Akibat konflik ini GMF tidak mau lagi memelihara pesawat Sriwijaya. Dari 30 pesawat tinggal 12 yang layak terbang. Itu pun akan berkurang lagi.
Citilink menggugat Sriwijaya ke pengadilan. Soal kerjasama mereka yang kandas.
Tanggal 19 Oktober nanti akan mulai disidangkan.
Saya bisa memahami langkah anak usaha Garuda Indonesia itu.
Juga tidak bisa memahaminya.
Dengan menggugat, Citilink setidaknya selamat. Secara prosedur.
"Kami sudah mengambil langkah hukum" --kalimat seperti itu penting bagi perusahaan plat merah.
"Sudah mengambil langkah hukum" adalah kata pamungkas. Untuk menghadapi pemeriksaan BPK. Atau pemeriksaan-pemeriksaan lainnya.
Apakah langkah hukum itu yang terbaik bagi perusahaan itu soal lain.
Orang bisnis biasanya menjauhi langkah hukum. Repotnya bukan main. Hasilnya belum tentu baik. Bisa sama-sama jadi abu.
Tapi bagi perusahaan seperti Citilink hasil bukan yang terpenting. Prosedur lebih penting.
Itulah bagian yang saya bisa memahami.
Dan itulah bagian yang sangat saya benci.
Juga dibenci oleh semua enterpreneur.
Tapi bagi eksekutif perusahaan seperti Citilink keselamatan diri mereka lebih penting dari keselamatan perusahaan.
Misalkan hasil di pengadilan itu nanti Citilink kalah. Eksekutifnya tetap selamat. Prosedur sudah diambil. Kalah adalah konsekuensi saja dari sebuah prosedur.
Bahwa akibat kekalahan itu Citilink --secara perusahaan-- harus rugi itu soal lain. Toh ketika kerugian itu harus dibayar, eksekutifnya sudah tidak duduk di sana lagi. Tidak ikut merasakan kerugian itu.
Di perusahaan swasta beda. Ketika menghadapi hal yang sama para pihak pilih berunding habis-habisan.
Kalau perlu saling mengalah.
Kecuali yang terjadi di Surabaya. Antara dua pengusaha besar Tionghoa. Yang sampai hati memasukkan partnernya ke tahanan.
Tapi Citilink akhirnya juga mencabut gugatan. Meski itu lebih atas perintah induk perusahaannya: Garuda Indonesia. Dan Garuda atas arahan atasannya lagi.
Manajemen Citilink lebih selamat lagi. Ketika menggugat ia selamat. Ketika mencabut gugatan ia juga selamat.
Dalam urusan ini Citilink kelihatannya memang hanya pelaksana. Kerjasamanya dengan Sriwijaya pun tampaknya bukan inisiatif Citilink.
Awalnya kan sangat jelas: Sriwijaya punya utang ke anak perusahaan Garuda: GMF. Utang dagang biasa: Sriwijaya memperbaiki semua pesawatnya di GMF.
Biaya pemeliharaan itu ada yang belum dibayar. Termasuk juga biaya perawatan pesawat milik NAM Air --anak usaha Sriwijaya.
Kian lama tunggakan itu kian besar. Terakhir, konon mencapai Rp 1,6 triliun.
Tagihan besar seperti itu bikin serba salah. Terutama bagi manajemen GMF.
Apalagi kalau Sriwijaya-nya punya banyak koneksi. Yang bisa menekan GMF.
Pilihan GMF serba sulit: tidak mau lagi memperbaiki pesawat Sriwijaya?
Tagihannya tidak akan dibayar. Dengan alasan: penghasilannya berkurang. Gara-gara pesawatnya tidak bisa terbang.
Peraturan di penerbangan sangat ketat. Pesawat yang mestinya diperbaiki tidak boleh dioperasikan.
Kalau GMF terus memperbaiki?
Tagihannya kian besar. Hasil operasi belum tentu untuk membayar biaya pemeliharaan. Bisa-bisa untuk membayar utang yang lain.
Ada 'hukum' di bidang bisnis itu begini: siapa yang lebih keras menagih ialah yang dibayar lebih dulu.
Perusahaan BUMN biasanya paling kurang keras melakukan penagihan.
Kadang juru tagihnya malas. Atau kurang terampil. Kadang ada yang terutang budi --atau utang lainnya. Kadang justru dilarang menagih keras-keras.
Di swasta, tagihan adalah urusan hidup mati.
Itu yang juga selalu saya ajarkan. Termasuk kepada pebisnis pemula. Yang biasanya sangat lemah dalam urusan keberanian menagih.
Akhirnya tagihan kian besar. Kian takut pula menagih. Takut kehilangan pelanggan. Juga takut yang ditagih marah.
Banyak pemula yang tidak merasa: uang itu adalah uangnya. Yang ada di tangan orang lain. Yang harus diambil.
Kalau memang segan menagih lebih baik diikhlaskan. Jadi sedekah. Lalu berhentilah berbisnis. Jadilah lembaga sosial.
Tagihan yang tidak tertagih itu menjadi laba di akhir tahun. Tapi itu laba yang bentuknya hanya angka. Bukan uang.
Laba itu dikenakan pajak.
Jadi, kalau tagihannya Rp 1,6 triliun, GMF harus membayar pajak laba 30 persennya.
Hanya pemula yang tidak sadar itu.
Tapi GMF bukan pemula.
Mengapa sampai punya tagihan sebesar itu.
Mengapa tidak tegas ketika tagihannya baru Rp 40 miliar atau Rp 100 miliar?
Mengapa pula langkah berikutnya justru kerjasama?
Tentu saya tahu maksudnya: agar manajemen Sriwijaya bisa diambil alih.
Motif pengambil alihan itu bisa dua:
a). Sekedar mengamankan uang.
b). Ada keinginan menguasai (mencaplok).
Kalau motifnya mengamankan uang berarti harus ada keyakinan: bahwa Sriwijaya masih bisa menghasilkan uang yang melebihi biaya operasi.
Kelebihan itulah yang akan dipakai membayar tagihan. Lama-lama utang itu bisa lunas.
Kalau motifnya menguasai tentu lain lagi. Tapi untuk apa?
Yang jelas Sriwijaya setuju kerjasama itu. Manajemen Sriwijaya diserahkan ke Garuda.
Orang-orang Garuda ditempatkan di Sriwijaya. Bahkan sampai tingkat direktur utama.
Sampai di sini kelihatannya Sriwijaya sudah pasrah. Mungkin juga ditekan oleh banyak pihak. Yang sama-sama punya tagihan ke Sriwijaya. Yang nilainya juga ratusan miliar.
Misalnya Pertamina. Konon Sriwijaya punya utang bahan bakar sampai Rp 800 miliar. Padahal Pertamina bukan perusahaan pemula. Meski dirutnya selalu pemula --belakangan ini.
Ke Angkasa Pura juga punya tagihan besar --sewa bandara. Ke Bank BNI juga punya tagihan besar: kredit bank.
Mereka tentu senang kalau manajemen Sriwijaya di tangan Garuda. Ada harapan tagihan itu bisa dibayar - -pelan-pelan.
Garuda pun kelihatan asyik mengelola Sriwijaya. Lewat anak usahanya: Citilink.
Dalam langkah sehari-harinya kemudian terasa: Sriwijaya sudsh seperti menjadi grup Garuda. Sudah seperti anak perusahaan Garuda.
Logo Garuda pun sudah dipasang di Sriwijaya. Mungkin untuk meningkatkan kepercayaan. Agar Sriwijaya kian disenangi. Hasilnya kian banyak. Utangnya kian cepat lunas.
Mulailah ada yang mempersoalkan: KPPU. Pengawas persaingan usaha itu menilai Garuda melanggar. Dianggap melakukan monopoli --menguasai lebih 50 persen pangsa pasar.
Tentu ada yang mengadukannya. Siapa?
Di perantauan begini membuat saya tidak segera tahu siapa.
Garuda beralasan angka itu salah. Sriwijaya bukanlah grupnya.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews