Lombok Menanti Anak Pengungsi

Selasa, 21 Agustus 2018 | 06:47 WIB
0
610
Lombok Menanti Anak Pengungsi

Hanya bisa pasrah. Itulah yang terjadi di Lombok. Saat ini. Yang diguncang gempa beruntut. Susul menyusul. Tanpa tahu kapan datang. Berapa lama. Berapa besar.

Pasrah. Tidur di tenda. Seadanya. Tendanya maupun logistiknya.

Pasrah. Hanya itu yang bisa diperbuat. Yang ternyata ada hasilnya. Tidak banyak lagi korban jiwa. Di gempa dahsyat tengah malam. Minggu malam kemarin. Yang skalanya 7 SR.

Begitu sering gempa datang. Sejak tanggal 7 Agustus saja sudah 17 gempa. Yang di atas 5 SR. Atau 4 gempa. Yang di atas 6 SR. Sampai-sampai saya tidak bisa menjawab. Saat ada pertanyaan dari luar negeri: apakah pernah di masa lalu sesering dan sebesar itu.

Mereka sangat memerlukan data itu. Untuk masa depan Lombok. Yang ekonominya harus maju. Yang bangunan-bangunannya tidak cukup harus tahan gempa. Tapi harus tahan diguncang gempa beruntun.

Saya tidak pernah mendalami kondisi Lombok di masa lalu. Keterlibatan saya baru intensif belakangan. Saat menjabat Dirut PLN. Lombok adalah daerah yang paling parah krisis listriknya.

[caption id="attachment_21138" align="alignleft" width="542"] Ilustrasi (Foto: Disway.id)[/caption]

Terutama Lombok Timur. Di situ ada ‘PLN swasta’: Koperasi Rinjani. Yang sudah lama tidak berdaya. PLN tidak bisa begitu saja. Masuk ke wilayah koperasi itu. Bukan main sulitnya memecahkan persoalan ini. Alhamdulillah bisa selesai.

Saya juga tidak banyak tahu tentang Gunung Rinjani. Yang menyimpan misteri itu. Tahu saya hanya tiga: Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Tambora. Yang ketika meledak menggegerkan dunia.

Saat Gunung Toba meletus abunya sampai Jerman. Begitu dahsyatnya. Sampai terbentuk danau Toba. Yang luasnya 1.130 km2. Yang dalamnya lebih 500 meter.

Begitu juga aaat Krakatau meletus. Dunia gelap gulita. Gunungnya sampai hilang sama sekali. Hanya terlihat sedikit puncaknya. Itu pun kalau laut lagi surut.

Ketika Gunung Tambora meletus abunya sampai New York. Terbang dari tempat asalnya: di Sumbawa. Tinggi Gunung Tambora pun sampai berkurang 1.500 meter. Dari 4.300 meter sebelum meletus pada tahun 1815, menjadi tinggal 2.850 meter saat ini.

Hanya itu yang sering saya pelajari.

Saya tidak tahu. Bahwa letusan Rinjani dua kali lebih hebat dari Tambora. Pada tahun 1257, atau 44 tahun sebelum Majapahit berdiri. Waktu itu nama Rinjani belum disebut. Di Lombok hanya ada gunung Samalas.

Gunung Samalas itulah yang meledak. Menimbulkan gumpalan hitam di udara. Yang besarnya melebihi pulau Lombok. Musim dingin di Eropa sampai tidak dingin. Begitu juga di Amerika. Bahkan musim panas berikutnya menjadi tidak panas.

Samalas mengguncang dunia. Gunung itu tidak hanya meledak. Tapi lenyap. Hilang. Jadi debu. Menyebar sampai ke seluruh dunia. Para petani di Mongolia gagal panen. Demikian juga di belahan dunia lainnya.

Gunung Samalas hilang. Tinggal anaknya: Rinjani. Yang terus menerus bergolak. Meski tidak sedahsyat bapaknya. Tahun 1257 itulah Lombok kehilangan dua: Gunung Samalas dan kerajaan Pamatan. Yang pusat kekuasaannya di kaki Samalas.

Seluruh Lombok tertutup abu. Sang Raja tewas. Rakyatnya nyaris punah. Bahkan sampai Bali. Yang penduduknya berkurang sangat banyak. Sampai-sampai dengan mudah ditaklukkan oleh raja-raja dari Jawa Timur. Beberapa puluh tahun berikutnya.

Kini sudah tidak ada yang ingat Samalas. Atau Gunung Samalas. Tapi gempa yang diwariskannya masih terus menghantui kita.

Di selatan Lombok memang ada patahan bumi. Kira-kira 300 km jaraknya. Yang membujur dari barat ke timur.

Dan di bawah Lombok sana ada zona seismic. Disebut zona Benioff. Sesuai dengan nama penemunya. Letaknya sekitar 170 km di bawah Lombok. Zona itu aktif. Membuat gerakan-gerakan.

Saya tidak ahli bidang ini. Hanya banyak belajar. Saya tidak tahu hubungan antara patahan bumi itu dengan pergerakan di zona seismic itu. Saya juga tidak tahu hubungan antara keduanya dengan meletusnya Gunung Samalas. Lebih 600 tahun yang lalu. Atau meletusnya Tambora 200 tahun lalu. Atau rentetan gempa saat ini.

Saya tidak tahu. Saya hanya pasrah. Seperti para pengungsi.

Tapi saya percaya. Ilmu pengetahuan akan bisa banyak berbuat. Ketika kita sudah menjadi masyarakat ilmiah. Kalau sudah banyak ahli geologi. Salah satunya, mungkin, si anak pengungsi saat ini.

***

Dahlan Iskan