Netizen Desak Menteri Erick Thohir Benahi Kasus Nasabah Vs Bank

Erick harus membenahi BRI yang berada di bawah kekuasaannya. Hal ini agar tidak berimbas buruk pada bank-bank plat merah lainnya seperti BNI, BTN, Mandiri dan lain-lain.

Senin, 27 Desember 2021 | 15:28 WIB
0
195
Netizen Desak Menteri Erick Thohir Benahi Kasus Nasabah Vs Bank
Tim Kuasa Hukum Indah Harini

Akibat "salah transfer" dana ke rekeningnya,  Indah dilaporkan kepada polisi oleh pihak bank BRI. Padahal seingat Indah, dia memang sempat mengisi formulir tax refund dan beberapa 17 lembar kupon undian dan dimasukkan ke dropbox yang tersedia.

Akhirnya kasus bank melawan nasabah, masih berlanjut. Setelah saling melapor, kini nasabah balik menggugat bank sebesar Rp1 Triliun. Bagaimana ujung dari kasus ini? Bagaimana peran Menteri BUMN?

Indah Harini, adalah seorang nasabah prioritas di BRI, bank plat merah. Dia dilaporkan ke polisi oleh bank karena dianggap menerima kiriman uang yang "salah transfer".

Indah telah mendapatkan transfer sejumlah dana ke rekening tabungan Valas GBP miliknya yaitu :

* Tanggal 25 November 2019 dalam 3 kali transaksi;
* Tanggal 10 Desember 2019 terdapat 4 kali transaksi, dan;
* Tanggal 16 Desember 2019 terdapat transfer 2 kali transaksi.

Akibat transfer dana tersebut, Indah dilaporkan kepada polisi oleh pihak bank BRI. Padahal seingat Indah, dia memang sempat mengisi formulir tax refund dan beberapa 17 lembar kupon undian dan dimasukkan ke dropbox yang tersedia.

Tax refund dan kupon tersebut, lalu diminta oleh Indah kepada BRI untuk dikreditkan ke rekening tabungan valas GBP yang ada di bank pemerintah tersebut. 

Nah, kemungkinan dari sanalah muara uang masuk ke rekeningnya dan dianggap "salah transfer" itu. 

Uang yang diterima Indah berstatus "salah transfer" itulah, Indah dianggap telah melakukan tindak pidana 85 UU No 3 Tahun 2001 Tentang Transfer Dana.

Isi Pasal 85 itu memang tidak main-main. "Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar".

Nah.. ngeri kan? 

"Salah transfer" atau "tidak sengaja transfer" dari pihak bank, memang sesuatu yang sudah sering terjadi. Banyak contoh kasus sudah menghiasi pemberitaan media, bahkan ada yang sampai ke ruang sidang pengadilan.

Kejahatan perbankan dalam hal "kesalahan" transfer dana oleh perbankan sering terjadi. Bahkan bisa saja apabila kasus itu dilaporkan oleh pihak perbankan ke penegak hukum, yang menjadi korban sebagai tersangka adalah nasabah atau penerima dana tersebut.

Padahal, bisa saja diduga pihak perbankan melakukan kesalahan sistem dalam hal transfer dana, namun lantaran dengan adanya Pasal 85 Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. 

Pasal itu pun menjadi senjata sakti yang dipakai pihak perbankan dengan alasan "salah transfer". Seperti yang dialami nasabah Indah Harini dengan pihak BRI.

Sementara pihak bank, terkesan seperti tidak tersentuh hukum. Padahal terdapat sanksi pidana dan perdata ketika sistem tersebut tidak dilakukan perbaikan dan pembatalan oleh pihak bank. Bahkan terkadang dibiarkan hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Dalam kasus nasabah Indah Harini, berbulan-bulan tidak ada komplain dari BRI, sampai kemudian dihubungi agar uang hasil "salah transfer" itu dikembalikan ke BRI.

Lalu pertanyaannya bagaimanakah kedudukan Pasal 85 UU Nomor Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, dan milik siapakah dana yang telah ditransfer tersebut?

Ahli Hukum Pidana Beniharmoni Harefa mengatakan, bahwa ada unsur-unsur Tindak Pidana pada Pasal 85 UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Unsur pidana "dengan sengaja menguasai dan mengakui" dikecualikan apabila, pihak penerima dana melakukan klarifikasi atau menanyakan atau cross-check kepada pihak Bank terkait dana yang masuk.

"Unsur dengan sengaja yang dimaksud dalam rumusan delik Pasal 85 UU a quo, bahwa antara niat, perbuatan dan akibat harus terwujud," kata Beni seperti dikutip investor.id

**

Indah Harini, kini sudah dijadikan tersangka oleh BRI -- di mana Indah tak lain adalah nasabahnya sendiri. Jelas ada konsensi hukum dari status tersangka yang "kurang indah" ini bagi Indah sendiri.

Coba saja simak pelan-pelan arti dari istilah "status" tersangka itu. Berdasarkan Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 butir 14 disebutkan sebagai berikut :

"Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tidak pidana".

Memang sih tetap dijamin adanya hak bagi tersangka, setidaknya ada 14 hak tersangka, yaitu : 

1. Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan, (2) hak untuk diberitahukan dengan yang bahasa dimengerti, (3) hak memberikan keterangan secara bebas, (4) hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa, (5) hak untuk mendapatkan bantuan hukum, (6) hak mengubungi penasehat hukum, (7) hak menerima kunjungan dokter pribadi, (8) hak menerima kunjungan keluarga, (9) hak menerima dan mengirim surat, (10) hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk umum, (11) hak mengajukan yang menguntungkan, (12) hak meminta banding, (13) hak menuntut ganti kerugian, (14) hak memperoleh rehabilitasi.

Dari 14 hak itu, Indah Harini sudah mencoba menggunakan satu dari 14 hak itu, yakni nomor urut 5 (lima) : "hak mendapatkan bantuan penasehat hukum".

Lalu kenapa pihak BRI terkesan tidak siap menghadapi kasus Indah Harini ini? Misalnya, BRI koq sampai kaget melihat nasabah yang dijadikan sasaran tembak itu membawa pengacara (Henri Kusuma) saat akan klarifikasi?

Pihak BRI mungkin lupa, bahwa dalam menjalankan profesinya seorang pengacara (advokat, lawyer, penasehat hukum) harus independen. 

Dia harus bebas dari segala rasa takut, ancaman, dan intervensi dari semua pihak dalam membela, memberi nasehat hukum dan mewakili kepentingan kliennya.

Demikian juga dalam memberi pendapat hukum, seorang pengacara harus bebas dari segala bentuk tekanan dan kadang-kadang harus berani menantang pendapat umum.

Seorang pengacara harus bebas berbicara di muka umum (dan di dalam pengadilan) untuk kepentingan klien dan masyarakat.

Ya tentu saja, termasuk harus "melawan" dengan argumentasi hukum ketika BRI menolak kehadirannya sebagai kuasa dari kliennya, Indah Harini.

Kemudian BRI juga mengancam nasabah dengan menyeretnya ke ranah hukum, menjadikannya tersangka -- dan itu terbukti kemudian. Indah pada akhirnya dijadikan tersangka oleh pihak penyidik.

Padahal, ada yang namanya praduga tidak bersalah atau istilah hukumnya "presumption of innocence". Asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana bersifat absolut ataukah bersifat relatif?

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut.

Baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup.

Yakni setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan yang yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam hukum pidana dikenal asas siapa yang menyangka/mendakwa diwajibkan membuktikan kebenaran dari dakwaannya.

Dengan penetapan status lndah sebagai tersangka, dia pun "melawan" dengan mengajukan praperadilan terhadap penyidik.

Semua ini membuktikan bahwa BRI terkesan tidak siap dan bahkan kalap mengalami gugatan nasabahnya ini.

Lalu timbul pertanyaan besar, bagaimana peran Erick Thohir selaku Menteri BUMN yang membawahi BRI?

Intinya, Erick harus membenahi BRI yang berada di bawah kekuasaannya. Hal ini agar tidak berimbas buruk pada bank-bank plat merah lainnya seperti BNI, BTN, Mandiri dan lain-lain.

Terima kasih, salam @ Nur Terbit

* Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana