Mimpi Sejuta

Bisnis migas terlalu banyak risiko. Jangka waktunya juga terlalu panjang. Sangat tidak menarik --kalau insentifnya tidak sangat menggiurkan.

Rabu, 15 Januari 2020 | 14:54 WIB
0
348
Mimpi Sejuta
Ilustrasi migas(Foto: dunia-energi.com)

Saya terkejut-senang. Yakni ketika menerima WA dari teman baik. Yang memberitahukan bahwa pemerintah sudah punya target --memproduksi minyak mentah 1 juta barel/hari.

Itu angka keramat yang sulit dicapai presiden siapa pun: kecuali Pak Harto.

Produksi minyak mentah kita turun terus. Terakhir kurang dari 800.000 barel sehari. Akibatnya kita harus impor BBM terus. Pun kian lama kian besar. Kebutuhan minyak sehari mencapai 1,2 juta barel.

"Hebat," kata saya dalam hati.

Mestinya teman saya itu jangan meneruskan WA-nya. Yang hanya membuat kegembiraan saya itu layu ketika baru saja mulai berkembang.

"Itu target tahun 2030," tulisnya.

Ups...

Ya sudah.

Yang penting ada target. Kalau pun tidak tercapai kan kita sudah lupa.

Tapi belum tentu tidak tercapai. Bisa jadi justru tercapai lebih cepat.

Mengapa?

Pemerintah Jokowi sudah mengoreksi keputusan pemerintah Jokowi sebelumnya.

Yakni tidak lagi memaksakan aturan gross split pada investor di ladang migas.

Menteri ESDM yang baru, Arifin Tasrif, membuat putusan bijak. Tidak perlu mencabut peraturan menteri sebelumnya --yang membuat Bu Susi sewot.

Ups... Salah.

Ini kan tidak ada hubungannya dengan Bu Susi --mantan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Ini menyangkut Kementerian ESDM. Yang aturan gross split itu memang banyak juga bagusnya.

Kini, dengan peraturan bijak itu, investor boleh pilih. Ada dua menu yang kini tersedia: menu lama (gross split) atau menu yang lebih lama lagi (cost recovery).

Di atas kertas sistem gross split sebenarnya memang lebih sederhana. Juga bisa menghilangkan ruwetnya proses persetujuan untuk mendapatkan cost recovery.

'Keruwetan' itulah yang selama itu membuat birokrasi di BP-Migas (kini SKK Migas) menjadi obesitas --dengan segala penyakit ikutannya.

BP-Migas pernah menjadi mirip kerajaan di dalam negara.

Saya pernah ke kantor Kepala BP Migas. Waktu saya masih menjadi sesuatu dulu. Saya kaget-habis: mewahnya tak terpermanai.

Ruang kepala itu satu lantai penuh. Dengan perabotan yang sangat tidak pantasnya --sebagai kantor instansi pemerintah.

Saya benar-benar speechless.

Saya mencoba memahami jalan pikirannya. Misalnya "memancing ikan besar jangan pakai cacing kecil". Atau "kalau yang diumpankan kacang dapatnya hanya monyet". Lalu ingat juga pepatah Surabaya "jer basuki mowo beo".

Tetap saja saya tidak paham.

Kritik keras yang lain terhadap sistem ruwet cost recovery adalah: besarnya uang yang dikeluarkan pemerintah. Yang dipotongkan dari bagi hasil minyak.

Itu karena biaya apa pun yang terkait dengan pengeboran harus diganti. Termasuk biaya pulang untuk libur akhir pekan --yang pulangnya itu ke luar negeri.

Dengan sistem gross split semua keruwetan itu hilang. Pokoknya, wahai investor, silakan gali sumur migas. Tanggung sendiri semua biayanya. Kalau berhasil kalian akan mendapat bagian --lebih banyak dari pada sistem recovery.

Kalau gagal ya itulah resiko bisnis. Tanggung sendiri.

Di sistem cost recovery, semua biaya itu tetap ditanggung investor. Tapi sifatnya talangan. Kelak semua biaya itu ditagihkan ke pemerintah ---ke BP-Migas.

Setelah itu hasil migasnya dibagi --investor mendapat bagian lebih kecil dibanding sistem gross split.

Hasil akhirnya sebenarnya sama.

Keuntungan gross split bagi investor jelas: urusan administrasinya sederhana.

Sedang keuntungan bagi pemerintah jelas: memangkas birokrasi --termasuk menghilangkan korupsi sejak dari sumbernya.

Tapi, di dunia bisnis, yang ideal belum tentu bisa jalan. Buktinya sistem gross split itu tidak membuat investor tertarik. Masa return on invesment-nya terlalu panjang.

Kecuali, mungkin, dilakukan perbaikan. Sistem bagi hasil di gross split-nya dibuat berjenjang.

Misalnya bagi hasil lima tahun pertama sangat besar. Lima tahun kedua mengecil. Dan seterusnya.

Memang ada juga yang mau gross split, tapi umumnya yang kategori perpanjangan ijin. Bukan yang menggali sumur minyak baru.

Sistem gross split bisa dibilang gagal.

Baik juga.

Kita pernah mencoba sistem gross split. Agar pengritik sistem cost recovery tidak lagi ngotot-ngotot.

Kini silakan pilih menu. Mau gross split silakan. Mau cost recovery ok.

Kapan sistem "pilih menu" itu mulai berlaku?

Belum diumumkan. Tentu tidak boleh lagi balik ke sistem cost recovery zaman BP-Migas. Harus ada perbaikan. Harus dibuang dulu lemak dan kolesterolnya. Dan itulah yang sedang dilakukan di Kementerian ESDM sekarang ini.

Dengan sistem menu itu bisakah produksi minyak mentah kita naik --dan mencapai 1 juta barel?

Daging berlemak memang bahaya, tapi banyak juga yang menyenangi.

Potong lemak dan kolesterol tentu baik. Tapi kalau tidak diminati mau apa.

Ambisi menaikkan produksi minyak sangatlah baik. Tapi juga harus realistis.

Zaman sudah berubah. Pemilik uang tidak mau lagi bekerja keras seperti dulu. Apalagi bekerja belepotan minyak.

Kini banyak sekali pilihan bisnis baru. Mulai artificial intelegence sampai produksi daging imitasi.

Bisnis migas terlalu banyak risiko. Jangka waktunya juga terlalu panjang. Sangat tidak menarik --kalau insentifnya tidak sangat menggiurkan.

Belum lagi mereka juga sudah berhitung: masa depan adalah listrik. Bukankah minyak lagi.

Penemuan sistem penyimpanan listrik akan merombak habis sistem energi dunia.

Membuat target menurunkan konsumsi BBM akan lebih futurustik daripada menaikkan produksi migas.

Tapi saya juga memaklumi: orang tua punya kebiasaan memimpikan masa lalu.

Dahlan Iskan

***