Karyawan, Bukan Sekadar Pelaksana Perintah

Minggu, 22 Juli 2018 | 22:46 WIB
0
568
Karyawan, Bukan Sekadar Pelaksana Perintah

Saya cukup sering menemukan pengusaha yang meninggikan derajatnya dibanding karyawan. Mereka jadi pengusaha karena tidak mau diperintah-perintah lagi. Bahkan ada yang bilang, tidak mau jadi kuli lagi. Artinya, ketika dia jadi pengusaha, mungkin dia akan memberi perintah-perintah, atau bahkan menganggap karyawannya kuli.

Pernah suatu kali saya ikut seminar yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan konsultan. Seorang pembicara yang hadir adalah orang yang tadinya karyawan, lalu merasa “naik kelas” jadi pengusaha. Nada bicaranya seperti tadi, memandang dirinya lebih tinggi dari karyawan. Mariko Yoshihara yang duduk di sebelah saya, seorang pengusaha juga, ngedumel,”Saya paling nggak suka dengan pengusaha yang menganggap dirinya lebih tinggi.”

Tapi ini kan dunia bebas. Jadi bebas saja kalau ada pengusaha yang merasa dirinya lebih tinggi, lebih hebat, dan lebih kaya.

Di sebuah tulisan saya ada pengusaha yang bilang,”Karyawan kan enak, tinggal melaksanakan perintah bos.” Baiklah, saya bagi sedikit cerita saya, seorang karyawan.

Saya baru bekerja di perusahaan tahun 2007, sepulang dari Jepang. Profesi saya sebelumnya adalah dosen dan peneliti. Saya masuk ke perusahaan dengan pengalaman nol. Untungnya direktur perusahaan yang menyeleksi saya waktu itu lebih melihat potensi saya, sehingga ia menerima saya untuk posisi manejer di sebuah perusahaan manufaktur Jepang yang baru berdiri.

Bekerja sambil belajar, tak terasa 4 bulan berlalu. Pekerjaan urgen, produksi musim pertama untuk ekspor ke Jepang selesai. Saya punya waktu agak luang waktu itu, sehingga bisa agak banyak untuk berpikir. Salah satu yang mengusik saya adalah bea masuk yang tinggi untuk bahan baku. Dari berbagai obrolan dan baca-baca saya tahu bahwa bea masuk, ditambah PPN itu bisa dibebaskan dengan fasilitas Kawasan Berikat.

Saya usul kepada direktur yang merekrut saya. Posisi dia sebenarnya direktur non operasional, kehormatan saja. Dia presiden di perusahaan grup kami, yang skalanya lebih besar.

“Kenapa kita tidak memakai fasilitas Kawasan Berikat saja?”

“Itu sudah pernah dipikirkan, tapi kita tidak memenuhi syarat.”

Apa sih syarat itu? Ternyata cuma soal lokasi pabrik kami yang berada di dalam lahan pabrik lain. Kami menyewa lahan itu dari perusahaan grup. Syarat Kawasan Berikat adalah pabrik harus punya lokasi yang tidak becampur dengan perusahaan lain. Kata saya, kan tinggal kita tambah pagar saja.

“Kamu bisa urus?”

“Bisa.”

Usulan itu disampaikan ke pemilik perusahaan di Jepang. “Kalau Hasan bilang bisa, saya percaya,” katanya. Lalu saya urus, dan jadi. Dengan fasilitas itu kami menghemat biaya bahan baku sebesar 10-15%. Dengan skala bisnis waktu itu, ketika perusahaan masih sangat kecil, itu setara dengan penghematan 2 milyar setahun, ditambah kelegaan dalam hal cash flow, karena hilangnya beban bea masuk dan PPN setiap kali impor.

Atas hasil itu saya segera diangkat menjadi direktur, gaji naik 100%, mobil diganti. Tidak ada perintah bos di situ. Saya berinisiatif. Sebagai karyawan yang sudah digaji saya merasa punya kewajiban moral untuk membalas budi perusahaan. Maka saya usulkan, saya eksekusi usul itu.

Berikutnya perusahaan hendak memperluas jenis produksi. “Kamu sanggup mengurus semua izinnya?” tanya bos, pemilik perusahaan. “Sanggup,” jawab saya. Saat itu juga diputuskan untuk mengalihkan produksi satu item dari Jepang ke Indonesia.

Saya kaji regulasi terkait produk itu. Ternyata ada wilayah abu-abu. Artinya, ada kemungkinan izin tidak keluar. Bos saya mengecek ulang,”Gimana kamu?”

“Tidak ada garansi, Bos. Tapi ini bisnis, kan? Bisnis adalah soal ambil risiko. Yang bisa saya garansi adalah bahwa saya akan melakukan semua usaha, saya akan pakai semua network yang saya punya, untuk menjadikan ini berhasil.”

Bos saya setuju. Mesin-mesin dibongkar, siap dikirim ke Indonesia. “Kalau kamu gagal, produk ini tidak bisa diproduksi dan dijual selama musim ini,” kata bos saya mengingatkan.

Setelah itu 3 bulan saya kurang tidur, karena selalu khawatir soal kerja ini. Saat terakhir, ketika semua mesin sudah terpasang, bahan baku sudah menumpuk di gudang, kontainer satu bahan baku ternyata ditahan oleh Bea dan Cukai, dengan alasan kami tidak punya bahan izin untuk mengimpornya. Hari itu Jumat petang, rencananya Senin depan kami akan mulai produksi.

Besoknya berbekal setumpuk dokumen regulasi saya datang ke pelabuhan, berdalil dengan petugas. Saya yakinkan dia bahwa kami punya cukup dokumen untuk mengimpor barang itu. Akhirnya dia loloskan, tanpa sogokan. Barulah saya bisa bernafas lega. Hari Senin produksi bisa jalan sesuai rencana.

Berikutnya, ada lagi produksi baru. Kami harus bekerja sama dengan perusahaan filler, pengisi produk ke kemasan. Kantor pusat sudah punya kandidat, rekomendasi dari orang Jepang yang kerja di sini. Saat kami mengunjungi perusahaan itu, saya segera tahu, ini tidak memenuhi syarat. Saya segera mencari pengganti.

Setelah mencari ke sana sini, akhirnya saya menemukan partner yang agak memenuhi syarat. Agak, karena setelah itu saya harus melakukan supervisi beberapa bulan, sampai mereka bisa memenuhi standar yang ditetapkan pelanggan kami. Saya, yang baru 3 bulan sebelumnya untuk pertama kalinya mengunjungi perusahaan filler, melakukan supevisi pada orang-orang yang sudah bertahun-tahun di bisnis itu.

Bos saya tidak memerintah. Kalau saya jawab tidak bisa, tidak akan ada produksi baru. Kalau saya diam saja, produksi baru tidak akan jalan, karena partner yang ada tidak memenuhi syarat. Bos saya mungkin akan mencari tempat produksi lain, di Vietnam atau Myanmar.

Ada satu lagi cerita. Pelanggan kami di Jepang akan membangun pabrik di Kamboja. Kalau jadi, kami akan mendapat bagian sebagai supplier untuk produksi mereka. Waktu berkunjung ke sini, mereka terus terang kekurangan dukungan di Kamboja. Saya punya teman di sana, teman satu program waktu belajar bahasa Jepang di Kuala Lumpur. Dia jadi petinggi di sebuah kementerian. Saya telepon dia, minta agar pelanggan saya ini dibantu. Dia setuju untuk membantu. Lalu bisnis kami berjalan.

Tidak ada perintah bos di situ. Dia bahkan tidak tahu saya punya teman di Kamboja.

Sikap itu saya jaga sampai sekarang, saat saya bekerja di perushaaan yang lebih besar, dengan 14 perusahaan di bawahnya. Tugas saya di perusahaan in adalah Nandemoya, yaitu yang melakukan apa saja yang diperlukan.

Teman-teman para pengusaha. Cobalah bertanya pada pengusaha besar, siapakah yang telah membantu membesarkan bisnis mereka? Itu adalah para karyawan yang mau melakukan banyak hal untuk perusahaan. Mau ambil inisiatif, bukan sekadar pelaksana perintah. Berapa pun besarnya modal kalian, ketahuilah modal itu tidak bisa bekerja untuk kalian. Yang bekerja adalah manusia-manusia yang kalian hargai, yang kalian beri ruang inisiatif.

***