Menguji Kemauan yang Tidak Berkarat

Minggu, 5 Agustus 2018 | 09:41 WIB
0
637
Menguji Kemauan yang Tidak Berkarat

Tapi kambing-kambingnya ada. Tidak mengapa juragannya tidak ada: Ricky Elson lagi di Malang. Biasa. Diundang mahasiswa. Diskusi engeneering. Ia masih seorang engeneer yang unggul. Kadang ia menyebut dirinya angoneer. Melakukan pekerjaan angoneering. Angon kambing.

Kambingnya lebih 300 ekor. Di Ciheras. Di tempat ia mendidik calon-calon engeneer. Yang datang ke Ciheras dari seluruh Indonesia. Juga tempat menempa mereka. Menjalani school of suffering. Agar menjadi engeneer berkarakter.

Saya tidak mungkin membatalkan jadwal mendadak saya. Ke Ciheras itu. Biar pun hanya bertemu para kambing, misalnya. Hari itu saya sudah berada di dekat-dekat situ: di Sirna Rasa. Di pusatnya tarekat Qadiriyah. Bertemu mursyid Abah Gaos. Melaporkan perjalanan spiritual saya selama di Amerika –di samping perjalanan bisnis.

Ternyata sudah ada murid Abah Gaos di Amerika. Mendirikan masjid besar di Texas. Di kota Houston. Masjid Istiqlal.

Dahlan Iskan saat mengunjungi kediaman Abah Gaos pekan lalu.
Dari Sirna Rasa saya mampir ke Cipatujah. Melewati Danau Panjalu yang magis. Melewati jalan-jalan kecil tapi mulus. Berliku. Naik-turun gunung. Sambil menikmati indahnya alam Priangan. Saya juga melewati Pamijahan. Yang makam mursyid tarekat Satariyahnya diziarahi ribuan orang tiap hari. Termasuk saya. Beberapa waktu lalu.

Maka ketika tiba di Ciheras senja sudah tiba. Langsung salat maghrib. Lantas melihat-lihat kambing dan domba. Juga melihat tempat pembuatan aneka produk: tepung daun kelor, penyulingan jahe, pembuatan virgin coconut oil. Serba kecil. Serba sederhana. Seperti ikan-ikan kecil di kolam kecil.

Tapi itu ikan.

Ada nafasnya.

Ada keringatnya.

Ada semangatnya.

Bukan monster.

Yang akan menelan kita.

Saya pun menunggu acara berikutnya: makan malam.

Tapi tiba-tiba lampu mati. Gelap. Untung ada tenaga angin. Di halaman rumput itu tetap terang benderang. Kincir-kincir angin di situ menghasilkan listrik.

Itulah para penari langit made in Ciheras. Hasil praktek para mahasiswa. Di bawah bimbingan Ricky Elson.

Maka di lapangan rumput itulah kami makan malam. Tikar digelar. Daun pisang dijejer. Memanjang di atas tikar. Masih ada pelepahnya. Tiga baris.

Nasi ditumpah di atas daun pisang itu. Juga ikan bakarnya. Sambalnya. Sayur kangkungnya. Mentimun rajangnya.

Sekitar 100 mahasiswa makan malam bersama. Duduk di tikar. Berjajar. Berhadap-hadapan. Menghadap daun pisang.

Di halaman itu pulalah acara berikutnya dilaksanakan. Kampung sekitar masih gelap.  Pet tidak segera byar. Tapi sinar lampu penari langit di halaman itu masih sangat terang.

Itulah acara evaluasi harian. Dilakukan secara disiplin tiap malam. Mengenai apa yang dilakukan mahasiswa sepanjang hari itu.

Forum evaluasi ini khas mahasiswa: serius tapi santai. Banyak celetukan gerr. Sahut-menyahut. Penuh gelak tawa. Atau saling ejek.

Dahlan Iskan di tengah para mahasiswa di site Lentera Bumi Nusantara di Ciheras.
Lebih 20 kelompok belajar di Ciheras. Kelompok turbin. Kelompok otomation.  Kelompok pembuatan bilah. Dan semua yang terkait teknologi.

Mereka memang mahasiswa tehnik. Umumnya semester enam atau tujuh. Umumnya juga satu bulan di Ciheras.

Laporan kelompok itu umumnya dimulai dari olahraga. Ada yang jalan di pantai. Atau main voly. Lokasi ini memang di bibir pantai selatan Tasikmalaya. Debur ombak sangat besar. Sepanjang hari. Sepanjang malam.

Setelah laporan tehnik umumnya ditutup dengan ini: angon. Memandikan atau memberi makan kambing itulah prodi angoneering di Ciheras.

Malam itu ada empat mahasiswa yang baru tiba. Harus maju ke tengah lingkaran: memperkenalkan diri. Dan siap dibully. Ada yang dari Gorontalo, Malang, Balikpapan dan Jakarta.

Mereka adalah calon ikan-ikan besar. Orang baru bisa besar kalau ada kemauan. Mereka sudah menunjukkan kemauan itu. Datang dan tinggal di Ciheras. Tanpa ada yang meminta –apalagi memaksa.

Kemauan itu yang harus diuji: berapa karatkah kemauan itu. Ciheras adalah lembaga penguji kemauan. Saya melihat kemauan mereka –untuk meminjam istilah dalam menilai emas– setidaknya sudah 22 karat.

Banyak orang mengatakan punya kemauan. Tapi banyak juga yang kemauannya hanya 18 karat. Bahkan tidak berkarat sama sekali.

***

Dahlan Iskan