeluarga.

Nah, besaran tiap jenis pajak, Tax Ratio, dan PKP, ditetapkan bersama, Pemerintah dengan DPR (termasuk Fraksi Gerindra, PAN, dan PKS).

Dari data Tax Amnesty 2017, dengan Tax Ratio 10% sampai 11% saja duit orang-orang kaya Indonesia yang tersimpan di luar negeri jumlahnya Rp4.813,4 triliun.  Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menghindari pajak?!

Bahkan orang (keluarga dan teman-temennya) yang ngotot mau naikin Tax Ratio jadi 16% itu namanya ada di Panama Papers dan Paradise Papers.

Lalu, bagaimana jadinya jika tiba-tiba Pemerintah menaikkan target Tax Ratio jadi sebesar 16%? Selain tidak mungkin, dan kalaupun dipaksakan pasti ekonomi akan kolaps.

Penjelasannya begini.... Dengan pendapatan Rp5,6 juta per bulan, bayar pajak (11%) Rp615.000 per bulan, masih oke.

Bagaimana kalau pajaknya dinaikkan jadi Rp.895.000 per bulan? Pasti mabok.

Jangankan masyarakat lapisan menengah bawah, para pengusaha pun akan ngamuk, dan para investor kabur.

Lain halnya kalau rata-rata pendapatan per kapita penduduk sudah Rp10 juta, Rp15 juta, Rp20 juta per bulan, Tax Ratio mau dinaikkan sampai 20% juga gak apa-apa.

Lalu bagaimana agar pendapatan per kapita penduduk bisa naik? Ya ekonominya harus tumbuh.

Ekonomi negara tumbuh dipicu oleh dua sisi: produksi dan konsumsi. Produksi yang tidak lain adalah industri (semua sektor) bisa tumbuh melalui peningkatan kapasitas produksi dan investasi baru.

Investasi baru, bisa berasal dari dalam dan luar negeri. Peningkatan kapasitas produksi dan investasi baru, dapat dilakukan jika pasarnya (domestik dan ekspor) tumbuh.

Sebagai catatan, sejak 2014, pertumbuhan ekonomi dunia mengalami perlambatan karena di dunia, khususnya di Asia Tenggara, tiap negara berlomba-lomba menarik investasi asing, maka yang juga menentukan adalah daya saing investasi.

Kalau buruhnya masih hobby demo, masyarakatnya gampang rusuh, ormasnya masih kayak preman, tidak ada kepastian hukum, birokrasinya lambat dan berbiaya tinggi, lupakan daya saing investasi. Investor asing gak bakalan datang.

Kesimpulannya, menaikkan target Tax Ratio itu (apalagi langsung jadi 16%), harus melalui proses dan perlu waktu.

Tidak semudah kamu mengucapkannya, Fergusso...!

Kemudian, bagaimana jika anggaran Pertahanan Keamanan kita dinaikkan menjadi 30% dari APBN? Bingung jawabnya.

Tahun 2018 anggaran Pertahanan Keamanan ditetapkan sekitar 5% dari APBN. Artinya, kalau dinaikkan jadi 30%, ada banyak sektor lain yang anggarannya harus dipangkas, termasuk anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Mau? Oke, akal sehat kita simpan dulu.

Terus mau dipake buat apa anggaran sebesar Rp670 triliun itu? Beli senjata?

Bahwa memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang kuat itu bagus, dan kita juga mau.
Tapi dari mana duitnya?

Kalau mau Indonesia pada tahun 2014 sudah menjadi negara yang hebat, seperti Singapura misalnya, seharusnya sejak tahun 1980an (ketika duit dari migas dan kayu masih berlimpah) Indonesia sudah memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, infrastruktur dibangun dengan masif, pendidikan dan riset digalakan. Ini kan tidak!!!

Harap dicatat, sebelum Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Australia dan lain-lain memiliki sistem pertahanan keamanan yang kuat dan canggih, mereka membangun ekonominya dulu agar menjadi kuat. 

Kalau ekonominya kuat, PDB-nya tinggi, penerimaan pajaknya tinggi, baru membangun sistem pertahanannya.

Itu pun sebagian besar bukan membeli senjata seperti halnya Arab Saudi dan Singapura, 
tapi mengembangkan industri militernya sendiri. Punya iya, jual juga iya. Senjata punya, duit juga dapat.

Nah itu yang sekarang sedang dilakukan oleh Jokowi. Tapi ya gak bisa ujug-ujug besar, harus bertahap, perlu waktu.

Lagi pula secara teknis, belanja senjata secara besar-besaran itu sangat tidak mungkin dilakukan. Apa yang mau dibeli?  Rudal antar benua? Belinya dari mana?

Sebuah negara tak akan bisa beli senjata dalam jumlah besar dari Amerika jika negara itu bukan antek Amerika, seperti Israel atau Arab Saudi. Gak bakalan dikasih.

Terus, bagaimana kalau dari Rusia? Katakanlah dikasih. Dapat dipastikan akan direspon oleh Amerika (dan sekutunya) dengan berbagai kebijakan represif proteksionistik: embargo, sanksi ekonomi, segala macam hambatan, seperti mereka lakukan terhadap Korea Utara.
Mau?

Harus dipahami, jika satu negara membangun sistem persenjataannya tanpa alasan yang jelas, akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi negara-negara tetangga.

Yang juga harus dipikirkan adalah, semua persenjataan yang dimiliki itu ada biaya pemeliharaannya, harus terjamin ketersediaan suku cadangnya, dan seterusnya.

Sebagai pengetahuan, satu unit FA 18F Super Hornet harganya US$75 juta – US$80 juta (Rp1,12 triliun), belum termasuk persenjataannya.

Duit sebanyak itu bisa dipake buat bangun 610 sekolah. Mending mana? Katakanlah ngotot. 
Duitnya dari mana? Dari kebocoran yang Rp1.000 triliun per tahun dan dibawa lari ke luar negeri. Kalo bener ada, coba tunjukkan kebocorannya di mana? Siapa pelakunya? Dibawa ke negara mana? Mana data dan bukti-buktinya?

Jangan mentang-mentang pernah jadi tentara, pengennya beli senjata. Ntar kalok orang yang suka pake celana legging jadi capres, pengennya anggaran buat beli celana legging dinaikkan jadi 30% dari APBN. Kan jijay. Najong tralala deh iiihh...!

Lagian, sekarang Indonesia mau nyerang negara mana? Kalau Indonesia terancam, terancam oleh negara mana? Kan kalaupun ada persoalan-persoalan antar negara, lebih mudah, lebih cepat, lebih murah, dan lebih berartabat diselesaikan melalui jalur diplomatik.

Harusnya kita bersyukur sejauh ini Indonesia tidak berkonflik, apalagi berperang dengan negara manapun.

Eit... kamu jangan ketawa! Pertahanan hati kamu tuh rapuh!

***